Pendidikan Pancasila: Makalah Pancasila Era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi

Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang semenjak dahulu bersamaan dengan perkembangan sejarah bangsa Indonesia. Selengkapnya, tetaplah bersama situs web kami!

KULIAH

Yogi Triswandani

10/26/20239 min baca

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang semenjak dahulu bersamaan dengan perkembangan sejarah bangsa Indonesia. Sejarah merupakan deretan peristiwa yang saling berhubungan. Berbicara sejarah pasti akan berkaitan dengan tokoh, waktu, dan tempat. Peristiwa-peristiwa masa lampau yang berhubungan dengan kejadian masa sekarang, semuanya bermuara pada masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa semua aktivitas manusia pada masa lampau itu berkaitan dengan kehidupan masa sekarang dan akan mewujudkan masa depan yang jelas berbeda tokoh, waktu, dan tempatnya dengan masa yang sebelumnya.

Dasar Negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan tumpuan untuk berdirinya sebuah Negara. Negara Indonesia juga dibangun berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan, yaitu Pancasila. Pancasila yang kita kenal saat ini merupakan hasil rumusan para tokoh di masa lampau pada tempat dan kondisi yang mungkin saja berbeda dengan masa sekarang. Pancasila telah dirumuskan semenjak sebelum Negara Indonesia merdeka dan akan terus menjadi rumusan pada masa kini maupun untuk masa yang akan datang.

Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar Negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur Negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsur negara yakni pemerintah, wilayah, dan rakyat. Pancasila sebagai dasar Negara mempunyai arti yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensinya adalah Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan Pancasila sebagai dasar Negara yang berarti nilai-nilai Pancasila harus ditanamkan dalam semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia bersumber pada Pancasila.

B. Rumusan Masalah

Masa kini selain merupakan hasil torehan sejarah masa lalu juga akan menjadi sejarah di masa yang akan datang. Negara Indonesia dengan palsafahnya Pancasila pun tak luput dari perjalanan sejarah. Oleh karena itu, sebagai bangsa Indonesia yang bermartabat, maka jangan sekali-kali melupakan sejarah, termasuk sejarah Pancasila. Sebahagian permasalahan sejarah Pancasila yang perlu diketahui dan dipahami diantaranya:

1. Bagaimanakah sejarah Pancasila pada era orde lama?

2. Bagaimanakah sejarah Pancasila pada era orde baru?

3. Bagaimana Sejarah Pancasila pada era reformasi?

C. Tujuan Pembuatan Makalah

Makalah ini dibuat sebagai jawaban atas tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila. Adapun pembahasan tentang Pancasila era orde lama, orde baru, dan era reformasi yang penulis susun dalam makalah ini mempunyai tujuan mempersiapkan mahasiswa sebagai calon sarjana yang berkualitas, berdedikasi tinggi, dan bermartabat agar:

1. Mengetahui dan memahami bagaimana Pancasila Era orde lama.

2. Mengetahui dan memahami bagaimana Pancasila Era orde baru.

3. Mengetahui dan memahami bagaimana Pancasila Era reformasi.

4. Melaksanakan nilai-nilai moral yang terkandung dalam Pancasila pada kehidupan sehari-hari.

BAB II. PEMBAHASAN

A. Pancasila Era Orde Lama

Terdapat dua pandangan besar terhadap Dasar Negara yang berpengaruh kepada munculnya Dekrit Presiden. Pandangan tersebut yaitu mereka yang memenuhi “anjuran” Presiden/ Pemerintah untuk “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945” dengan Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara. Sedangkan pihak lainnya menyetujui ‘kembali ke Undang-Undang Dasar 1945” tanpa cadangan, artinya dengan Pancasila seperti yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Dasar Negara. Namun, kedua usulan tersebut tidak mencapai kuorum keputusan sidang konstituante (Anshari, 1981: 99).

Majelis (baca: konstituante) ini menemui jalan buntu pada bulan Juni 1959. Kejadian ini menyebabkan Presiden Soekarno turun tangan dengan sebuah Dekrit Presiden yang disetujui oleh kabinet tanggal 3 Juli 1959, yang kemudian dirumuskan di Istana Bogor pada tanggal 4 Juli 1959 dan diumumkan secara resmi oleh presiden pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 di depan Istana Merdeka (Anshari, 1981: 99-100). Dekrit Presiden tersebut berisi: 1.) Pembubaran konstituante, 2.) Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku, dan 3.) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.

Sesudah dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno, terjadi beberapa penyelewengan terhadap UUD 1945. Antara lain, Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup melalui TAP No. III/MPRS/1960. Selain itu, kekuasaan Presiden Soekarno berada di puncak piramida, artinya berada pada posisi tertinggi yang membawahi ketua MPRS, ketua DPR, dan ketua DPA yang pada waktu itu diangkat Soekarno sebagai menteri dalam kabinetnya sehingga mengakibatkan sejumlah intrik politik dan perebutan pengaruh berbagai pihak dengan berbagai cara, baik dengan mendekati maupun menjauhi presiden.

Pertentangan antarpihak begitu keras, seperti yang terjadi antara tokoh PKI dengan perwira Angkatan Darat (AD) sehingga terjadilah penculikan dan pembunuhan sejumlah perwira AD yang dikenal dengan peristiwa Gerakan 30 September (G30S PKI). Peristiwa G30S PKI menimbulkan peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Peralihan kekuasan itu diawali dengan terbitnya Surat Perintah dari Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto, yang di kemudian hari terkenal dengan nama Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Surat itu intinya berisi perintah presiden kepada Soeharto agar “mengambil langkah-langkah pengamanan untuk menyelamatkan keadaan”. Supersemar ini dibuat di Istana Bogor dan dijemput oleh Basuki Rahmat, Amir Mahmud, dan M. Yusuf. Supersemar ini pun juga menjadi kontroversial di belakang hari. Supersemar yang diberikan oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto itu kemudian dikuatkan dengan TAP No. IX/MPRS/1966 pada 21 Juni 1966. Dengan demikian, status supersemar menjadi berubah: Mula-mula hanya sebuah surat perintah presiden kemudian menjadi ketetapan MPRS. Jadi, yang memerintah Soeharto bukan lagi Presiden Soekarno, melainkan MPRS. Hal ini merupakan fakta sejarah terjadinya peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.

Bulan berikutnya, tepatnya 5 Juli 1966, MPRS mengeluarkan TAP No. XVIII/ MPRS/1966 yang isinya mencabut TAP No. III/MPRS/1960 tentang Pengangkatan Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup. Konsekuensinya, sejak saat itu Soekarno bukan lagi berstatus sebagai presiden seumur hidup.

B. Pancasila Era Orde Baru

Setelah lengsernya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jenderal Soeharto yang memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi kepresidenan tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki. Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan, “Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita mempertahankan Pancasila”. Selain itu, Presiden Soeharto juga mengatakan, “Pancasila sama sekali bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah negara yang sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan (Setiardja, 1994: 5). Jadi, Pancasila dijadikan sebagai political force di samping sebagai kekuatan ritual.

Begitu kuatnya Pancasila digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1 Juni 1968 Presiden Soeharto mengatakan bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan membuat bangsa Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari Pancasila pasti digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 42). Selanjutnya pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara, yaitu:

Satu: Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa

Dua: Kemanusiaan yang adil dan beradab

Tiga: Persatuan Indonesia

Empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

Lima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968.

Pada tanggal 22 Maret 1978 ditetapkan ketetapan (disingkat TAP) MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) yang salah satu pasalnya tepatnya Pasal 4 menjelaskan, “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”.

Ketika itu, sebagian golongan Islam menolak reinforcing oleh pemerintah dengan menyatakan bahwa pemerintah akan mengagamakan Pancasila. Kemarahan Pemerintah tidak dapat dibendung sehingga Presiden Soeharto bicara keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980. Intinya Orba tidak akan mengubah Pancasila dan UUD 1945, malahan diperkuat sebagai comparatist ideology. Jelas sekali bagaimana pemerintah Orde Baru merasa perlu membentengi Pancasila dan TAP itu meski dengan gaya militer. Tak seorang pun warga negara berani keluar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43). Selanjutnya pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru menjalankan “Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap Pancasila sebagai Azas Tunggal, bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi Pancasila sebagai pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44).

Dengan semakin terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia pada akhir 1990-an yang secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Demikian pula demokrasi semakin santer mengkritik praktek pemerintah Orde Baru yang tidak transparan dan otoriter, represif, korup, dan manipulasi politik yang sekaligus mengkritik praktek Pancasila. Meski demikian kondisi ini bertahan sampai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed), 2010: 45).

C. Pancasila Era Reformasi

Pancasila yang seharusnya sebagai nilai dasar moral etik bagi negara dan aparat pelaksana negara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik. Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbullah berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan, dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya “reformasi” di segala bidang politik, ekonomi, dan hukum (Kaelan, 2000: 245). Saat Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar negara itu untuk sementara waktu seolah dilupakan karena hampir selalu identik dengan rezim Orde Baru. Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Negara menjadi maha tahu mana yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam ke benak masyarakat melalui indoktrinasi (Ali, 2009: 50).

Dengan seolah-olah “dikesampingkannya” Pancasila pada Era Reformasi ini, pada awalnya memang tidak nampak suatu dampak negatif yang berarti, namun semakin hari dampaknya makin terasa dan berdampak sangat fatal terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dalam kehidupan sosial, masyarakat kehilangan kendali atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik horisontal dan vertikal secara masif dan pada akhirnya melemahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Dalam bidang budaya, kesadaran masyarakat atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai luntur, yang pada akhirnya terjadi disorientasi kepribadian bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral generasi muda. Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan di berbagai sektor diperparah lagi dengan cengkeraman modal asing dalam perekonomian Indonesia. Dalam bidang politik, terjadi disorientasi politik kebangsaan, seluruh aktivitas politik seolah-olah hanya tertuju pada kepentingan kelompok dan golongan.

Lebih dari itu, aktivitas politik hanya sekedar merupakan libido dominan di atas hasrat untuk berkuasa, bukannya sebagai suatu aktivitas memperjuangkan kepentingan nasional yang pada akhirnya menimbulkan carut marut kehidupan bernegara seperti dewasa ini (Hidayat, 2012). Namun demikian, kesepakatan Pancasila menjadi dasar Negara Republik Indonesia secara normatif, tercantum dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 Pasal 1 menyebutkan bahwa “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (MD, 2011).

Ketetapan ini terus dipertahankan, meskipun ketika itu Indonesia akan menghadapi Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber hukum yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan, “Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang- Undang Dasar 1945”.

D. Pancasila Pasca Reformasi

Pada era awal reformasi, dinamika Pancasila mengalami berbagai polemik. Polemik yang muncul menjadi catatan awal cara pandang masyarakat terhadap Pancasila. Berbagai pandangan muncul seperti “Pancasila telah dilupakan banyak orang”, “Pancasila seakan terpinggirkan”, “pamor Pancasila tampak meredup”, “Pancasila seolah-olah lenyap dari kehidupan kita”. Istilah tersebut mengindikasikan bahwa posisi Pancasila yang telah lama menjadi bahan ajar dan menjadi brand bagi pemerintahan sebelumnya mulai tidak dianggap dan diabaikan. Namun setelah gerakan reformasi mulai berhenti dan proses politik mulai berubah ke arah pemerintahan baru, serta berbagai gejolak sosial dan politik yang terus terjadi di Indonesia mulai dari konflik sosial, konflik politik, terorisme, radikalisme, dan konflik antar suku dan agama di beberapa kota di Indonesia, Pancasila mulai diingat kembali. Kesadaran ini mulai muncul pada awal tahun 2010 sampai dengan saat ini.

Pada awal tahun 2010 mulai ada gagasan untuk kembali kepada Pancasila dengan upaya melakukan sosialisasi Pancasila, kemudian adanya Gerakan masyarakat mendirikan kampung Pancasila, di sekolah-sekolah mulai diperkuat kembali penanaman nilai-nilai Pancasila, secara khusus pada tahun 2012, terbit Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dalam undang-undang tersebut dibahas tentang Pancasila untuk masuk pada kurikulum wajib Pendidikan tinggi yang sebelumnya sejak tahun 2003 melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dihapuskan.

Pada tahun 2017, Presiden membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) dengan tujuan untuk melakukan kajian dan merumuskan kebijakan dalam pembinaan Pancasila di seluruh aspek kehidupan masyarakat. Setelah 1 tahun berkiprah, pada tahun 2018 UKP-PIP berubah nama menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Berbagai upaya penguatan Pancasila mulai menjadi kesadaran bersama. Sebagaimana di Yogyakarta mengadakan kegiatan sinau Pancasila (2017) yang dilaksanakan oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol DIY) untuk melakukan pengenalan dan sosialisasi Pancasila kepada masyarakat di seluruh kecamatan di DIY. Kemudian tahun 2021 sampai 2022 diselenggarakan kegiatan sosialisasi BhinnekaTunggal Ika oleh Bakesbangpol DIY. Sampai pada tahun 2022, pemerintah DIY dan DPRD DIY menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2022 tentang Pendidikan Pancasila dan Wawasan Kebangsaan.

BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian Pancasila dalam sejarah bangsa Indonesia menunjukkan hal-hal sebagai berikut: 1. Pancasila merupakan produk otentik pendiri negara Indonesia (The Founding fathers). 2. Nilai-nilai Pancasila bersumber dan digali dari nilai agama, kebudayaan, dan adat istiadat. 3. Pancasila merupakan falsafah bangsa dan dasar kenegaraan.

Pentingnya Pancasila dalam sejarah bangsa Indonesia menunjukkan hal-hal berikut: 1. Betapapun lemahnya pemerintahan suatu rezim, tetapi Pancasila tetap bertahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 2. Betapapun ada upaya untuk mengganti Pancasila sebagai falsafah bangsa, tetapi terbukti Pancasila merupakan pilihan yang tetap bagi bangsa Indonesia. 3. Pancasila merupakan pilihan terbaik bagi bangsa Indonesia karena bersumber dan digali dari nilai-nilai agama, kebudayaan, dan adat istiadat yang hidup dan berkembang di bumi Indonesia. 4. Meskipun banyak sekali halangan dan rintangan yang terjadi, namun sampai saat ini Pancasila tetap menjadi dasar negara Indonesia dan sebagai pedoman bagi seluruh rakyat Indonesia.

B. Saran

Bagi civitas akademika manapun, ini adalah kesempatan terbaik dan terbatas untuk bisa fokus mempelajari, dan memahami dinamika Pancasila di era orde lama, orde baru, dan era reformasi, mengingat konsep dan fasilitas sedang membersamai pembelajaran.

Dinamika Pancasila erat kaitannya dengan Sejarah Pancasila dari masa ke masa. Presiden RI pertama, Soekarno pernah mengatakan, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi penting dalam membangun kehidupan bangsa dengan lebih bijaksana di masa depan. Semoga dengan pemahaman yang benar dari semua pihak terhadap dinamika Pancasila ini dapat mengarahkan bangsa Indonesia kepada cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnaya.

DAFTAR PUSTAKA

Hastangka, Lasiyo. “Pendidikan Pancasila Pada Era Paska Reformasi: Tinjauan Historis dan Filosofis”. doi.org. Diakses pada Minggu tanggal 21 Oktober 2023. https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/1456/1241

Rahmah, Naila. “Makalah Pancasila”. zdocs.tips. Diakses pada Minggu tanggal 21 Oktober 2023. https://zdocs.tips/doc/makalah-pancasila-q182074g5w1v

Velicha Cristy, Angel. dkk. “Pancasila Dalam Arus Sejarah Indonesia”. Makalah, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2021.

Saran kami apabila akan digunakan untuk kepentigan karya ilmiah Anda, jadikan artikel ini sebagai referensi saja. Jangan sepenuhnya menyalin tanpa dipelajari terlebih dahulu. Lakukan beberapa perubahan di dalamnya seperti; perbaikan kekeliruan pada huruf, periksa kembali konten dan perbaiki apabila ada yang tidak sesuai dengan kaidahnya, sempurnakan konten pada karya Anda dengan menggabung beberapa sumber lain yang terkait.

Semoga bermanfaat dan menjadi berkah.