Ushul Al-Tarbiyah: Contoh Observasi Lapangan
Contoh artikel dari suatu hasil observasi lapangan. Simak dan tetaplah bersama situs web kami!
KULIAH
Yogi Triswandani
6/5/202418 min baca
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Cikal bakal pendidikan Islam di Indonesia dimulai dengan keberadaan masjid, pesantren, surau (langgar), dan madrasah. Seiring dengan perkembangan zaman, maka fungsi dari Lembaga-lembaga tersebut mengalami pergeseran. Mungkin hanya pesantren dan madrasah saja yang sampai hari ini eksistensinya masih berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam. Membincang tentang madrasah dalam konteks ke-Indonesia-an adalah lembaga Pendidikan Islam yang lahir dari kebutuhan masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
Keberadaan Madrasah diniyah dilatarbelakangi adanya keinginan dari masyarakat Islam untuk belajar secara seimbang antara ilmu agama dan ilmu Pengetahuan umum. Madrasah di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang, eksistensinya bermula pada abad ke-20. Dalam lintasan sejarah, eksistensi madrasah tidak lepas karena adanya semangat pembaharuan pendidikan yang dipengaruhi oleh Islam di Timur tengah dan merupakan respon terhadap kebijakan pendidikan dari pemerintahan Hindia-Belanda yang telah mengembangkan pendidikan dengan sistem persekolahan terlebih dahulu.
Eksistensi madrasah dari masa ke masa semakin diakui oleh pemerintah dan masyarakat. Sebelum lahirnya UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, madrsah Diniyah (MADIN) dikenal sebagai Madrasah (Haidar Daulay, 2009: 21). Madrasah memiliki karakteristik tersendiri ditinjau dari berbagai aspek. Madrasah selalu mengikuti perkembagan zaman, sehingga memunculkan model-model madrasah dengan segala kekhasannya. Bahkan pemerintah mulai memperhatikan perkembangan madrasah dengan memberikan pengakuan dan fasilitas bagi madrasah. Jenjang pendidikan di Madrasah dimulai dari pendidikan dasar, menengah, dan atas atau disebut dengan madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah. Sedangkan madrasah “diniyah” dalam struktur pendidikan Islam di Indonesia masuk dalam kategori pendidikan non formal yang merupakan kelanjutan dari eksistensi madrasah pada awal kemunculannya.
Tulisan ini membahas tentang ekistensi madarasah diniyah dan dinamika serta dilematikanya di Indonesia, khususnya berdasarkan tinjauan hasil observasi lapangan di Lembaga Pendidikan Islam Madrasah Diniyah Takmiliyah Mina’ul Ulum yang berlokasi di Jl. Nasa Al-Falah No. - Blok Sukamulya RT/RW 008/003 Dusun Priagung Desa Binangun Kota Banjar.
B. Rumusan Masalah
Yang dijadikan rumusan masalah dalam laporan hasil observasi lapangan ini diantaranya ialah:
1. Bagaimana dinamika kelembagaan, manajemen, dan kurikulum di Madrasah Diniyah Takmiliyah Mina’ul Ulum?
2. Apa dilematika kelembagaan, manajemen, dan kurikulum yang dihadapi Madrasah Diniyah Takmiliyah Mina’ul Ulum?
C. Tujuan Penelitian
Laporan hasil observasi lapangan ini dibuat sebagai jawaban atas tugas pra UAS yang diberikan oleh dosen mata kuliah Ushul Al Tarbiyah. Adapun penelitian tentang ”Dinamika dan Dilematika Madrasah Diniyah” yang penulis susun dalam laporan ini mempunyai tujuan mempersiapkan mahasiswa sebagai calon sarjana yang berkualitas, berdedikasi tinggi, dan bermartabat agar:
1. Memahami dinamika Madrasah Diniyah, khususnya kelembagaan, manajemen, dan kurikulum di Madrasah Diniyah Takmiliyah Mina’ul Ulum.
2. Mengetahui berbagai dilema yang dihadapi Madrasah Diniyah, khususnya kelembagaan, manajemen, dan kurikulum di Madrasah Diniyah Takmiliyah Mina’ul Ulum.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah teknik atau metode yang digunakan untuk mengumpulkan data yang diteliti. Selain itu, teknik atau metode pengumpulan data ini digunakan untuk mengumpulkan data yang merujuk pada satu kata abstrak yang tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihat penggunaannya. Hal ini berguna agar data dan teori yang ada di dalam laporan ini valid dan juga sesuai kenyataan.
Teknik pengumpulan data yang dipilih peneliti untuk dapat mengumpulkan data atau informasi berdasarkan fakta pendukung yang ada di lapangan diantaranya adalah:
1. Observasi (Pengamatan)
Teknik observasi artinya melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis mengenai gejala yang tampak pada objek penelitian. Peneliti terjun langsung ke lapangan penelitian yaitu pada Lembaga Pendidikan Islam Madrasah Diniyah Takmiliyah Mina’ul Ulum yang berlokasi di Jl. Nasa Al-Falah No. - Blok Sukamulya RT/RW 008/003 Dusun Priagung Desa Binangun Kota Banjar.
2. Interview (Wawancara)
Teknik wawancara atau interview ini dilakukan secara tatap muka melalui tanya jawab antara peneliti atau pengumpul data dengan responden atau narasumber atau sumber data. Dalam observasi lapangan ini peneliti melakukan wawancara dengan Bapak H. Misbah selaku Kepala MDT Mina’ul Ulum dan Mas Adebi Maulana A.H., S.Pd. selaku staf administrasi.
3. Document (Dokumen)
Teknik pengumpulan data yang terakhir adalah dokumen yang mana peneliti mengambil sumber penelitian atau objek dari dokumen atau catatan dari peristiwa yang sudah berlalu, baik dalam bentuk tulisan, gambar, atau karya monumental dari lembaga pendidikan termaksud.
BAB II. TINJAUAN TEORITIS
A. Dinamika Madrasah Diniyah
Madrasah merupakan salah satu dari tiga lembaga pendidikan di Indonesia. Berbeda dengan pesantren dan sekolah, madrasah adalah lembaga pendidikan yang memadukan sistem keduanya. Dari sudut umurnya, keberadaan madrasah patut diacungi jempol, berkat kerja keras masyarakat madrasah tetap eksis hingga saat ini.
Fokus pembahasan penulis adalah pada Madrasah Diniyah. Madrasah Diniyah adalah lembaga pendidikan dan pengajaran Agama Islam jalur luar sekolah. Lembaga ini dikenal bersamaan dengan penyebaran Agama Islam di Indonesia. Pada masa penjajahan, hampir semua desa di seluruh pelosok tanah air yang ada penduduknya yang beragama Islam terdapat Madrasah Diniyah dengan berbagai nama dan bentuk, seperti Pengajian Anak-anak, Sekolah Kitab, Sekolah Agama, Sistem Surau, Rangkang, dan lain-lain. Penyelenggaraan Madrasah Diniyah biasanya mendapat bantuan dari raja-raja atau sultan setempat.
Setelah Indonesia merdeka dan berdiri Departemen Agama (dahulu) atau Kementerian Agama (sekarang), penyelenggaraan Madrasah Diniyah mendapat subsidi dan bimbingan dari departemen Agama. Namun karena berdirinya Madrasah Diniyah memiliki latar belakang tersendiri dan kebanyakan didirikan atas usaha perorangan yang semata-mata untuk ibadah, maka sistem dan penyelenggaraannya bergantung pada latar belakang pendiri dan pengasuhnya, sehingga pertumbuhan Madrasah Diniyah di Indonesia mengalami banyak corak dan ragamnya.
Sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan, ide-ide pembaharuan pendidikan Agama, Madrasah Diniyah pun ikut serta mengalami pembaharuan. Beberapa organisasi penyelenggara Madrasah Diniyah melakukan modifikasi kurikulum bukan saja kurikulum inti yang dikeluarkan kemeterian Agama, melainkan pula kurikulum lokal pun terus dibenahi sesuai dengan prinsip dan karakteristik lingkungannya.
Dalam peraturan pemerintah No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan Agama dan pendidikan keagamaan, pasal. 21 “Pendidikan Diniyah dibagi pada tiga jenis: formal, non formal, dan informal”. Jenjang Madrasah Diniyah Takmiliyah dibagi pada tiga jenjang: 1. Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (MDTA), 2. Madrasah Diniyah Takmiliyah Wushto (MDTW), dan 3. Madrasah Diniyah Takmiliyah Ulya (MDTU).
B. Dilematika Madrasah Diniyah
Secara garis besar, ada dua model pendidikan yang ada di Indonesia, yakni pesantren dan sekolah formal. Perbedaan mendasar keduanya terletak pada kurikulum pendidikan yang dijalankannya. Pendidikan sekolah formal mengacu pada kurikulum pemerintah, sedangkan pesantren selain menggunakan kurikulum pemerintah ia juga memiliki kurikulum sendiri. Meski kualitas pesantren kini semakin meningkat, tak sedikit dari orang tua menjadikan sekolah formal sebagai pilihan utama pendidikan anak mereka. Alasannya beragam, mulai dari kurikulum pendidikan umum yang lebih menjanjikan, persoalan kebutuhan ijazah di dunia kerja, hingga pilihan mereka untuk mendidik anaknya sendiri di rumah agar mudah terpantau.
Tentunya, persoalan dalam memilih jenis pendidikan beserta tempatnya merupakan hak setiap orang yang tidak dapat dihalangi. Akan tetapi, secara tidak langsung kita melihat, bahwasanya masyarakat di Indonesia tetap memerlukan pendidikan agama. Sedangkan asupan pendidikan agama sendiri dalam kurikulum sekolah formal terbilang cukup minim. Dimana semua pengetahuan agama Islam terangkum dalam satu mata pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) yang dijejalkan setiap dua atau seminggu sekali.
Madrasah, baik yang ada di bawah naungan Kemenag atau swasta, dipandang dapat menjadi solusi dari permasalahan tersebut. Namun kenyatannya, meski ada beberapa madrasah yang menonjol di beberapa daerah, secara umum madrasah juga menjadi pilihan kedua. Mutu pendidikannya masih menjadi alasan utamanya. Pun jika dilihat dari sisi pendidikan agama di sekolah umum, lebih mudah mengatakan kurang dari pada cukup. Mata pelajaran agama seakan masih menjadi suplemen di samping mata pelajaran umum seperti matematika, biologi, bahasa Indonesia maupun Inggris. Mata pelajaran agama mendapat porsi 30% dan disajikan dalam buku paket atau sekadar LKS (Lembar Kerja Siswa) yang tentunya tak mungkin dapat menampung khazanah keilmuan Islam sekaya kitab-kitab klasik.
Dalam konteks kehidupan modern, tentu tidak realistis jika menuntut sekolah umum agar dapat memberi porsi lebih pada pendidikan agama. Generasi yang melek atau bahkan ahli dalam bidang sains dan teknologi semakin dibutuhkan. Pun sekolah umum yang merupakan turunan tak langsung dari sekolah-sekolah Belanda dan Sekolah Rakyat, pada mulanya memang tidak memiliki orientasi lebih untuk pendidikan agama. Di samping itu, tak adil menuntut madrasah untuk menghadirkan khazanah keilmuan Islam seperti di pesantren. Tentu kita akui, bahwa sekolah formal bukan lah pesantren. Karakteristik, sumber daya, dan orientasi keduanya memang berbeda.
Jika melihat sejarah masyarakat Nusantara dan realita saat ini, sebenarnya banyak rupa alternatif pendidikan agama non-formal tersebut. Salah satunya adalah Madrasah Diniyah atau disingkat MD. Dalam pedoman penyelenggaraan Madrasah Diniyah yang dibuat oleh Kemenag, ia merupakan pendidikan keagamaan non-formal yang keberadaannya tumbuh dan berkembang di masyarakat. Dijelaskan juga, bahwa MD adalah pendidikan agama yang bersifat klasikal berprogram. Dalam banyak MD, pelajaran agama masih disajikan dalam literatur Islam klasik.
MD dirasa dapat menjadi salah satu alternatif yang solutif, khususnya bagi siswa di sekolah umum maupun madrasah. Sifatnya yang non-formal membuat MD dapat bergerak fleksibel, baik dalam orientasi, kurikulum, maupun pelaksanaan. Fleksibilitas tersebut tentu dapat menyesuaikan kebutuhan masyarakat sekitar ataupun sumber daya madrasah itu sendiri. Kemudian dalam praktiknya di masyarakat, kegiatan MD berada di luar jam sekolah, yakni sore atau malam hari. Kegiatan madrasah ini tak akan mengganggu kegiatan ataupun mempermasalahkan kurikulum sekolah. Dengan begitu, siswa tetap dapat menikmati khazanah keilmuan Islam klasik sembari menjalani studinya di sekolah formal.
Dilihat dalam sudut pandang bentuk MD, saya rasa cukup bervariasi. Mulai dari pengajian rutin di rumah seorang ahli agama, kelas-kelas keagamaan di masjid atau surau, hingga yayasan pendidikan keagamaan yang terstruktur. Berdasarkan penyelenggaranya, MD dibagi menjadi tiga; (1) MD yang diselenggarakan di dalam pesantren. (2) MD yang diselenggarakan dalam lingkungan pendidikan formal, seperti SD, SMP, atau SMA sederajat. (3) MD yang diselenggarakan oleh sekumpulan orang di masyarakat oleh badan hukum atau yayasan tertentu.
Melihat tipologi di atas, MD berbentuk yayasan terstruktur yang diselenggarakan di luar pesantren dan sekolah-lah kiranya perlu dijaga atau bahkan digaungkan lagi eksistensinya di tengah masyarakat. Penyelenggaraannya di dalam lingkungan pendidikan formal akan tetap menjadi kepentingan sekunder dan selain itu hanya akan menambah beban sekolah. Sumber daya, terutama tenaga pengajar dan bahan ajarnya, pun juga belum tentu ada.
Kemudian penyelenggaraan MD di dalam pesantren juga memiliki dilemanya sendiri, meski model ini banyak adanya. Banyak pesantren, khususnya pesantren modern, yang tak membuka MD untuk masyarakat sekitar karena dapat mengganggu kegiatan pesantren. Banyak juga pesantren, khususnya pesantren salaf, yang mempersilakan masyarakat luar untuk ikut dalam berbagai kegiatan pesantren. Santri atau peserta yang mengikuti model kedua ini sering kali diistilahkan sebagai santri kalong.
Namun yang demikian juga tak lepas dari dilema. Sebab tradisi pesantren cenderung unik, jika tak mau memakai istilah eksklusif. Kesenjangan identitas dalam masyarakat yang kini semakin kentara, membuat sebagian orang tak akrab atau bahkan tak cocok dengan tradisi pesantren. Oleh karena itu, perlu adanya wadah pendidikan agama yang memakai tradisi keilmuan pesantren tanpa harus terpaku pada tradisi pesantren secara keseluruhan. Madrasah diniyah di luar pesantren dan sekolah itu lah salah satu bentuknya.
Meski demikian, pesantren masih dirasa perlu berperan dalam penyelenggaraan MD tersebut. Pesantren dapat ikut menggagas penyelenggaraan dengan masyarakat sekitar, menyuplai tenaga pengajar maupun bahan ajar, atau juga membantu pendanaan. Peran MD, khususnya saat ini, begitu penting. Sebab, berbeda dengan pesantren dan sekolah, MD sama sekali tak “seksi” jika dipandang dengan kacamata bisnis. Pendiri, pemangku, ataupun kepala yayasan MD tak akan dipanggil sebagai Kyai. Selain itu, keberadaan MD di masyarakat perkotaan semakin terkikis oleh merebaknya lembaga atau kultur bimbingan belajar (bimbel). Tentunya, MD bukan lagi tak “seksi” di mata penyelenggara, tapi juga di mata para orang tua.
Menurut Nurzaman (International Journal of Religious Studies), akar eksistensi tradisi MD tak dapat dilepaskan dari pesantren, sebab para pengajarnya memang dari pesantren yang mengaplikasikan model pendidikan pesantren. Maka tak berlebihan jika menyebut MD sebagai sub-kultur dari tradisi pesantren karena perannya dalam meneruskan nilai-nilai pendidikan dan tradisi pesantren kepada masyarakat. Selain itu, MD yang digagas di luar pesantren dapat menjadi salah satu bentuk konkret kontribusi pesantren terhadap masyarakat sekitar. Sebab saat ini sering kali dijumpai pesantren yang memisahkan diri atau bahkan berkonflik dengan masyarakat sekitar.
Walakhir, pendidikan agama tak harus dijejalkan secara paksa dalam kurikulum pendidikan umum. Pun juga tak harus dituntut untuk disajikan secara penuh dalam kurikulum pendidikan madrasah. Jargon seimbang IPTEK dan IMTAQ memang tak dapat dipaksakan dalam semua institusi pendidikan. Di luar komunitas pesantren, terciptanya masyarakat maju nan religius sudah merupakan prestasi. MD adalah salah satu alternatif untuk menjaga atau mewujudkan hal tersebut.
C. Eksistensi Madrasah Diniyah Takmiliyah
Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) ialah suatu satuan pendidikan keagamaan Islam nonformal yang menyelenggarakan pendidikan Islam sebagai pelengkap bagi siswa pendidikan umum. Untuk tingkat dasar (Diniyah Takmiliyah Awaliyah) dengan masa belajar 6 tahun. Untuk menengah atas (Diniyah Takmiliyah Wustha) masa belajar tiga tahun, untuk menengah atas (Diniyah Takmiliyah Ulya) masa belajar selama tiga tahun dengan jumlah jam belajar minimal 18 jam pelajaran dalam seminggu (Kemenag Jabar, 2010: 7).
Menurut Amin Haidar yang dijelaskan kembali oleh Umar perubahan nomenklatur dari Madrasah Diniyah menjadi Diniyah Takmiliyah berdasarkan pertimbangan bahwa kegiatan Madrasah Diniyah merupakan pendidikan tambahan sebagai penyempurna bagi siswa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang hanya mendapat pendidikan agama Islam dua jam pelajaran dalam satu minggu. Oleh karena itu sesuai dengan artinya maka kegiatan tersebut yang tepat adalah Diniyah Takmiliyah.
Madrasah Diniyah (MD) atau pada saat ini disebut Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) adalah lembaga pendidikan Islam yang dikenal sejak lama bersamaan dengan masa penyiaran Islam di Nusantara. Pengajaran dan pendidikan Islam timbul secara alamiah melalui proses akulturasi yang berjalan secara halus dan perlahan sesuai kebutuhan masyarakat sekitar. Pada masa penjajahan hampir semua desa yang penduduknya beragama Islam, terdapat Madrasah Diniyah (Diniyah Takmiliyah), dengan nama dan bentuk berbeda beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, seperti pengajian, surau, rangkang, sekolah agama, dan lain lain. Mata pelajaran agama juga berbeda beda yang pada umumnya meliputi aqidah, ibadah, akhlak, Al Qur’an Hadits, dan bahasa Arab (Direktorat PD Pontern, 2007:1).
Namun walaupun demikian, keberadaan MDT ini masih terkesan kurang mendapat perhatian khusus baik dari kalangan masyarakat maupun pemerintah. Padahal jika melihat perkembangan spiritualitas generasi saat ini sudah semakin memprihatinkan. Oleh sebab itu sudah menjadi suatu keniscayaan jika keberadaan MDT ini mendapat perhatian lebih baik dari masyarakat maupun pemerintah.
Maka Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 setelah mengalami perubahan keempat kalinya yang berbunyi “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang undang”.
Mencerdaskan kehidupan bangsa memang adalah asumsi mendasar diadakannya sebuah proses pendidikan, sebab kehidupan bangsa yang cerdaslah yang akan mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang jaya dalam tapak waktu yang berkesinambungan. Namun tidak dapat kita pungkiri bahwa kecerdasan yang paling tepat dan yang paling dibutuhkan dalam asumsi di atas adalah kecerdasan yang mengarah pada kecerdasan spiritualitas, sebab kecerdasan spiritual inilah yang sangat menentukan baik dan tidaknya suatu bangsa. Karena apabila kecerdasan spiritualitas ini tidak dimiliki oleh penerus bangsa ini sudah dapat dipastikan kelangsungan bangsa ini akan cenderung mengalami kerancuan yang berkesinambungan.
Untuk menunjang proses peningkatan kecerdasan spiritual tersebut tidak cukup kalau hanya mengacu pada pendidikan formal seperti SD, SMP, SMA, dan sebagainya. Dimana di dalmnya hanya terdapat sedikit waktu untuk berbagi nilai-nilai spiritualitas tersebut. Jadi sudah barang tentu menjadi keniscayaan pentingnya pengembangan sistem Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) sebagai alternatif yang dominan untuk melengkapi pelajaran keagamaan dalam lembaga formal tersebut yang terkesan memiliki waktu sedikit dalam proses peningkatan keimanan, katakwaan, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa ini.
BAB III. HASIL OBSERVASI DAN PEMBAHASAN
A. Kelembagaan MDT Mina’ul Ulum
Narasumber mengatakan bahwa tempat yang saat ini berdiri sebuah lembaga pendidikan Islam MDT Mina’ul Ulum, dari semenjak dahulu sudah kental dan dikenal sebagai lingkungan pesantren. Oleh karena itu, nama “lembur pasantren” (kampung pesantren) bagi sebahagian orang di sekitar lingkungan bahkan yang lebih jauh dari sekitar pun sudah menjadi sebutan yang melekat untuk menunjukkan tempat dimaksud. Tempatnya lebih dikenal dengan nama “pasantren”, meskipun sudah tidak ada pesantren disana. Memang dahulu pesantren itu benar-benar ada dan eksis sampai jangkauan cakup kabupaten. Namun saat ini hanya terkenang namanya saja.
Secara kelembagaan, sebagai kelanjutan dari eksistensi pesantren tersebut, sempat diadakan sekolah agama (ngaji) sejak sekitar tahun 1970-an secara swadaya warga. Nama “Mina’ul Ulum” sudah mulai digunakan sebagai pengenal sebuah lembaga dan beberapa administrasi. Kegiatan mengaji yang bisa dibilang padat yang dipercayakan masyarakat kepada Kyai Ismail dilanjutkan oleh Kyai Haji Misbah, dilaksanakan pada waktu pagi setelah Subuh, siang setelah Dzuhur, sore setelah Asar, maupun malam setelah Magrib dan Isya. Kegiatan berlangsung di Masjid lingkungan (Nurul Falah) dan rumah guru ngaji. Para pesertanya (santri) cukup banyak dan bervariatif disesuaikan dengan jenjang usia sekolah formal, namun tidak ada yang mondok. Selesai mengaji, peserta didik pulang ke rumahnya masing-masing, atau terkadang juga di hari-hari libur sekolah formal biasanya para santri putra banyak yang menginap di masjid. Yang demikian itu dikenal dengan istilah santri kalong.
Seiring kebutuhan sekolah formal akan pendidikan agama di luar jam sekolah, dan kepedulian dari instansi terkait untuk legalitas kelembagaan sekolah agama, juga sesuai dengan anjuran pemerintah setempat dan dukungan dari pihak masyarakat, maka pada tahun 2005 kelembagaan non formal sekolah agama Mina’ul Ulum resmi diakui Kementerian Agama sebagai Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) dengan menginduk kepada sebuah organisasi lingkungan “LSM Pambers”. MDT Mina’ul Ulum menyelenggarakan pendidikan Islam mulai dari tingkat RA, MDT Awaliyah, MDT Wustha, hingga MDT Ulya. Saat ini untuk penyampaian informasi dari pemerintah serta pemantauan dan pelaporan, MDT Mina’ul Ulum bergabung dalam Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) Kota Banjar.
Dilema yang menjadi tantangan MDT Mina’ul Ulum dengan adanya legalitas tersebut salahsatunya ialah tuntutan pengadaan sarana dan prasarana yang memadai, dibersamai dengan pembiasaan tertib administrasi. Alhamdulillah, berkat dorongan para muwaqif dan dermawan juga para relawan, saat ini untuk sarana dan prasarana MDT Mina’ul Ulum sudah tampak lebih dari cukup meskipun belum sempurna. Pembangunan terus dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Untuk tertib administrasi, sesuai dengan kondisi zaman saat ini dituntut staf yang cekatan dan melek informasi teknologi (IT).
B. Manajemen MDT Mina’ul Ulum
Bermula dari pesantren pondok, pesantren kalong, sekolah agama, kemudian menjadi Madrasah Diniyah, MDT Mina’ul Ulum dalam tata kelola kelembagaannya terus megalami dinamika disesuaikan dengan tuntutan kemajuan teknologi informasi. Kendati demikian, Kyai Haji Misbah selaku kepala sekaligus penanggung jawab MDT Mina’ul Ulum masih mengandalkan para relawan dalam berbagai hal, mulai pengadaan sarana prasarana, manajerial administrasi, sampai urusan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikannya.
Dengan kesolidan antara anggota keluarga Kyai Haji Misbah, para relawan pendidikan (semuanya merupakan alumni almamater yang berdomisili di lingkungan sekitar), aparatur pemerintahan setempat, juga para tokoh pemuda dan masyarakat, dari dulu hingga kini Mina’ul Ulum masih eksis sebagai penyelenggara pendidikan Islam khususnya bagi warga masyarakat sekitar umumnya bagi siapapun dan dari manapun yang menginginkan menimba ilmu agama di sana.
Secara umum, teknis pembelajaran yang dilaksanakan di MDT Mina’ul Ulum tidak banyak perbedaan dari sebelum-sebelumnya, yakni dengan cara halaqoh, para peserta didik (santri) yang datang duduk bersila mengelilingi guru pengajarnya. Antara santri putra dan putri dalam proses pembelajarannya masih digabung. Hal ini mungkin yang menjadi salahsatu dilema dari segi manajemennya. Di satu sisi secara kuantitas peserta didik yang terbilang masih kurang efektif dan efisien jika dipisah, di sisi lain guru pengajar relawan yang juga masih sangat terbatas yang akhirnya pembelajaran dilaksanakan seperti adanya saat ini.
Dalam catatan data kesiswaan memang secara jumlah tidak sebanyak seperti tempo dahulu ketika fokus dunia pendidikan masih belum begitu terkecohkan oleh permainan teknologi modern. Secara kuantitatif, meskipun minim namun masih memenuhi standar jumlah yang ditentukan. Kendati demikian, berdasarkan observasi langsung selama beberapa hari, ternyata para peserta didik yang hadir dalam kegiatan pembelajaran seringkali tidaklah mencapai separuh pun dari jumlah data yang tercatat. Peneliti menilai hal ini terjadi disamping akibat terlalu nyamannya peserta didik diasuh oleh media teknologi, terbawa arus pergaulan masa kini, juga masih rendahnya kesadaran anak dan orang tua akan pentingnya pendidikan agama.
Padahal jika mengkaji peraturan pemerintah daerah setempat (Perda Kota Banjar Nomor 18 Tahun 2013), bahwa Ijazah MDT diperlukan sebagai prasyarat untuk melanjutkan pendidikan formal jenjang menengah berikutnya. Hal ini lagi-lagi menjadi dilema bagi MDT Mina’ul Ulum dalam penyediaan Ijazah untuk para peserta didiknya. Pasalnya, ijazah MDT yang dikeluarkan kemenag harus sesuai dengan jumlah data yang di inputkan oleh MDT bersangkutan. Sementara peserta didik yang benar-benar aktif dalam pembelajaran dan ataupun pembiayaan masih belum sesuai harapan. Beban biaya untuk pengadaan ijazah seringkali untuk sementara dipenuhi oleh manajemen. Disamping itu, beban moral atas pemberian ijazah kepada peserta didik yang sebenarnya tidak layak juga menjadi dilema tersendiri baik bagi lembaga maupun bagi guru pengajar.
Narasumber juga sempat mengatakan bahwa dulu (sebelum MDT) para pengajar memang benar-benar sebagai relawan yang bersedia mengabdi tanpa adanya imbalan insentif atau honor apalagi gaji pokok. Di awal perjalanannya, MDT melalui kebijakan pemerintah dari pihak kemenag pernah membuktikan perhatiannya untuk kesejahteraan para pengajar diniyah dengan bentuk insentif perbulan yang dikeluarkan berjangka. Namun akhir-akhir ini, menurut narasumber berdasarkan informasi yang diterimanya, kebijakan tersebut terhenti tanpa menjelaskan alasannya.
Atas adanya permasalahan-permasalahan tersebut, peneliti beranggapan boleh jadi nilai ketulusan dari peserta didik maupun pendidiknya sedikit banyak terpengaruh. Peserta didik mendaftar ke MDT semata-mata karena keperluan ijazahnya, bukan sepenuhnya atas kesadaran ingin ilmu pengetahuan agama dan pengamalannya yang diperolehnya kelak. Begitu pun para guru pengajar memberikan pendidikan dan pengajaran sebatas penunaian tugas saja sehingga terkesan apa adanya serta kurang maksimal. Namun tentu saja ini hanya persepsi peneliti yang tidak berarti menjustifikasi MDT Mina’ul Ulum atau MDT-MDT lainnya juga.
C. Kurikulum MDT Mina’ul Ulum
Kementerian Agama pusat dan Kementerian agama Provinsi telah menerbitkan kurikulum bagi Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT). Dalam penerapannya, penggunaan kurikulum di tingkat satuan MDT tersebut ada yang sepenuhnya dari Kementerian Agama, dan ada juga yang kombinasi antara dari Kementerian Agama dan kurikulum dari MDT itu sendiri, bahkan ada MDT yang sama sekali tidak menggunakan kurikulum dari Kementerian Agama. Pada dasarnya Kementerian Agama hanya mewajibkan enam mata pelajararan yang harus ada pada setiap Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT), diantaranya Alquran, Hadis, Akidah, Akhlak, Fiqih, dan Bahasa Arab. Dimana pada masing-masing pelajaran memiliki Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasarnya.
Secara keseluruhan, kurikulum di MDT Mina’ul Ulum untuk mata pelajaran pokok masih mengikuti ketentuan Kementerian Agama. Menurut pengakuan narasumber, MDT Mina’ul Ulum sempat beberapa periode tahun ajaran sepenuhnya mengikuti kurikulum dari Kementerian Agama baik dari segi muatan ajaran maupun bahan ajarnya. Modul-modul pelajaran yang disediakan dari Kementerian Agama menjadi panduan bagi guru untuk penyampaian materi pelajarannya. Namun berdasarkan hasil evaluasi bertahap dari beberapa periode tersebut, pada akhirnya Kyai Haji Misbah memberi kebebasan kepada para guru relawan untuk menentukan metode penggunaan kurikulum yang dipilih.
Di antara guru ada yang tetap menggunakan modul pelajaran yang ada dari Kementerian Agama, ada juga guru yang mengembalikan bahan ajar kepada kitab-kitab ala pesantrenan seperti tempo dulu. Kekurangan dan kelebihan dari masing-masing metode yang digunakan ini turut mewarnai dilema kurikulum MDT Mina’ul Ulum. Metode modul Kementerian Agama memungkinkan kesesuaian antara muatan ajar dengan evaluasi akhir yang dikeluarkan Kementerian. Peserta didik harus menyediakan alat tulis untuk menulis materi pelajaran yang diarahkan. Namun sering kali jika tidak diingat dalam ingatan para peserta didik, materi dalam catatan tidak terkonsep rapi, bahkan jika peneliti perhatikan ternyata banyak pula peserta didik yang tidak punya catatan atau hilang catatannya.
Metode kitab ala pesantrenan memungkinkan bagi peserta didik bisa mempelajari seluruh materi pelajaran pokok dalam satu kitab tertentu. Peserta didik dituntut untuk memiliki kitab yang disarankan guru. Ilmu sekaligus keterampilan bisa didapat melalui metode kitab ini. Namun terkadang dalam evaluasi akhir sering kali soal-soal evaluasi tidak cocok dengan apa yang disampaikan dalam kitab, sehingga sedikit menjadi persoalan bagi peserta didiknya. Akan tetapi hal ini menurut peneliti tidak menjadi suatu hal yang prinsip. Semua dikembalikan dan tergantung dari kesungguhan, baik pendidik maupun peserta didiknya. Yang harus menjadi perhatian penting dalam hal ini adalah kompetensi yang diupayakan dan diharapkan oleh MDT Mina’ul Ulum sesuai dengan apa yang diamanatkan pemerintah melalui Profile Pelajar Rahmatan lil Alamin (P2RA) adalah tercapainya elemen-elemen profile Pendidikan Islam.
BAB IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. MDT Mina’ul Ulum yang berlokasi di Jl. Nasa Al-Falah No. - Blok Sukamulya RT/RW 008/003 Dusun Priagung Desa Binangun Kota Banjar semula merupakan pesantren swadaya warga yang cukup dikenal sehingga menjadi sebutan melekat bagi nama lingkungannya. Sebelum melembaga menjadi MDT, Mina’ul Ulum sempat menyelenggarakan pesantren kalong bagi masyarakat luas kemudian beralih menjadi sekolah agama.
2. MDT Mina’ul Ulum masih eksis hingga kini berkat soliditas keluarga penanggung jawab dengan dukungan dari berbagai pihak, mulai alumni, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, aparatur setempat, hingga pemerintahan tingkat kota. Kemampuan manajerialnya terus dikembangkan mengikuti perkembangan dan kemajuan zaman.
3. Dari segi kurikulumnya, MDT Mina’ul Ulum menerapkan pembelajaran berbasis merdeka dengan tetap memperhatikan pelajaran-pelajaran pokok yang harus ada sesuai ketentuan Kementerian Agama, baik secara penuh dengan modul kementerian maupun dari kitab-kitab ala pesantrenan.
4. MDT Mina’ul Ulum dengan segala dinamikanya terus berupaya sebaik mungkin menghadapi berbagai dilema yang menjadi tantangan tersendiri guna menyukseskan cita-cita pendidikan nasional khususnya di bidang agama Islam.
B. Saran
Menjadi sebuah saran yang baik jika proses pembelajaran apapun perlu dikaitkan dengan nilai-nilai religi yang salahsatunya difasilitasi dengan adanya MDT.
Untuk pemerintah dan instansi Pendidikan:
· Peningkatan mutu Pendidikan Keagamaan harus ditingkatkan melalui unjuk kerja yang dilakukan MDT untuk membangun dan mengembangkan generasi muda.
· Perhatian serius terhadap MDT dengan menunjukkan kepedulian akan Lembaga, SDM, dan system pembelajarannya.
Untuk Masyarakat:
· Meningkatkan kesadaran akan Pendidikan agama melalui berbagai fasilitas pendidikan.
· Ikut serta dalam proses menjaga eksistensi MDT dengan menyokong generasi penerus baik secara moril maupun materil.
DAFTAR PUSTAKA
Chasan. 2019. “Madrasah Diniyah Dahulu dan Sekarang”. Diakses pada Jum’at 31 Mei 2024. https://yapisa.alhamidiyah.ac.id/madrasah-diniyah-dahulu-dan-sekarang.html
Najiburrohman, Sabiq. 2022. “Dilema Madrasah Diniyah”. Diakses pada Jum’at 31 Mei 2024.https://bedug.net/2022/03/02/dilema-madrasah-dinayah/
Nizah, Nuriyatun. 2016.“Dinamika Madrasah Diniyah: Suatu Tinjauan Historis”. Jurnal Penelitian Pendidikan Islam: Edukasia. Vol. 11, No. 1. LPPG (Lembaga Peningkatan Profesi Guru) Jawa Tengah.
Rz, Amrullah. 2013. “Pentingnya Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT)”. Diakses pada Sabtu 1 Juni 2024. https://www.nu.or.id/opini/pentingnya-madrasah-diniyah-takmiliyah-mdt-sgMRO
Salmaa. 2023. “Teknik Pengumpulan Data: Pengertian, Jenis, dan Contoh”. Diakses pada Jum’at 31 Mei 2024.https://penerbitdeepublish.com/teknik-pengumpulan-data/
Salinan Perda Kota Banjar Nomor 18 Tahun 2013 dan Penjelasan tentang Penyelenggaraan Pendidikan Al-Qur’an dan Diniyah Takmiliyah.
Saragih, Dahlina Sari. dkk. 2019. “Dinamika Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (Studi Kasus MDTA di Kecamatan Percut Sei Tuan)”. Jurnal: Edu Religia. Vol. 3, No. 1. UIN Sumatera Utara.
Lampiran 1:
LAPORAN HASIL OBSERVASI LAPANGAN
Tentang
DINAMIKA DAN DILEMATIKA MADRASAH DINIYAH:
PENDIDIKAN ISLAM MINA’UL ULUM DAHULU DAN SEKARANG
Locus:
MADRASAH DINIYAH TAKMILIYAH MINA’UL ULUM
Jl. Nasa Al-Falah No. - Blok Sukamulya RT/RW 008/003 Dusun Priagung
Desa Binangun Kota Banjar
No.
Rumusan Masalah
Aspek-aspek yang ditanyakan/diamati
Sumber Informasi
Teknik
Pengumpulan Data
1.
Dinamika dan dilematika kelembagaan MDT Mina’ul Ulum
Historis, Legalitas, dan Jenjang/Tingkat Pendidikan
Pimpinan, Staf, dan Lingkungan
Wawancara, Pengamatan dan Dokumen
2.
Dinamika dan dilematika manajemen MDT Mina’ul Ulum
Administrasi, PTK, dan Peserta Didik
Pimpinan, Staf, dan Lingkungan
Wawancara, Pengamatan dan Dokumen
3.
Dinamika dan dilematika kurikulum MDT Mina’ul Ulum
Bahan Ajar, Standar Proses, dan Kompetensi
Pimpinan, Staf, dan Lingkungan
Wawancara, Pengamatan dan Dokumen
Lampiran 2:
DAFTAR PERTANYAAN
1. Bagaimana sejarah terbentuknya MDT Mina’ul Ulum?
2. Adakah legalitas kelembagaan baik secara informal pengakuan dari masyarakat sekitar maupun secara formal dari instansi terkait?
3. Jenjang Pendidikan Islam apa saja yang diselenggarakan oleh MDT Mina’ul Ulum?
4. Bagaimana sistem administrasi MDT Mina’ul Ulum dijalankan?
5. Bagaimana kesiapan Pendidik dan Tenaga Kependidikan untuk menyukseskan Pendidikan di MDT Mina’ul Ulum?
6. Seberapa besar partisipasi peserta didik yang ikut serta dalam Pendidikan di MDT Mina’ul Ulum?
7. Apa saja pelajaran-pelajaran yang diberikan di MDT Mina’ul Ulum?
8. Bagaimana metode yang dikembangkan dalam penerapan kurikulum MDT Mina’ul Ulum?
9. Apa kompetensi yang diupayakan dan diharapkan oleh MDT Mina’ul Ulum?
10. Tantangan apa saja yang menjadi dilema bagi MDT Mina’ul Ulum?
Lampiran 3:
TRANSKRIP HASIL WAWANCARA
Informan : Kyai Haji Misbah (Kepala MDT Mina’ul Ulum)
Tempat tgl lahir : Banjar, 02-04-1954
Pekerjaan : Guru/Muballigh
Hari, Tgl Wawancara : Minggu, 26 Mei 2024
Alamat : Dsn. Priagung RT.08 RW.03 Desa Binangun
Kecamatan Pataruman Kota Banjar
Pendidikan : Pesantrenan
A. Sejarah singkat MDT Mina’ul Ulum dimulai dari pesantren, ke sekolah agama, menjadi Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT).
B. Legalitas kelembagaan MDT Mina’ul Ulum dari masyarakat sudah ada semenjak awal, untuk MDT terhitung sejak tahun 2005 dengan SK Kankemenag Kota Banjar.
C. MDT Mina’ul Ulum menyelenggarakan pendidikan Islam tingkat RA, MDTA, MDTW, dan MDTU.
D. Manajemen MDT Mina’ul Ulum diupayakan mengikuti perkembangan TI sesuai dengan arahan Seksi Pendis dibawah FKDT.
E. Para Guru/Pengajar MDT Mina’ul Ulum adalah para relawan local yang mengabdi di lingkungan MDT Mina’ul Ulum.
F. Peserta didik MDT Mina’ul Ulum secara data keseluruhan masih dalam kategori cukup banyak dengan kehadiran yang variatif.
G. Mata Pelajaran Pokok yang diajarkan di MDT Mina’ul Ulum diantaranya Alquran, Hadis, Akidah, Akhlak, Fiqih, dan Bahasa Arab.
H. Pengembangan Kurikulum MDT Mina’ul Ulum dilaksanakan dengan mengikuti ketentuan Kementerian Agama dipadu dengan model pesantrenan.
I. MDT Mina’ul Ulum mengupayakan kompetensi sesuai dengan apa yang diamanatkan pemerintah melalui Profile Pelajar Rahmatan lil Alamin (P2RA), yaitu tercapainya elemen-elemen profile Pendidikan Islam.
J. Berbagai dilema baik dari unsur kelembagaan, manajemen, maupun kurikulum, turut mewarnai tumbuh kembangnya MDT Mina’ul Ulum hingga saat ini.
Saran kami apabila akan digunakan untuk kepentigan karya ilmiah Anda, jadikan artikel ini sebagai referensi saja. Jangan sepenuhnya menyalin tanpa dipelajari terlebih dahulu. Lakukan beberapa perubahan di dalamnya seperti; perbaikan kekeliruan pada huruf, periksa kembali konten dan perbaiki apabila ada yang tidak sesuai dengan kaidahnya, sempurnakan konten pada karya Anda dengan menggabung beberapa sumber lain yang terkait.
Semoga bermanfaat dan menjadi berkah.