Sejarah Hukum Islam: Makalah Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam itu sendiri. Membicarakan hukum Islam sama artinya dengan membicarakan Islam sebagai sebuah agama.
KULIAH
Yogi Triswandani
6/14/202422 min baca
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam itu sendiri. Membicarakan hukum Islam sama artinya dengan membicarakan Islam sebagai sebuah agama. Benarlah apa yang di katakan oleh Joseph Sacht, tidak mungkin mempelajari Islam tanpa mempelajari hukum Islam. Ini menunjukkan bahwa hukum sebagai sebuah instansi agama memiliki kedudukan yang sangat signifikan.
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-I Hijriah atau VII Masehi yang di bawa oleh pedagang-pedagang Arab. Tidak berlebihan jika era ini adalah era dimana hukum Islam untuk pertama kalinya masuk ke wilayah Indonesia. Namun penting untuk di catat seperti apa yang dikatakan oleh Martin Van Bruinessen, penekanan pada aspek fiqih sebenarnya adalah fenomena yang berkembang belakangan. Pada masa-masa yang paling awal berkembangnya Islam di Indonesia penekanannya tampak pada tasawuf yang berkembang di Indonesia yaitu tasawuf sunni yang menempatkan fiqih pada posisi yang signifikan dalam struktur bangunan sunni tersebut. Hukum Islam di Indonesia dapat dipahami sebagai norma-norma hukum yang dihasilkan dari pemahaman al-Qur’an dan al-Hadits yang disesuaikan dengan kondisi sosial budaya Indonesia, yang oleh Hasbi Ash-Shiddieqie disebut dengan fiqh Indonesia.
Mempelajari Sejarah Hukum Islam sangatlah penting, karena sejarah secara substantif mempunyai fungsi untuk memberikan pelajaran dan petunjuk yang sangat berarti untuk kepentingan manusia. Apalagi bagi masyarakat Indonesia yang notabene mayoritas agamanya Islam, tentu ini menjadi alasan kuat untuk lebih memahami Sejarah Hukum Islam. Oleh karena itu Sejarah Hukum Islam harus diajarkan sekaligus diimplementasikan secara baik agar kepentingan manusia tersebut dapat terlaksana sesuai ketentuannya. Melalui pemahaman sejarah hukum Islam yang baik akan berimbas pada tatanan masyarakat yang baik pula.
Kedudukan hukum Islam menjadi amat penting dan menentukan pandangan hidup serta tingkah laku para pemeluk agama Islam, bahkan menjadi penentu utama pandangan hidupnya itu. Berdasar pada latar belakang ini penulis mencoba membahas salahsatu bagian dari kajian Sejarah Hukum Islam. Melalui makalah ini, penulis akan menguraikan perjalanan politik hukum Islam di Indonesia dengan penjelasan mengenai perkembangannya dari masa kemerdekaan hingga sekarang.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini diantaranya ialah:
1. Bagaimana sejarah perkembangan Hukum Islam di Indonesia masa pra dan pasca kemerdekaan?
2. Bagaimana sejarah perkembangan Hukum Islam di Indonesia masa orde lama dan orde baru?
3. Bagaimana sejarah perkembangan Hukum Islam di Indonesia pada era reformasi sampai sekarang?
C. Tujuan Pembuatan Makalah
Makalah ini dibuat sebagai jawaban atas tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Sejarah Hukum Islam. Adapun pembahasan tentang sejarah perkembangan Hukum Islam di Indonesia yang penulis susun dalam makalah ini mempunyai tujuan mempersiapkan mahasiswa sebagai calon sarjana yang berkualitas, berdedikasi tinggi, dan bermartabat agar:
1. Mampu menjelaskan sejarah perkembangan Hukum Islam di Indonesia masa pra dan pasca kemerdekaan.
2. Mampu menjelaskan sejarah perkembangan Hukum Islam di Indonesia masa orde lama dan orde baru.
3. Mampu menjelaskan sejarah perkembangan Hukum Islam di Indonesia pada era reformasi sampai sekarang.
BAB II. PEMBAHASAN
A. Perkembangan Hukum Islam
Hukum Islam berkembang sejalan dengan perkembangan dan perluasan wilayah Islam serta hubungannya dengan budaya dan umat lain. Perkembangan itu tampak sekali pada awal periode keempat khalifah pertama yang disebut Al-Khulafaur Rasyidin (11-14 H). Pada zaman ini wahyu telah terhenti, sementara berbagai peristiwa hukum bermunculan disana-sini sehingga memerlukan penyelesaian hukum.
Memasuki era kemapanan, fikih sangat diperlukan bukan semata-mata untuk mengatur ibadah saja, melainkan meliputi bidang-bidang kehidupan lainnya seperti hubungan antar negara, hukum ketatanegaraan, dan administrasi pemerintahan, hukum pidana, dan peradilan. Terdorong untuk kebutuhan akan aturan hukum yang sesuai dengan perkembangan masyarakat itulah mulai dilakukan kodifikasi hadis yang disusul lahimya ilmu-ilmu hadis dan ilmu-ilmu tafsir yang menjadi landasan utama bagi tumbuhnya ilmu fiqih sehingga muncullah imam-imam mazhab besar. Itulah sebabnya Mc. Donald menggambarkan hukum Islam itu sebagai pengetahuan tentang semua hal, baik yang bersifat manusiawi maupun ketuhanan.
Mengkaji hukum dalam tatanan politik di Indonesa merupakan kajian yang tidak terlepas dari perdebatan (konflik) antara Islam dan politik (Agama dan Negara) yang berlangsung cukup lama. Disatu pihak (mayoritas) menghendaki implementasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan Negara. Sementara yang lain menghendaki nilai-nilai Islam itu harus sesuai dengan nilai-nilai adat. Pemberlakuan hukum adat bagi umat Islam sudah tentu menimbulkan masalah. Masalah dimaksud mengingat bahwa adat yang terdapat di Indonesia sangat beraneka ragam sesuai dengan etnis, kondisi sosial budaya, maupun agamanya.
Receptie Theorie atau teori resepsi merupakan teori yang diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857–1936). Teori ini selanjutnya ditumbuhkembangkan oleh pakar hukum adat Cornelis Van Vollenhoven (1874–1933) dan Betrand Ter Haar (1892– 1941). Teori resepsi berawal dari kesimpulan yang menyatakan bahwa hukum Islam baru diakui dan dilaksanakan sebagai hukum ketika hukum adat telah menerimanya. Terpahami disini bahwa hukum Islam berada di bawah hukum adat. Oleh karena itu, jika didapati hukum Islam dipraktekkan di dalam kehidupan masyarakat pada hakikatnya ia bukanlah hukum Islam melainkan hukum adat. Dengan demikian makalah ini akan menguraikan perjalanan politik hukum Islam di Indonesia dan apakah ada keterkaitan hukum Islam dan teori reception yang dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje tersebut.
Hukum Islam sesungguhnya telah berlaku sejak kedatangan pertama Islam di Indonesia, di mana stigma hukum yang berlaku dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat. Hukum Islam dapat dilihat dari dua segi. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal, artinya telah dikodifikasikan dalam struktur hukum nasional. Kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif yakni hukum Islam yang diyakini memiliki sanksi atau padanan hukum bagi masyarakat muslim untuk melaksanakannya.
Berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan dibalik semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun demikian, hukum Islam telah mengalami perkembangan secara berkesinambungan, baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu. Berikut ini dijelaskan tentang perkembangan hukum Islam di Indonesia dari masa kemerdekaan hingga sekarang.
B. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan
1. Hukum Islam Pra Kemerdekaan
Meskipun pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai menengok dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti dewan penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosaki) kemudian di serahkan kepada kubu nasionalis.
Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, hanya 11 di antaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI bukan badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar anggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia. Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta.
Pada zaman kemerdekaan, hukum Islam melewati dua periode. Pertama, periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif. Kedua, periode penerimaan hukum Islam sebagi sumber otoritatif. Sumber persuasif dalam hukum konstitusi adalah sumber hukum yang baru diterima orang apabila hukum tersebut telah diyakini. Dalam konteks hukum Islam, Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang BPUPKI merupakan sumber persuasif dari UUD 1945 selama 14 tahun. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat negara berdasar atas “ke Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusankompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada beberapa faktor berkenaan dengan masalah ini, tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan kristen di Indonesia timur yang informasinya ia dapatkan dari seorang opsir angkatan laut Jepang yang ditemuinya. Hatta pada saat itu menyangkal hal tersebut, ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh kristen dari Indonesia timur lainnya telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.
Pada periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Karena umat Islam sendiri masih merasakan adanya suatu permainan politik, yang berpotensi besar pada ketentuan yang dicita-citakan umat Islam.
2. Hukum Islam Pasca Kemerdekaan
Hukum Islam baru menjadi sumber otoritatif (sumber hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum) dalam hukum tata negara ketika di tempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959 sebagaimana dapat di simak dalam konsideran dekrit tersebut berikut ini: “bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi terebut”. Kata menjiwai secara negatif berarti bahwa tidak boleh dibuat aturan perundangan dalam negara RI yang bertentangan dengan Syariat Islam. Bagi pemeluk-pemeluk Islam diwajibkan menjalankan Syariat Islam. Oeh karena itu harus dibuat UU yang akan memberlakukan Hukum Islam dalam hukum nasional.
Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 nyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah konstitusi ini misalnya, sama sekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja; RI, Negara Sumatera Timur, dan Negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Nasir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai Mosi Integral Natsir sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950 semuanya sepakat membentuk kembali negara kesatuan republik Indonesia berdasarkan proklamasi 1945. Dengan demikian konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku digantikan dengan UUD sementara 1950.
Akan tetapi jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam mukadimah maupun batang tubuh UUD sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa negara berdasar ketuhanan yang maha esa dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan.
Kelebihan lain dari UUD sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang ini pun sempat di manfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang perkawinan umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat hadangan kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang perkawinan nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD sementara itu kemudian diwujudkan dalam pemilihan umum untuk memilih dan membentuk majelis konstituante pada akhir tahun 1955, Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, majlis ini dibubarkan melalui dekrit presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hari penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD. Akan tetapi dalam tataran aplikasinya faktor politik penentu utama dalam hal ini.
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya bernuansakan Islam ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda. Dalam fase ini yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwiryo terutama setelah diproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1949. Sesungguhnya Kartosuwiryo telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan republik Indonesia, akan tetapi menjadi konflik politik antara agama dan negara hingga berakhir di tahun 1962.
C. Hukum Islam Masa Orde Lama dan Orde Baru
1. Hukum Islam di Era Orde Lama
Mencermati perjalanan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umuat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi sudah sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum Nasional, bukan semata subtansinya, tetapi secara legal formal dan poisitif. Fenomena ini pertama kali muncul setidaknya berbarengan dengan lahirnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, di mana sila pertama berbunyi: “Ke Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.Perjuangan bagi legislasi hukum Islam mulai meredup setelah pada tanggal 18 Agustus 1945, team sukses dari golongan Islam tidak mampu mempertahankan tujuh kata terakhir dari hiruk pikuk polarisasi dasar Negara. Dengan hilangnya tujuh kata tersebut, menjadi sulit untuk melegal-positipkan hukum Islam dalam bingkai konstitusi Negara.[1]
Semangat perjuangan mempertahankan keberadaan hukum Islam pada masa pasca kemerdekaan terus diupayakan dengan memunculkan beberapa teori sebagai counter terhadap teori receptie, paling tidak ada tiga teori, yaitu: pertama, teori receptie exit yang dikemukakan oleh Hazairin. Teori ini menyatakan bahwa teori receptie harus exit (keluar) dari teori hukum Indonesia, karena bertentangan dengan UUD 1945 serta al-Qur’an dan al-Hadits. Teori ini oleh Hazairin disebut dengan teori iblis. Kedua, teori receptie a Contrario yang dikemukakan oleh Sayuti Thalib, bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat Indonesia adalah hukum agamanya. Hukum adat hanya berlaku, jika tidak bertentangan dengan hukum agama. Ketiga, teori eksistensi yang dikemukakan oleh Ihtjanto. Teori ini sebenarnya hanya mepertegas teori receptie a contrario dalam hubungan dengan hukum nasional.[2] Menurut teori eksistensi ini, hukum Islam mempunyai spesifiksi:
a. Telah ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum Nasional;
b. telah ada dalam arti dengan kemandirian dan kekuatan kewibawaanya, ia diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional;
c. telah ada dalam arti norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional; dan
d. telah ada dalam arti bahan utama dan sumber hukum Nasional.[3]
Kendati demikian, sebenarnya dapat dikatakan bahwa pada masa Orde Lama posisi hukum Islam tidaklah lebih baik dari masa penjajahan Belanda. Pandangan Soekarno terhadap Islam sepertinya sangat sekularistik. Kendati pada awal terbentuk Negara Indonesia, dalam sidang BPUPKI Soekarno dapat menerima dan setuju dengan keberadaan Piagam Jakarta. Namun setelah Soekarno berkuasa keberpihakannya kepada Islam semakin berkurang.[4] Sebenarnya gagalnya Piagam Jakarta menjadi bagian dari UUD Negara, hukum Islam berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Tidaklah berlebihan, jika diandaikan Piagam Jakarta menjadi bagian dari Undang-Undang Dasar, proses transformasi hukum Islam menjadi hukum Nasional akan berlangsung sangat cepat dan akan mencapai lebih dari apa yang dapat kita rasakan saat ini. Bagaimanapun Piagam Jakarta bukanlah satu keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam dan gagasan ini telah disadari tidak mungkin. Sebenarnya yang mereka inginkan adalah bagaimana hukum Islam sebagai hukum yang hidup dan telah mengalami kristalisasi dalam masyarakat muslim diakui keberadaanya dalam makna yang sebenarnya.[5]
Kenyataan Piagam Jakarta hanya menjadi catatan sejarah saja. Dengan demikian, keinginan untuk mentrasformasikan hukum Islam menjadi hukum nasional terlambat sekitar 29 tahun (1945-1974). Era ini yang menjadikan hubungan antara Islam dan Negara menjadi tidak harmonis. Setidaknya pada masa Soekarno hubungan yang tidak harmonis ini mencapai puncaknya pada tahun 1955 yang dikenal dengan perdebatan di Konstituante.[6] Era ini Soekarno semakin menunjukkan sikapnya yang tidak begitu simpatik terhadap Islam. Ada sementara orang yang meragukan keislaman Soekarno semata-mata karena Soekarno adalah musuh agama.[7]Meskipun demikian, agaknya tidak adil jika tidak menyebut beberapa bentuk perkembangan hukum Islam pada era ini. Setidaknya Departemen Agama yang berdiri pada tanggal 3 Januari 1946 merupakan tonggak sejarah awal dari perjalanan hukum Islam. Dengan terbentuknya Departemen Agama, kewenangan Peradilan Agama telah dialihkan dari Menteri Hukum kepada Menteri Agama.[8]
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa orde lama adalah era kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim era ini perlu sedikit bersabar dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi, harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU yang kemudian menerima Manipol Usdeknya Soekarno bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR gotong royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar Tap MPR tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan perhatian itu membuat hal ini semakin suram. Dan peran hukum Islam di era ini pun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
2. Hukum Islam di Era Orde Baru
Pemerintahan Orde baru dimulai sejak keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar), yang pada awalnya memberikan harapan baru bagi dinamika perkembangan Islam, khususnya hukum Islam di Indonesia. Menyusul gagalnya kudeta PKI pada tahun 1965 dan berkuasanya orde baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Harapan ini muncul setidaknya disebabkan oleh kontribusi yang cukup besar diberikan umat Islam dalam menumbangkan Orde Lama. Apalagi kemudian orde baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, orde ini menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi, sehingga dalam realitanya harapan umat Islam akhirnya berbuah kekecewaan akibat sepak terjang politik Soeharto yang senantiasa menekan umat Islam, dimana umat Islam dianggap sebagai kekuatan yang membahyakan stabilitas dan keamanan Negara.[9]
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak bagitu tegas di masa awal orde baru, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Pada paruh terakhir orde ini terjadi akomodasi antara Islam dan Negara, mungkin saja karena Soeharto sudah kehilangan dukungan ABRI. Hal ini ditunjukkan oleh KH. Mohomad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU yang mencoba mengajukan rancangan undang-undang perkawinan umat Islam dengan dukungan kuat fraksi-fraksi Islam di DPRGR.
Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.40/1970, yang mengakui pengadilan agama sebagai salah satu badan peradilan berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, secara sendirinya hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri. Perjuangan mereka (umat Islam) untuk melegal-positipkan hukum Islam mulai menampakkan hasilnya ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan secara konstitusional yuridis, justru pada saat hubungan politik antara penguasa dalam kondisi tidak harmonis (1966-1981).[10]
Terkait dengan perkembangan hukum Islam, maka perlu dicatat, keberadaan UU Perkawinan tahun 1974 merupakan bukti sejarah bahwa hukum Islam memasuki fase baru yaitu yang disebut fase taqnin (pengundangan). Proses pengundangannya muncul reaksi keras dari kalangan Islam karena ada beberapa pasal yang secara substansial bertentangan dengan hukum Islam. Pada akhirnya setelah diundangkannya, ajaran fiqh tentang perkawinan telah ditransformasikan ke dalam Undang-Undang tersebut meskipun ada modifikasi.[11] Perlu menjadi catatan Sejarah pula, keberadaan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tenatng Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaanya telah memancing lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pelengkap.
Ketika hubungan pemerintah dengan umat Islam mulai saling memahami posisi mereka masing-masing yang disebut dengan resiprokal kritis (1982-1985) yang ditandai dengan penerimaan asas tunggal Pancasila oleh ormas-ormas Islam. Pada akhirnya sikap pemerintah mulai tampak mengakomodasi kepentingan Umat Islam (1986-1999),[12] dan umat Islam sendiri muncul kesadaran bahwa kebijakan pemerintah tidak akan menjauhkan mereka dari ajaran agama (sekuler).
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU No. 14 tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengkompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstuksikan penyebarluaskan kepada menteri agama. Oleh karenanya, adalah wajar pada tahun 1991 Presiden RI mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun 1991 yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam sendiri disusun dengan tujuan memberikan pedoman bagi para Hakim Agama dalam memutus perkara dalam lingkup Peradilan Agama. Terlepas dari kontroversi latar belakang kelahiran dan materi dari pasal-pasal yang ada didalamnya, fenomena terakhir mengisyaratkan bahwa keberadaan KHI mulai diproyeksikan sebagai undang-undang resmi Negara yang digunakan dalam lingkungan peradilan agama.
Selain legislasi hukum Islam tersebut masih ada beberapa kasus yang dapat dijadikan sebagai bukti akomodasi pemerintah dengan Islam, antara lain; pengesahan UU Pendidikan Nasional, kelahiran ICMI, UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang secara implicit membolehkan berdirinya Bank-Bank Syari’ah dengan sistem bagi hasil seperti Bank Muamalat Indonesia. Ini semua merupakan bukti perkembangan hukum Islam secara kelembagaan dan produk-produk pemikiran hukum Islam semakin konkrit.
D. Hukum Islam di Era Reformasi sampai Sekarang
Setelah lengsernya pemerintahan Soeharto, gemuruh demokrasi dan kebebasan makin meningkat di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum. Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya konkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini.
Selanjutnya pada masa reformasi (1999 s.d. sekarang),[13] politik hukum Indonesia sebagaimana tercantum dalam GBHN 1999-2004 antara lain berisi menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidak adilan gender dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.
Bertitik tolak dari GBHN diatas, maka politik hukum Negara Republik Indonesia dewasa ini tidak lagi dipengaruhi oleh teori receptie yang oleh Hazairin disebut sebagai teori Iblis,[14] tetapi justru menghendaki berkembangnya kehidupan beragama dan hukum agama (Islam) dalam kehidupan hukum nasional. Negara Indonesia yang berfalsafah Pancasila, melindungi agama dan penganut agama, bahkan berusaha memasukkan ajaran dan hukum agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Muhammad Hatta salah seorang The Founding Father menyatakan, dalam pengaturan Negara hukum Republik Indonesia syari’at Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan Hadits dapat dijadikan peraturan perundang-undangan Indonesia.[15] Meskipun teori receptie pada pemerintahan saat ini (rezim reformasi) boleh dikatakan tidak berpengaruh lagi dalam politik hukum Indonesia, bahkan dibilang telah mati, namun Prof. Mahadi mengingatkan bahwa kendatipun teori receptie telah mati, namun hantunya masih gentayangan di alam pikiran sarjana hukum Indonesia.[16]
Meluruskan persepsi tentang syari’ah (hukum Islam), menurut Bustanul Arifin,[17] adalah hal yang merupakan conditio qua non bagi berlakunya syari’ah itu sebagai hukum positif dalam sebuah negara, terutama negara muslim atau negara yan penduduknya mayoritas muslim. Hal ini tidak akan mengurangi sedikitpun hak-hak sipil warga negara yang non muslim. Sebagai upaya pembinaan dan pembanguan hukum nasional, hukum Islam telah memberikan kontribusi sangat besar, paling tidak dari segi ruh atau jiwanya. Pernyataan ini diperkuat dari beberapa argumen sebagai berikut:
1. UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pasal 2 ayat (1) menjelaskan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”, telah memenuhi ketentuan umum dengan tidak bertentangan antara hukum nasional dengan hukum agama. Demikian pula Pasal 3 ayat (2) yang menjelaskan bahwa ”pengadilan dapat memberikan izin kepada seseorang untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan” telah memenuhi tuntutan khusus hukum Islam yang memungkinkan adanya poligami dalam perkawinan Islam. Tidak bertentangannya ketentuan dalam hukum nasional dengan hukum agama akan berpengaruh positif pada pertanggungjawaban hukum warga negara yang juga penganut ajaran agama.
Penjelasan umum tentang UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan: dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah seperti berikut:
a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum Agama yang telah diresipir dalam hukum adat.
b. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat.
c. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijke Ordonantie Christen Indonesia.
d. Bagi orang Timur Asing Cina dan warga negara keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan.
e. Bagi orang-orang timur asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka.
f. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara keturunan Eropa dan warga negara yang disamakan dengan mereka berlaku KUH Perdata.
Penjelasan undang-undang perkawinan tersebut, menetapkan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku di tengah masyarakat sebelum berlakunya undang-undang perkawinan itu. Kalimat yang menyebutkan ”yang telah diresipir dalam hukum adat” tidak mengandung nilai interpretatif apa-apa karena istilah inipun termasuk warisan kolonial.
2. UU No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, kemudian diperbaharui dengan UU No. 20 Tahun 2003
Di dalam undang-undang ini disebutkan bahwa dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya adalah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan, sehat rohani, mempunyai kepribadian yang mantap dan mandiri, mempunyai rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Konsideran undang-undang ini secara jelas menempatkan ajaran agama sebagai landasan pijakan dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dikarenakan hakekat dari pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
3. UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kemudian diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2006
Undang-Undang ini menjelaskan keberadaan Peradilan Agama (PA) di Indonesia yang menetapkan wewenang absolut dari Peradilan Agama yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf; zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari'ah.
Untuk penyelesaian perkara perkawinan telah ada hukum nasional yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan untuk menyelesaikan perkara wakaf juga telah ada produk legislasinya dalam bentuk undang-undang yaitu UU Nomor 41 Tahun 2004. Yang berkenaan dengan kewarisan belum ada produk hukum nasional yang akan jadi perangkat hukum di lembaga Peradilan Agama (PA). Oleh karenanya berlaku hukum kewarisan Islam yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, atau menggunakan fiqh mawarits menurut versi mazhab syafi`i. Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam dalam hal kewarisan merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat muslim sampai saat ini. Karena pembentukan hukum nasional mengambil dan bersumber pada hukum yang hidup dalam masyarakat, maka dengan sendirinya hukum Islam berperan dalam pembentukan hukum nasional.
4. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan sebuah kumpulan dari hukum materi yang dijadikan pedoman bagi para pihak dalam pengambilan putusan di Peradilan Agama. Meskipun KHI tidak berbentuk undang-undang, melainkan sebuah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, kompilasi ini sangat membantu para hakim dalam memutuskan perkara di lingkungan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam terdiri dari tiga buku yaitu Buku I tentang Perkawinan; Buku II tentang Kewarisan; dan Buku III tentang Perwakafan. Pembagian dalam tiga buku ini hanya sekedar pengelompokan bidang hukum yang dibahas yaitu bidang hukum perkawinan (munakahat), bidang hukum kewarisan (faraid) dan bidang hukum perwakafan. Dalam kerangka sistematikanya masing-masing buku terbagi dalam beberapa bab dan kemudian untuk bab-bab tertentu terbagi pula atas beberapa bagian yang selanjutnya dirinci dalam pasal-pasal.
5. UU No. 17 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Dengan berlakunya undang-undang ini maka segala ketentuan tentang penyelenggaraan ibadah haji dan ibadah umrah telah diatur oleh negara. Di dalam undang-undang ini diatur tentang rangkaian kegiatan penyelenggaraan ibadah haji. Dengan undang-undang ini diharapkan ibadah haji dan umrah yang dilaksanakan oleh komunitas muslim Indonesia dapat berjalan dengan tertib dan aman, sehingga mengantarkan bagi pelakunya untuk mendapatkan haji yang mabrur.
6. UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
Undang-undang ini mengatur tentang tata cara mengelola zakat yang baik, agar tidak terjadi penyimpangan. Ketentuan tentang zakat telah diatur dalam beberapa buku fiqh. Akan tetapi yang menyangkut tentang manajemen pengelolaan dan distribusi belum diatur secara lengkap. Undang-undang pengelolaan zakat ini merupakan wujud kontribusi hukum Islam dalam ikut serta meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia. Di samping masalah zakat, juga diatur tentang infaq dan sadaqah.
7. UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Undang-undang ini merupakan produk legislasi yang ruhnya bersumber dari ajaran syari`at Islam. Wakaf adalah merupakan perwujudan dari seseorang untuk menyerahkan hartanya untuk diambil manfaatnya untuk kemaslahatan umum dalam waktu yang tidak terbatas. Undang-undang wakaf ini kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006. Ketentuan perwakafan juga diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Pokok Agraria. Keseluruhan materi hukumnya adalah dari fikih, meskipun tidak konsekwen menurut mazhab syafi`i yang lazim dipakai dalam mengurus wakaf di Indonesia.
Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipedomani dan ditaati oleh mayoritas penduduk dan masyarakat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, dan merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam yang eksis dalam kehidupan hukum nasional, serta merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya. Sebagai realisasi dari tuntutan dijadikannya hukum Islam menjadi salah satu bahan rujukan dan sumber dari pembentukan hukum nasional, terlihat sudah begitu banyak unsur-unsur hukum Islam memasuki produk legislatif terutama semenjak orde baru. Daud Rasyid mengemukakan bahwa syariat Islam adalah sistem hukum yang bersifat mendunia, elastis dan mampu menjawab masalah yang dihadapi masyarakat, kapan dan di mana saja. Hukum Islam relevan untuk setiap ruang dan waktu, termasuk untuk Indonesia.[18]
8. Inpres No.4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD
Keberadaan hukum Islam di dalam peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, apabila diperhatikan secara cermat pasal-pasal Undang-Undang tersebut, dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk, yaitu;
a. Dalam bentuknya yang utuh sebagaimana yang terdapat dalam fiqh yang lazim berlaku di Indonesia, yaitu fiqh Syafi`i, bahkan utuh menurut yang ditunjuk oleh dhahir al-Qur`an. Contoh dalam hal ini umpamanya pasal-pasal tentang larangan perkawinan, delapan asnaf yang menerima zakat.
b. Hukum Islam masuk dalam bentuk yang sudah menyesuaikan diri dengan tuntutan kemajuan. Contoh dalam hal perceraian yang ada saksi atau dipersaksikan dan harus di Pengadilan Agama, dan pengelolaan zakat.
c. Materinya memang tidak pernah dibicarakan dalam fikih, namun dapat diterima sebagai fikih karena terdapat nilai kemaslahatan yang banyak dan tidak berbenturan dengan dalil yang ada, meskipun ganjil kelihatannya dalam pandangan fikih. Contohnya mengenai pencatatan perkawinan, pembatasan poligami, batas minimal umur perkawinan, dan wakaf tunai.
Hukum Islam juga memasuki produk hukum nasional di luar hukum keluarga, meskipun tidak begitu nyata bentuknya. Adanya tanah milik agama dalam undang-undang pokok agraria yang kemudian dijelaskan dengan peraturan pemerintah tentang wakaf tanah milik termasuk dalam bentuk ini. Adanya sistem bank bagi hasil sebagai wujud baru dari fikih mudlarabah dalam undang-undang perbankkan, adanya makanan halal dalam undang-undang pangan menunjukkan telah masuknya fikih dalam produk hukum nasional. Adanya larangan peredaran minuman keras adalah jawaban nyata dari produk hukum nasional atas tuntutan hukum Islam. Bila hukum Islam memasuki wilayah hukum di luar hukum keluarga, memberi isyarat akan masuknya hukum Islam dalam bidang pidana yang pada saat ini masih proses legislasi. Suatu hal yang perlu dicermati dalam pembentukan hukum nasional adalah;
a. Diterimanya hukum Islam masuk ke dalam hukum nasional bukan hanya karena ia hukum Islam yang diikuti mayoritas bangsa Indonesia, tetapi karena ia memang mampu memenuhi tuntutan keadilan hukum dan kemaslahatan bagi masyarakat.
b. Masuknya hukum Islam ke dalam hukum nasional, ia tidak lagi menggunakan label Islam dan juga tidak lagi menjadi milik umat Islam saja tetapi menjadi milik bagsa Indonesia.
c. Pakar hukum Islam harus mampu menggali nilai universal dari hukum Islam untuk disumbangkan menjadi hukum nasional, supaya tidak akan menghadapi kendala penolakan dari kelompok tertentu yang berseberangan ideologi keimanannya. Oleh karenanya membumikan asas-asas hukum Islam dan istinbath ahkam menempati posisi yang strategis, dibandingkan tuntutan hukum Islam yang formalistik.
BAB III. PENUTUP
A. Simpulan
Hukum Islam di Indonesia sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang, dikenal, dan sebagiannya ditaati oleh umat Islam di negara ini. Hukum Islam masuk ke Indonesia yang menurut sebagian kalangan telah berlangsung sejak abad VII atau VIII M. Sementara itu, hukum barat baru diperkenalkan oleh VOC pada awal abad XVII M.
Oleh karena itu, pada bagian akhir ini dapat penulis katakan bahwa hukum Islam di Indonesia telah mengalami perkembangan yang dinamis dan berkesinambungan, baik itu melalui saluran infrastruktur politik maupun suprastruktur seiring dengan realitas, tuntutan dan dukungan, serta kehendak bagi upaya transformasi hukum Islam ke dalam sistem hukum Nasiona1. Bukti sejarah produk hukum Islam sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang tidak pernah dapat digugat kebenarannya. Semoga hukum Islam tetap eksis beriringan dengan tegaknya Islam itu sendiri.
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis maupun pembaca sekalian. Penulis menyadari jika dalam penyusunan makalah ini masih banyak kesalahan serta jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis terbuka hati menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun, guna perbaikan kedepannya.
Sedikit pengetahuan yang disampaikan ini semoga bisa menjadi besar manfaatnya, dan dapat berguna untuk pengembangan diri maupun pengamalan yang baik dalam kehidupan sehari-hari sehingga apa yang diharapkan bisa dengan mudah didapatkan dan juga membahagiakan.
DAFTAR PUSTAKA
Bakar, Abu. & Tamba, Sulaiman. (TT). Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia. Jurnal Hukum Kaidah: Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat Volume 22 nomor 3. Sumatera: Fakultas Agama Islam Universitas Islam Sumatera Utara.
Ilmu, Penabur. (TT). Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Perubahannya. Nawacita.
Nanda, Salsabila. (2024, May 23). 35 Contoh & Cara Penulisan Daftar Pustaka Menurut APA Style. Brain Academy.https://www.brainacademy.id/blog/menyusun-daftar-pustaka
Sirojudin. (TT). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam. Jurnal. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan Pinang Tangerang Banten
[1] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Yogyakarta: LKIS, 2004, hal. 49
[2] Juhaya S Praja, Aspek Sosiologi dalam pembaharuan Fiqh di Indonesia, dlam anang Haris Himawan, (ed), Epistemologi Syara’ : Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Yogyakarta ‘; Pustaka Pelajar, 2002, hal. 126-130.
[3] Abdul halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Islam di Indoensia, Jakarta ; Raja Grafindo, 2000. hal. 83-84.
[4] Amiur Nurudin, Azharti Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta ; Kencana, 2004, hal. 19
[5] Ibid., hal. 20
[6] A. Syafi’I Ma’arif, 1985, Islam dan Masalah Kenegaraan, Studi tentang Percaturan Dalam Konstituante, Jakarta; LP3S
[7] Amiur Nurudin, Azharti Akmal Tarigan, Op.Cit.
[8] Ibid., hal. 22
[9] Abdul halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Islam di Indoensia, Jakarta ; Raja Grafindo, 2000. hal. 22.
[10] Abdul Azis Thoba, Loc.Cit., hal.256.
[11] Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit., hal. 19.
[12] Abdul Azis Thoba, Op.Cit., hal.259.
[13] Masa Reformasi adalah sebutan rezim setelah pemerintahan Soeharto (orde baru) tumbang, yang diawali oleh Pemerintahan BJ Habibi, dengan slogan pemberantasan KKN dan penegakan supremasi hukum serta pembentukan masyarakat madani.
[14] Disebut teori iblis karena sangat bertentangan dengan kehendak Allah dan RasulNya.
[15] Ichtijanto SA, Prospek Peradilan Agama Sebagai Peradilan Negara Dalam Kehidupan Umat Islam, Jakarta; PP IKAHA, 1994, hal.258
[16] Muhammad Daud Ali-Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam Di Indonesia, Jakarta :PT Raja Grafindo Persada,1995, hal.115
[17] Bustanul Arifin, Meluruskan Persepsi Tentang Syariah Adalah Syarat Bagi Syariah Sebagai Dasar Ilmu Hukum Indonesia, dalam buku Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hal 116.
[18] Daud Rasyid, Kata Pengantar, dalam buku Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam Penegakan Syariat Dalam Wacana Dan Agenda, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, hal xii-xiv
Saran kami apabila akan digunakan untuk kepentigan karya ilmiah Anda, jadikan artikel ini sebagai referensi saja. Jangan sepenuhnya menyalin tanpa dipelajari terlebih dahulu. Lakukan beberapa perubahan di dalamnya seperti; perbaikan kekeliruan pada huruf, periksa kembali konten dan perbaiki apabila ada yang tidak sesuai dengan kaidahnya, sempurnakan konten pada karya Anda dengan menggabung beberapa sumber lain yang terkait.
Semoga bermanfaat dan menjadi berkah.