Pendidikan Pancasila: Makalah Filsafat Pancasila
Pancasila telah disepakati oleh bangsa Indonesia sebagai dasar falsafi kenegaraan bagi Republik Indonesia. Hal ini mengacu kepada kata-kata Sukarno dalam Pidato 1 Juni 1945 yang menyatakan bahwa Pancasila adalah sebuah philosophiesche grondslag.
KULIAH
Yogi Triswandani
11/17/202311 min baca
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pancasila telah disepakati oleh bangsa Indonesia sebagai dasar falsafi kenegaraan bagi Republik Indonesia. Hal ini mengacu kepada kata-kata Sukarno dalam Pidato 1 Juni 1945 yang menyatakan bahwa Pancasila adalah sebuah philosophiesche grondslag. Belakangan, kelima poin pemikiran filosofis itu disebut sebagai dasar negara di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) yang disepakati pada 18 Agustus 1945.
Pancasila yang terdiri atas lima sila, pada hakekatnya merupakan sistem filsafat. Yang dimaksud dengan system, secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh, bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling bekerjasama untuk satu tujuan tertentu.
Pancasila sebagai sistem filsafat adalah kenyataan Pancasila yang obyektif, yaitu bahwa kenyataan itu ada pada Pancasila sendiri terlepas dari sesuatu yang lain atau pengetahuan orang lain. Kenyataan obyektif yang ada dan terletak pada Pancasila bersifat khas dan berbeda dalam sistem-sistem filsafat yang lain. Hal ini secara ilmiah disebut sebagai filsafat secara obyektif. Dan untuk mendapatkan makna yang lebih mendalam dan mendasar, kita perlu mengkaji nilai-nilai Pancasila dari kajian filsafat secara menyeluruh.
B. Rumusan Masalah
Apakah sebetulnya makna dari ungkapan bahwa Pancasila adalah sebuah philosophiesche grondslag? Apa yang dimaksud dengan falsafah kenegaraan Pancasila? Apakah dengan demikian Pancasila layak disebut sebagai suatu filsafat politik? Secara lebih umum, dapatkah kita berbicara tentang filsafat Pancasila?
Tulisan ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berisi ulasan tentang filsafat Pancasila, atau jawaban atas pertanyaan dalam pengertian seperti apa Pancasila itu layak disebut wacana filsafat. Bagian kedua berfokus pada pembahasan Pancasila sebagai filsafat politik, meskipun bahan dasarnya berasal dari dunia-kehidupan dan pandangan-dunia non-politis. Bagian ketiga mengulas pengertian Pancasila sebagai philosophische grondslag atau dasar falsafi kenegaraan.
Selain tiga bagian tersebut, di dalam tulisan ini juga hendak dicoba pemahaman lebih lanjut yang dijadikan rumusan masalah, diantaranya:
1. Apakah pengertian Filsafat dan Filsafat Pancasila?
2. Apa yang dimaksud Pancasila sebagai suatu sistem filsafat ?
3. Apakah fungsi utama filsfat Pancasila bagi bangsa dan negara Indonesia?
C. Tujuan Pembuatan Makalah
Makalah ini dibuat sebagai jawaban atas tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila. Adapun pembahasan tentang Filsafat Pancasila yang penulis susun dalam makalah ini mempunyai tujuan mempersiapkan mahasiswa sebagai calon sarjana yang berkualitas, berdedikasi tinggi, dan bermartabat agar:
1. Memiliki pengetahuan tentang Pancasila dari aspek filsafat.
2. Mengetahui pengertian filsafat dan filsafat Pancasila.
3. Mengetahui fungsi utama filsafat Pancasila bagi bangsa dan negara Indonesia..
BAB II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat
Dari segi etimologi, istilah “filsafat” dalam bahasa Indonesia mempunyai padanan “falsafah” dalam kata Arab. Sedangkan menurut kata inggris “philosophy”, kata latin “philosophia”, kata Belanda “philosophie”, yang kesemuanya itu diterjemahan dalam kata Indonesia “Filsafat”. “Philosophia” ini adalah kata benda yang merupakan hasil dari kegiata “philosophien” sebagai kata kerjanya. Sedangkan kegiatan ini dilakukan oleh philosophos atau filsuf sebagai subjek yang berfilsafat. Menurut Dr. Harun Nasution, istilah “falsafah” berasal dari bahasa yunani “philein” dan kata ini mengandung arti “cinta” dan “sophos” dalam arti hikmah (wisdom) (Nasution, 1973).
Istilah “filsafat” berasal dari bahasa Yunani, bagsa Yunani-lah yang mula-mula berfilsafat seperti lazimnya dipahami oleh orang sampai sekarang. Kata ini bersifat majemuk, berasal dari kata “philos” yag berarti “sahabat” dan kata “Sophia” yang berarti “pengetahuan” yang bijaksana (wished) dalam bahasa Belanda, atau wisdom kata inggris, dan hikmat menurut kata Arab. Maka philosophia menurut arti katanya berarti cinta pada pengetahuan yang bijaksana, oleh karena itu mengusahakannya. (Sidi Gazalba, 1977). Jadi terdapat sedikit perbedaan arti, disatu pihak menyatakan bahwa filsafat merupakan bentuk majemuk dari “philein” dan “sophos”, (Dr.Harun Nasution,1973) di lain pihak filsafat dinyatakan dalam bentuk majemuk dari “philos” dan “Sophia” (Sidi Gazalba, 1977) namun secara sistematis memiliki makna yang sama.
Dengan demikian “filsafat” yang dimaksudkan sebagai kata majemuk dari philein dan sophos mengandung arti mencintai hal-hal yang sifatnya bijaksana, sedangkan filsafat yang merupakan bentuk majemuk dari philos dan Sophia berkonotasi teman dari kebijaksanaan. Jadi istilah filsafat merupakan suatu istilah yang pada mulanya secara umum dipergunakan untuk menyebutkan usaha kearah keutamaan mental (the persuit of mental exellance) (Ali mudhofir, 1980).
B. Pancasila Sebagai Wacana Filosofis
Apakah Pancasila adalah suatu filsafat? Jika kita hendak menempatkan Pancasila dalam kerangka filsafat, kita perlu menjadikan Pancasila sebagai sebuah diskursus yang bersifat rasional. Artinya, kita tidak menempatkan Pancasila sebagai dogma yang diterima begitu saja, melainkan mengulasnya melalui proses refleksi. Di sini, Pancasila bukan kepercayaan yang tak boleh dibantah atau dipertanyakan, tapi justru merupakan wacana yang bersifat terbuka, dialogis, dan kritis.
Selain itu, perspektif filosofis dalam membaca Pancasila juga menuntut kita untuk berfokus pada aspek-aspek yang paling mendasar dari Pancasila, bukan aspek-aspeknya yang bersifat artifisial. Misalnya, jika dikatakan bahwa Pancasila adalah philosophische grondslag, maka kita akan mengarahkan telaah hanya pada wilayah moralitas politik, bukan moralitas individual warga negara, bukan pula pada soal sopan-santun perilaku manusia. Di sini, kita tidak akan berbicara tentang cara duduk atau makan yang Pancasilais, melainkan tentang bagaimana kekuasaan negara sejatinya dikelola.
Dengan pengertian filsafat sebagai diskursus yang bersifat rasional dan mendasar tersebut, lima rumusan dasar negara yang disampaikan oleh Sukarno pada 1 Juni 1945 memang cukup layak untuk disebut sebagai wacana filosofis. Sebab, lima rumusan pemikiran Sukarno itu dikemukakan dengan didukung oleh argumentasi yang bersifat rasional. Karenanya, kelima rumusan Sukarno itu cukup terbuka untuk didiskusikan dan ditanggapi secara kritis. Selain itu, rumusan pemikiran yang dikemukakan Sukarno tersebut juga menyangkut suatu masalah yang sangat mendasar, yaitu: dasar negara.
Jika Pancasila itu adalah diskursus rasional tentang landasan kehidupan bernegara, persoalannya kemudian adalah dari mana datangnya masing-masing sila dari Pancasila tersebut? Apakah kelima sila itu diturunkan dari premis-premis lain yang lebih tinggi melalui penalaran yang bersifat deduktif? Atau, kelima sila itu merupakan hasil abstraksi dari pengalaman atau sejarah kongkret melalui penalaran yang bersifat induktif? Pertanyaan-pertanyaan ini terkait dengan metode filsafat yang dipakai untuk merumuskan Pancasila.
Berdasarkan pengakuan Sukarno, kelima sila dari Pancasila tersebut digali dari lapisan-lapisan kepribadian bangsa. Adapun lapisan-lapisan itu terbentuk dalam waktu di sepanjang perjalanan sejarah para penduduk yang tinggal di kepulauan Nusantara, dari masa yang paling purba hingga masa paling akhir. Bagi Sukarno, kelima sila itu memang telah lama ada dalam berbagai pandangan hidup masyarakat. Karenanya, apa yang perlu dilakukan oleh Sukarno adalah tinggal menggalinya, bukan menciptakannya.
Dalam istilah yang bersifat teknis, upaya penggalian yang dilakukan oleh Sukarno adalah sebuah proses untuk membuat eksplisit hal-hal yang sebelumnya bersifat implisit melalui refleksi filosofis. Hal-hal implisit di sini terdiri dari lingkungan hidup, nilai-nilai, kepercayaan, kebiasaan, cara pandang, dan lain sebagainya. Kemudian, hal-hal implisit itu dirumuskan, ditematisasi, dan diteoritisasi menjadi rumusan falsafi yang bersifat eksplisit.
Karena bahan-bahan dasar yang diabstraksikan bukan kenyataan-kenyataan alamiah seperti elemen-elemen, mineral, tumbuhan, hewan, dan manusia sebagai realitas fisik, melainkan bentuk-bentuk laku hidup manusia, maka hasil dari proses abstraksi itu adalah norma-norma kehidupan. Dengan kata lain, refleksi filosofis yang dilakukan oleh Sukarno adalah menyangkut dimensi praxis, bukan theoria. Karenanya, sebagai wacana filosofis, Pancasila termasuk kategori filsafat praktis (etika), bukan filsafat teoritis (ilmu).
C. Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat
Pancasila yang terdiri atas lima sila, pada hakekatnya merupakan sistem filsafat. Sistem adalah suatu kesatuan yang utuh dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling bekerjasama untuk satu tujuan tertentu. Kesatuan sila-sila Pancasila pada hakekatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja, namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, dasar epistimologis, serta dasar aksiologis dari sila Pancasila.
1. Dasar Ontologis
Dasar Ontologis Pancasila pada hakekatnya adalah manusia yang memiliki hakekat mutlak. Subyek pendukung pokok-pokok Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan bahwa yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah permusyawaratan/perwakilan, serta yang berkeadilan social adalah manusia (Notonegoro, 1975:23). Demikian juga jika kita pahami dari segi filsafat Negara, pendukung pokok Negara adalah rakyat, dan unsur rakyat adalah manusia itu sendiri. Sehingga tepatlah jika dalam filsafat Pancasila bahwa hakekat dasar ontopologis sila-sila Pancasila adalah manusia.
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan Rohani. Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, kedudukan kodrat manusia adalah sebagai pribadi yang mandiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan, maka secara hirarkis sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila lainnya (notonegoro, 1975-53).
2. Dasar Epistemologis
Dasar epistimologis Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakekatnya juga merupakan suatu sistem pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan Negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dalam hidup dan kehidupan. Pancasila dalam pengertian yang demikian ini telah menjadi suatu sistem cita-cita atau keyakinan-keyakinan yang menyangkut praksis, karena dijadikan landasan bagi cara hidup manusia atau suatu kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Hal ini berarti filsafat telah menjelma menjadi ideology (Abdul Gani, 1998). Sebagai suatu ideologi maka Pancasila memiliki 3 unsur pokok agar dapat menarik loyalitas dari para pendukungnya yaitu:
a. Logos, yaitu rasionalitas atau penalarannya.
b. Pathos, yaitu penghayatannya,
c. Ethos, yaitu kesusilaannya (Wibisono, 1996:3).
Sebagai suatu sistem filsafat atau ideologi maka Pancasila harus memiliki unsur rasional terutama dalam kedudukannya sebagai suatu sistem pengetahuan.
3. Dasar Aksiologis
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologisnya, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakekatnya juga merupakan satu kesatuan. Pada hakekatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa saja yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia.
Nilai-nilai Pancasila termasuk nilai kerohanian, namun tetap mengakui nilai material dan vital. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila tergolong nilai kerohanian, yang juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, yaitu nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral ataupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistematik hierarkhis, dimana sila pertama sebagai basisnya sampai sila kelima sebagai tujuannya (Darmo diharjo).
D. Filsafat Politik Pancasila
Meskipun berasal dari dunia-kehidupan (lebenswelt) dan pandangan-dunia (weltanschauung) yang bersifat implisit dan dibuat eksplisit menjadi norma-norma kehidupan melalui refleksi filosofis, kelima sila dalam Pancasila itu sudah menjadi diskursus rasional tentang dimensi politis dari kehidupan bersama bangsa Indonesia. Karenanya, meski berasal dari pandangan kebudayaan, etnisitas, agama, dan lain-lain, Pancasila telah melampaui pandangan-pandangan privat itu dan menjadi sebuah filsafat politik atau falsafah Kenegaraan. Intinya, Pancasila bukan lagi wacana keagamaan atau kebudayaan, melainkan wacana politis.
Dalam konteks ini, ketika Sukarno menyatakan bahwa Pancasila adalah sebuah weltanschauung, apa yang dimaksudkannya itu bukan lagi pandangan dunia-relijius atau etno-kultural, melainkan weltanschauung yang bersifat politis, yang sepadan dengan istilah filsafat politik atau philosophische grondslag. Jika pandang dunia-religius atau etno-kultural biasanya diterimanya secara taken for granted oleh anggota-anggota komunitas yang bersangkutan, weltanschauung politis justru bisa didiskusikan oleh siapa saja yang menjadi bagian dari warga komunitas politis itu. Karenanya, Sukarno tidak merasa keberatan jika Pancasila 1 Juni yang dirumuskannya kemudian diperdebatkan melalui deliberasi publik dalam BPUPK dan PPKI.
Misalnya, meskipun mungkin berasal dari pandangan dunia-relijius tertentu, sila Ketuhanan dalam Pancasila adalah bagian dari konstruksi filsafat politik, bukan wacana agama. Dalam wacana keagamaan, Tuhan dipahami sebagai jalan dan sumber keselamatan. Sementara itu, sila Ketuhanan dalam Pancasila tidak ada hubungannya sama sekali dengan jalan keselamatan. Dalam Pancasila, sila Ketuhanan bermakna pengakuan negara terhadap eksistensi berbagai tradisi agama, kepercayaan, dan spiritualitas di Indonesia.
Karenanya, dalam kerangka Pancasila sebagai filsafat politik, keberadaan sila Ketuhanan tidak lantas membuat Indonesia serta-merta menjadi sebuah negara agama atau negara teokratis. Dalam negara agama (teokrasi), negara menjadi pelayan bagi ajaran atau komunitas agama tertentu. Atau, sebaliknya, otoritas agama menjadi pemberi legitimasi bagi kekuasaan negara. Sementara itu, sila Ketuhanan dalam Pancasila hanya menunjukkan bahwa negara tidak memusuhi agama, kepercayaan atau tradisi spiritualitas. Sebaliknya, dimensi publik agama diterjemahkan ke dalam keutamaan-keutamaan publik melalui negara.
Contoh lain adalah tentang musyawarah atau mufakat. Praktik musyawarah bisa jadi sudah menjadi tradisi hidup dalam bentuk urun-rembuk di dalam berbagai komunitas desa, adat dan suku yang ada dalam masyarakat Nusantara. Atau, musyawarah juga bisa saja merupakan ajaran yang terkandung dalam tradisi keagamaan tertentu yang ada di negeri ini. Namun demikian, sila musyawarah atau mufakat dalam Pancasila tidak sama persis dengan praktik dan ajaran tentang musyawarah dalam dunia-kehidupan atau pandangan-dunia komunitas religius atau etno-kultural yang bersangkutan. Sebab, musyawarah atau mufakat dalam Pancasila adalah hasil abstraksi dari semua itu dan telah menjadi filsafat politik atau falsafah kenegaraan.
Dalam kerangka filsafat politik, sila musyawarah atau mufakat bertitik-tolak dari nilai kesetaraan antar-individu sebagai warga negara. Prinsip kesetaraan antar-individu inilah yang besar kemungkinan tidak ada dalam praktek urun-rembuk pada masyarakat tradisional atau praktek konsultasi dalam tradisi agama tertentu. Sebab, urun-rembuk atau konsultasi dalam komunitas etno-kultural atau relijius biasanya tetap mengandaikan adanya hirarki sosial yang menjadi dasar pembentuk komunitas tersebut. Karenanya, kesetaraan dalam musyawarah menjadi pembeda dalam filsafat politik Pancasila.
Pada intinya, sebagai filsafat politik, Pancasila memiliki karakter publik. Karakter publik ini tidak ada pada berbagai ajaran, kebiasaan, kepercayaan, tradisi, nilai-nilai atau cara pandang yang termasuk kategori dunia-kehidupan atau pandangan-dunia dalam komunitas religius atau komunitas etno-kultural tertentu. Karakter publik yang melekat pada Pancasila ini juga yang membuat sila-sila dalam Pancasila bisa disebut sebagai keutamaan-keutamaan publik (public virtues).
E. Fungsi Utama Filsafat Pancasila Bagi Bangsa dan Negara Indonesia
1. Filsafat Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
Pancasila dirumuskan oleh The Founding Fathers dan lahir dari ways of life bangsa Indonesia, melalui penelitian dan penyelidikan kesepakatan yang ada pada siding BPUPKI. Bung Karno dalam pidatonya 1 juni 1945 mengatakan, bahwa mengenai pentingnya satu weltanschauung (alat pemersatu bangsa) lebih kurang beliau mengatakan :” we want to estabilished a state not for a single individual or for onr group even not for aristocration, but we want to estabilished a state one for all and all for all”. Demikian pula dengan berbagai masukan dari para The foundings Fathers kita yang lain seperti Mr. Mohammad Yamin, Ki Hadi Bagoes Koesoemo, Mr. Soepomo, dan lain-lain juga menghendaki adanya satu philosophische grondslag/filsafat dasar sebuah Negara, hingga diberikanlah nama mengenai philosophische grondslag/filsafat dasar Bangsa dan Negara Indonesia adalah Pancasila.
Ungkapan Sukarno yang menyatakan bahwa Pancasila adalah philosophische grondslag, bisa kita pahami dengan baik maksud yang sesungguhnya dari ungkapan tersebut, yaitu: Pancasila adalah filsafat politik. Dengan kata lain, Pancasila adalah diskursus rasional tentang dasar-dasar kehidupan politis bangsa Indonesia. Di sini, Sukarno sangat mengerti perbedaan antara dimensi kehidupan politis dan dimensi kehidupan non-politis bangsa Indonesia.
Sebagai philosophische grondslag, Pancasila mengikat dan menentukan pada bagaimana kekuasaan negara dijalankan dan dikelola. Siapapun nanti yang memegang kursi kekuasaan, ia tidak akan diperkenankan untuk melewati batasan minimal, yaitu: lima sila dalam Pancasila. Jika ada salah satu sila saja yang tidak diindahkan oleh seorang penguasa di Indonesia, maka ia telah menghancurkan bangunan politis bangsa ini. Karenanya, Sukarno juga menyebut Pancasila dengan istilah meja statis.
Bagaimana dengan kebiasaan, ajaran, kepercayaan, nilai-nilai, dan sebagainya yang ada dalam dunia-kehidupan dan pandangan-dunia yang bersifat non-politis? Apakah itu semua masih bisa berjalan seperti biasa meskipun Indonesia telah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara? Jawabannya: tentu saja bisa. Dalam kegiatan sehari-hari, kita tidak perlu repot-repot memikirkan cara berjalan kaki atau cara berpakaian yang bersifat Pancasilais. Kita bisa mengikuti norma-norma non-politis untuk menjadi panduan kehidupan kita, baik yang berasal dari ajaran agama, nilai-nilai etno-kultural atau ajaran-ajaran moral yang bersifat filosofis. Sebab, Pancasila itu adalah falsafah kenegaraan, bukan etiket atau aturan sopan-santun yang mengatur urusan-urusan privat dan perilaku individual.
2. Filsafat Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.
Prinsip-prinsip dasar kehidupan bangsa Indonesia ditemukan oleh para peletak dasar Negara tersebut yang diangkat dari dasar filsafat hidup bangsa Indonesia, yang kemudian diabstraksikan menjadi prinsip dasar filsafat Negara, yaitu Pancasila. Hal inilah sebagai suatu alasan ilmiah rasional dalam ilmu filsafat bahwa salah satu lingkup pengertian filsafat adalah fungsinya sebagai suatu pandangan hidup masyarakat atau bangsa tertentu (Harold Titus, 1984).
Berdasarkan suatu kenyataan sejarah tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa filsafat Pancasila sebagai suatu pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan suatu kenyataan obyektif yang hidup dan berkembang dalam suatu masyarakat Indonesia.
3. Filsafat Pancasila Sebagai Sumber dari hukum dasar Indonesia.
Sebagaimana terkandung dalam pembukaan UUD 1945 alenia IV, susunan tersebut menunjuk bahwa Pancasila merupakan dasar, kerangka, dan pedoman bagi Negara dan tertib hukum Indonesia, yang pada hakekatnya tersimpul dalam asas kerohanian Pancasila. Dengan demikian konsekuensinya Pancasila asas yang mutlak bagi adanya tertib hukum Indonesia yang pada akhirnya perlu direalisasikan dalam setiap aspek penyelenggaraan Negara. Dalam pengertian inilah maka Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari hukum dasar Indonesia, atau dengan kata lain perkataan sebagai sumber tertib hukum Indonesia yang tercantum dalam ketentuan tertib hukum tertinggi, yaitu pembukaan UUD 1945.
Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia pada hakikatnya adalah sebagaimana nilai-nilainya yang bersifat fundamental menjadi suatu sumber dari segala sumber hukum dalam negara Indonesia, menjadi wadah yang fleksibel bagi faham-faham positif untuk berkembang dan menjadi dasar ketentuan yang menolak faham-faham yang bertentangan seperti Atheisme dan segala bentuk kekafiran tak beragama, Kolonialisme, Diktatorisme, Kapitalis, dan lain-lain.
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Pancasila telah disepakati oleh bangsa Indonesia sebagai dasar falsafi kenegaraan bagi Republik Indonesia. Pancasila semenjak awal sudah dirumuskan sebagai wacana filosofis dan termasuk kategori filsafat praktis (etika), bukan filsafat teoritis (ilmu).Pancasila yang terdiri atas lima sila, pada hakekatnya merupakan sistem filsafat yang tidak hanya bersifat formal logis saja, namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, dasar epistimologis, serta dasar aksiologis dari sila Pancasila.
Meski berasal dari pandangan kebudayaan, etnisitas, agama, dan lain-lain, Pancasila telah melampaui pandangan-pandangan privat itu dan menjadi sebuah filsafat politik atau falsafah Kenegaraan. Intinya, Pancasila bukan lagi wacana keagamaan atau kebudayaan, melainkan wacana politis. Karakter publik yang melekat pada Pancasila ini juga yang membuat sila-sila dalam Pancasila bisa disebut sebagai keutamaan-keutamaan publik (public virtues).
Fungsi utama filsafat Pancasila bagi bangsa dan negara Indonesia diantaranya adalah; (a) Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, (b) Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, dan (c) Pancasila sebagai sumber hukum dasar bangsa Indonesia.
B. Saran
Warga negara Indonesia merupakan sekumpulan orang yang hidup dan tinggal di negara Indonesia. Oleh karena itu sebagai warga negara Indonesia yang baik maka perlu menghormati, menghargai, memahami, dan melaksanakan nilai-nilai Pancasial khususnya dalam pemahaman bahwa falsafah Pancasila adalah sebagai dasar falsafah bangsa dan negara Indonesia.
Bagi civitas akademika manapun, ini adalah kesempatan terbaik dan terbatas untuk bisa fokus mempelajari, dan memahami Filsafat Pancasila mengingat konsep dan fasilitas sedang membersamai pembelajaran.
Makalah ini tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena keterbatasan pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh sehubungan dengan makalah ini. Penulis banyak berharap kepada para pembaca agar memberikan kritik maupun saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
University, Binus. (2021, 02 Februari). Filsafat Pancasila. Diakses pada 17 Nopember 2023, dari https://binus.ac.id/character-building/pancasila/filsafat-pancasila/
Ritonga, Noviasari. (2014, April). Pancasila Sebagai Sistem Filsafat. Diakses pada 17 Nopember 2023, darihttps://viapurwawisesasiregar.blogspot.com/2014/04/makalah-tentang-pancasila-sebagai_16.html
Saran kami apabila akan digunakan untuk kepentigan karya ilmiah Anda, jadikan artikel ini sebagai referensi saja. Jangan sepenuhnya menyalin tanpa dipelajari terlebih dahulu. Lakukan beberapa perubahan di dalamnya seperti; perbaikan kekeliruan pada huruf, periksa kembali konten dan perbaiki apabila ada yang tidak sesuai dengan kaidahnya, sempurnakan konten pada karya Anda dengan menggabung beberapa sumber lain yang terkait.
Semoga bermanfaat dan menjadi berkah.