Sejarah Hukum Islam: Makalah Sejarah Hukum Islam Masa Abad Modern
Pembaharuan pemikiran hukum Islam di masa abad modern umumnya berbentuk tawaran-tawaran metodologi baru yang berbeda dengan metodologi klasik. Paradigma yang digunakan cenderung menekankan wahyu dari sisi konteksnya.
KULIAH
Yogi Triswandani
6/17/20248 min baca
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembaharuan pemikiran hukum Islam di masa abad modern umumnya berbentuk tawaran-tawaran metodologi baru yang berbeda dengan metodologi klasik. Paradigma yang digunakan cenderung menekankan wahyu dari sisi konteksnya.
Hubungan antara teks wahyu dengan perubahan soisal tidak hanya disusun dan dipahami melalui interpretasi literal tetapi melalui interpretasi terhadap pesan universal yang dikandung oleh teks wahyu. Walaupun tawaran metodologi hukum Islam tersebut memiliki model yang berbeda-beda antara satu tokoh dengan yang lainnya, namun secara umum mereka memiliki kecenderungan rasional-filosofis atau dengan kata lain menggunakan paradigma nalar burhani (rasio) sebagai pijakan pemikiran mereka.
Rasionalitas yang dibangun oleh ulama fikih ingin melakukan penalaran yang sesuai dengan tuntunan Allah swt. yang ujungnya adalah tercapainya kemaslahatan manusia pada umumnya di dunia dan akhirat.
B. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka fokus dari makalah ini adalah:
1. Apa konsep dasar pemikiran hukum islam di masa abad modern?
2. Bagaimana perkembangan pemikiran hukum islam di masa abad modern?
3. Bagaimana cara melakukan pemikiran hukum islam di masa abad modern?
4. Bagaimana Ijtihad Kolektif dalam tren hukum islam di masa abad modern?
C. Tujuan Pembuatan Makalah
1. Untuk mengetahui serta memahami hukum islam di masa abad modern.
2. Untuk mengetahui serta memahami perkembangan pemikiran hukum islam di masa abad modern.
3. Untuk mengetahui serta memahami cara melakukan pemikiran hukum islam di masa abad modern.
4. Untuk mengetahui serta memahami Ijtihad Kolektif dalam tren hukum islam di masa abad modern.
BAB II. PEMBAHASAN
A. Hukum Islam Di Masa Abad Modern
Sistem hukum Islam dibangun dengan landasan wahyu ilahi tradisi ketuhanan dan sangat erat dengan nilai-nilai penghormatan terhadap kemanusiaan, yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk seluruh umat manusia dan seluruh alam, originalitas dan internalisasinya ditaati oleh seluruh umat Islam, dan hukum islam telah melewati perjalanan sejarah yang panjang seiring perkembangan zaman.
Hukum Islam adalah hukum yang dibuat untuk kemaslahatan hidup manusia. Hukum Islam sudah seharusnya mampu memberikan jalan keluar dan petunjuk terhadap kehidupan manusia baik dalam bentuk sebagai jawaban terhadap suatu persoalan yang muncul maupun dalam bentuk aturan yang dibuat untuk menata kehidupan manusia. Hukum Islam dituntut untuk dapat menyahuti persoalan yang muncul sejalan dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Hal tersebut yang menyebabkan pentingnya mempertimbangkan modernitas dalam hukum Islam.
Hukum Islam adalah hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat sedangkan masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan masyarakat dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, ekonomi dan lainlainnya. Bahkan menurut para ahli linguistik dan semantik bahasa akan mengalami perubahan setiap 90 tahun. Perubahan dalam bahasa secara langsung atau tidak langsung mengandung arti perubahan dalam masyarakat. Hukum Islam hidup di tengah-tengah masyarakat dan masyarakat senantiasa mengalami perubahan maka hukum Islam perlu dan bahkan harus mempertimbangkan perubahan yang terjadi di masyarakat tersebut.
Hal itu dilakukan agar hukum Islam mampu mewujudkan kemaslahatan dalam setiap aspek kehidupan manusia di segala tempat dan waktu. Dalam teori hukum Islam kebiasaan dalam masyarakat (yang mungkin saja timbul sebagai akibat adanya modernitas) dapat dijadikan sebagai hukum baru (al-adah muhakkamah) selama kebiasaan tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Gambaran tentang kemampuan syariat Islam dalam menjawab tantangan modernitas dapat diketahui dengan mengemukakan beberapa prinsip syariat Islam diantaranya adalah prinsip yang terkait dengan muamalah dan ibadah. Dalam bidang muamalah hukum asal segala sesuatu adalah boleh kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dilarang. Sedangkan dalam bidang ibadah hukum asalnya adalah terlarang kecuali ada dalil yang mendasarinya.
Berdasarkan prinsip tersebut dapat dipahami bahwa modernisasi yang terkait dengan segala macam bentuk muamalah diizinkan oleh syariat Islam selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa syariat Islam. Berbeda dengan bidang muamalah, hukum Islam dalam bidang ibadah tidak terbuka kemungkinan adanya modernisasi melainkan materinya harus berorientasi kepada nas al-Qur’an dan hadis yang telah mengatur secara jelas tentang tata cara pelaksanaan ibadah tersebut. Namun modernisasi dalam bidang sarana dan prasarana ibadah mungkin untuk dilakukan.
B. Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Di Masa Abad Modern
Menurut Harun Nasution sejarah Islam terbagi ke dalam tiga periode yaitu periode klasik (650-1250 M.), periode pertengahan (1250-1800 M.) dan periode modern (1800 M.- dan seterusnya). Persepsi muslim tradisional (pra modern), hukum Islam menyajikan sebuah sistem yang ditakdirkan Tuhan yang tidak ada kaitannya dengan berbagai perkembangan historis. Muslim tradisional berpendapat bahwa al-Qur’an dan sunah telah memberikan uraian rinci tentang segala sesuatu. Menurut muslim tradisional hanya ada satu sumber yang terdapat aturan-aturan hukum yang dikembalikan yaitu wahyu Tuhan. Ide tentang hukum natural tidak dikenal. Coulson menyimpulkan bahwa pemahaman tradisional tentang perkembangan hukum Islam tidak memiliki historis.
Menurut Harun Nasution era modern bermula pada abad ke-19, merupakan periode yang di dalamnya kepercayaan tradisional mulai dipertanyakan dan mendapat tantangan serius. Melalui imperialisme, pengaruh peradaban Barat terhadap dunia Timur, terutama dunia Islam sangat kuat. Akibatnya, beberapa aspek ajaran Islam dipertanyakan dan salah satu aspek tersebut adalah pertanyaan yang ditujukan kepada doktrin hukum Islam. Pada perkembangan berikutnya modernitas ini berpengaruh terhadap konsepsi hukum Islam. Perubahan pemahaman terhadap konsepsi hukum Islam tersebut salah satunya dihembuskan oleh Schaht yang meruntuhkan anggapan tradisional tentang hukum Islam. Schaht tidak mengkaji hukum Islam secara teologis dogmatis, melainkan lebih bersifat historis dan sosiologis.
Schaht menyajikan hukum Islam bukan sebagai seperangkat norma yang diwahyukan, tetapi sebagai fenomena historis yang berhubungan erat dengan realitas sosial. Schaht menyimpulkan bahwa sebagian besar hukum Islam termasuk sumber-sumbernya merupakan akibat dari sebuah proses perkembangan historis.
C. Cara Melakukan Hukum Islam Di Masa Abad Modern
Abad ke-20 merupakan masa kelanjutan dari kecenderungan ke arah modernisasi melalui pengabsahan diberlakukannya hukum-hukum Barat di beberapa negara Islam. Dalam kenyataanya, bangsa-bangsa muslim justru hanya berhasil mengembangkan sistem-sistem hukum yang modern secara terbatas pada hukum keluarga saja. Di pihak lain,muncul wacana menghendaki cara sekuler yang menyatakan perlunya dikembangkan Islam modern dengan cara memisahkan agama dari persoalan politik dan hukum.
Di dunia Islam sekarang timbul tuntutan-tuntutan baru untuk kembali lagi kepada pandangan hidup yang Islami. Kebangkitan kembali Islam di bidang politik harus dibarengi tuntutan bagi pembinaan sistem hukum yang Islami, yang dilakukan oleh orang-orang yang meyakini bahwa syariahlah yang seharusnya memberikan cirri khas Islam pada negara dan rakyatnya. Subhi Mahmasami mengemukakan perlunya reinterpretasi dan adaptasi hukum Islam sejalan dengan perkembangan dunia modern saat ini. Subhi Mahmasami menambahkan bahwa untuk mengobati penyakit taklid buta dan fanatisme terhadap mazhab dperlukan adanya ijtihad.
Pintu ijtihad harus terbuka lebar bagi siapa saja yang memiliki kemampuan yang dapat diandalkan di bidang hukum. Memberikan kebebasan kepada kaum muslimin untuk menafsirkan hukum Islam, kebebasan berpikir dan menjadikan pikiran itu mampu menciptakan karya-karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad untuk mengembangkan hukum Islam disebut gerakan pembaharuan hukum Islam, sebab gerakan itu muncul untuk menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahn dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahn dan perkembangan baru itu mengandung dua unsur. Pertama, menetapkan hukum terhadap masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah bayi tabung. Kedua, menetapkan dan mencari ketentuan hukum baru bagi suatu masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya, tetapi tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang.
Maksud dari dengan tidak sesuai dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang adalah ketentuan hukum lama yang merupakan hasil ijtihad para ulama terdahulu sudah tidak mampu lagi merealisasikan kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat masa kini. Sejalan dengan hal tersebut, Umar Shihab mengemukakan metode ijtihad yang cocok dengan kondisi saat ini sebagai berikut:
1. Ijtihad Intiqa’i (Tarjih)
Para ulama salaf telah memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinya, bukan berarti apa yang mereka tetapkan atau hasilkan dalam bentuk ijtihad adalah suatu ketetapan akhir untuk sepanjang masa. Akan tetapi, para mujtahid sekarang dituntut untuk mengadakan studi perbandingan di antara pendapat dan meneliti dalil-dalil yang dijadikan landasan atau mujtahid dewasa harus memilih pendapat yang dipandang kuat dan sesuai dengan kondisi.
Upaya tersebut bukan berarti menolak pendapat para pendahulu, melainkan ditransformasikan sesuai perkembangan zaman. Berkomitmen dengan suatu mazhab atau pendapat tidaklah salah, tetapi harus meneliti secara keseluruhan agar bisa mendapat ketetapan yang kuat dan sesuai dengan realitas masalah umat Islam saat ini.
2. Ijtihad Insya’i (Penalaran Baru)
Ijtihad ini sangat diperlukan karena berbagai permasalahan yang timbul dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang yang belum pernah diungkap dalam kitab klasik dan semuanya memerlukan solusi secara ijtihadi.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi dunia banyak membawa pengaruh pola pikir dan sikap hidup masyarakat. Sikap rasional yang menjadi cirri utama masyarakat modern membuat praktik ilmu fikih kurang mampu lagi menjawab permasalahan baru tersebut. Upaya untuk mengantisipasi permasalahan ini tidak akan tercapai apabila mujtahid sekarang hanya terpaku pada pendapat ulama salaf, sebab para mujtahid belum mengalami kasus-kasus itu dan berijtihad dalam hal tersebut.
3. Ijtihad Komparatif
Ijtihad komparatif adalah menggabungkan kedua bentuk ijtihad intiqa’i dan insya’i. Untuk menguatkan atau mengkompromikan beberapa pendapat perlu diupayakan adanya pendapat baru sebagai jalan keluar yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman.
D. Ijtihad Kolektif (Trend Hukum Islam Di Masa Abad Modern)
Pada masa sekarang ini dan paling relevan serta dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya secara ilmiah dan akademik adalah dilakukan dengan cara kolektif (jama’i), yaitu ijtihad yang melibatkan beberapa ahli lintas profesi. Sebenarnya apa yang disebut dengan ijtihad kolektif (dalam Bahasa Arab sering disebut al-ijtihad al-Jama’i) tidak jauh bedanya dengan alijtihad al-fard (ijtihad personal). Bedanya hanya kalau dalam ijtihad kolektif, ijtihad dilakukan secara bersama-sama oleh sejumlah ulama. Sedangkan alijtihad al-fard, ijtihad dilakukan secara sendiri-sendiri. Dengan demikian, pengertian ijtihad kolektif dapat dimaknai dengan : “Usaha sungguh-sungguh sejumlah ulama dalam memahami hukum syar’i dari dalil-dalil yang mu’tabar, kemudian mereka sepakat terhadap sebuah keputusan hukum setelah terjadi dialoq di antara mereka.”
Perkataan “sejumlah ulama” dalam devinisi di atas, supaya dipahami bahwa ijtihad kolektif ini tidak temasuk dalam katagori ijmak. Karena syarat ijmak sebagaimana dimaklumi dalam kajian ushul fiqh harus merupakan kesepakatan semua ulama mujtahid yang hidup pada suatu masa tanpa kecuali. Sedangkan ijtihad kolektif hanya diikuti oleh sekelompok ulama yang bisa saja dibatasi oleh letak geografi tertentu seperti Indonesia atau organisasi tertentu.
Dr Wahbah Zuhaili menyebut pengertian ijtihad kolektif ini dengan lebih rinci, yakni sebagai berikut :
هو ما يتفق عليه فئة مستنيرة من العلماء بعد دراسة موضوع معين وتقديم بحث فيه، والاطلاع على
وإيراد أدلتهم ومناقشتها والترجيح بينها والانتهاء لرأي معين ما يجدونه مقرراً لدى العلماء السابقين، بحسب قوة الدليل وتحقيق المصلحة
Hukum yang disepakati oleh sejumlah ulama yang diakui kafasitasnya setelah melakukan kajian terhadap objek tertentu dan mendahulukan kajian atasnya serta dengan mengkaji pendapat-pendapat yang didapati dari ulamaulama terdahulu. Kemudian mendatangkan dalil-dalil ulama-ulama tersebut serta mendiskusikannya, kemudian melakukan tarjih di antara pendapatpendapat tersebut, sehingga menghasilkan suatu pendapat berdasarkan dalil yang kuat dan kepastian mashlahahnya.
Ijtihad yang dilakukan secara secara bersama-sama dari orang yang memiliki dan menguasai disiplin beragam akan bisa menyerap seluruh persoalan yang dihadapi. Hasil ijtihadnya pun diharapkan mampu memberikan jawaban secara utuh dan menyeluruh. Ijtihad kolektif merupakan bentuk ijtihad yang mengakui dan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu pengetahuan di kalangan ahli untuk memecahkan problem hukum Islam yang terjadi di masyarakat. Keterlibatan berbagai para ahli dapat memudahkan jalan bagi seorang yang sedang menghadapi problematika serius.
Ahli fikih kontemporer Yusuf Qaradhawi mengatakan bahwa fikih harus berkaitan dengan kenyataan dan menjelaskan hikmahnya. Bahkan seyogyanya fikih kontemporer memanfaatkan hasil istinbat hukum para fuqaha yang bersifat umum dan kaidah yang berkaitan dengan perusahaan yang mereka tetapkan dalam rangka bergiat fikih perusahaa kontemporer.
Contoh, pembahasan zakat ternak seperti unta, kambing dan sapi masih berpedoman pada kitab-kitab klasik yang belum menyentuh ranah perusahaan seperti perbankan, perusahaan sekurites, pasar saham, pasar uang, indeks saham dan sejenisnya yang membuat kaum muslimin bertanya tentang hukumnya di mana-mana.
Searah dengan pendapat tersebut, reformasi serta renovasi bahasa kitabkitab klasik yang dikemas ke dalam bahasa modern agar cepat dipahami dengan dengan bahasa masa kini, seperti mereformasi kata qullah, hasta, bintu labun, mud dan sejenisnya dengan ukuran standar masa kini seperti kilogram, meter meter kubik, dollar dan lain-lain.
Rasionalitas hukum Islam modern tidaklah sepenuhnya benar. Membuang atau menghilangkan pemikiran klasik tidaklah sepenuhnya salah. Menyandingkan dan menyelaraskan keduanya sangat diperlukan dalam kearifan hukum. Rasionalitas yang terbingkai oleh nas menjadi rambu bagi pemikir-pemikir hukum Islam modern untuk menjaga keaslian hukum agar tidak lepas dari maqasid syari’ah yang sesungguhnya.
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konsep dasar pemikiran hukum Islam modern mengedepankan modernitas yang realistis sesuai kebutuhan dan tuntutan persoalan yang diharapkan mampu menjawab segala persoalan dari segala aspek.
2. Pemikiran hukum Islam terus mengalami perkembangan seiring dengan persoalan yang makin kompleks. Pemikiran ulama terdahulu dianggap sudah relevan dalam menyahuti segala persoalan. Merubah paradigma taklid buta dengan rasionalitas.
3. Mayoritas ulama mendukung akan perkembangan pemikiran hukum Islam tetapi berbeda dalam penerapan sistem. Para ulama sepakat mengedepankan rasional tanpa harus meninggalkan nas. Hal ini dilakukan agar maqasid Tuhan tetap terjaga.
B. Saran
Demikian makalah yang dapat penulis paparkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada khususnya serta khalayak ramai pada umumnya. Kritik dan saran penulis harapkan demi terwujudnya makalah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Anshari, Zakariya. Ghayatul Wushul, Maktabah Usaha Keluarga, Semarang.
Umar, Nasarudin. 2014. Konsep hukum Modern: Suatu Perspektif keindonesiaan, integrasi Sistem Hukum Agama dan Sistem hukum Nasional. Ambon: IAIN Ambon.
Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Muallim, Amir dan Yusdani, 1999. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: UII Pres,
Harun, Nasroen. 1996. Ushul Fiqih I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Nasution, Harun. 1990. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:PT Bulan Bintang.
Uways, Abdul Halim. 1998. Fiqih Statis Dinamis. Bandung: Pustaka Hidayah.
J. Donohue, John dan John L. Esposito. 1990. Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Husein, Muhammad. 1987. Dasar Pemikiran Hukum Islam: Taqlid Versus Ijtihad. Jakarta: Pustaka Firdaus
Mustafa dan Abdul Wahid. 2009. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar Grafika.
Zuhaili Wahbah. 2011. Al-Ijtihad fi ‘Asrina haza min Haitsu al-Nadhriyah wa alTathbiiq, Majalah Dirasaat al-Alam al-Islami. Maret.
Mustafa dan Abdul Wahid. 2009. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar Grafika.
Saran kami apabila akan digunakan untuk kepentigan karya ilmiah Anda, jadikan artikel ini sebagai referensi saja. Jangan sepenuhnya menyalin tanpa dipelajari terlebih dahulu. Lakukan beberapa perubahan di dalamnya seperti; perbaikan kekeliruan pada huruf, periksa kembali konten dan perbaiki apabila ada yang tidak sesuai dengan kaidahnya, sempurnakan konten pada karya Anda dengan menggabung beberapa sumber lain yang terkait.
Semoga bermanfaat dan menjadi berkah.