Metodologi Studi Islam: Tanya Jawab Seputar Pendekatan Studi Islam

Beberapa pertanyaan berikut jawabannya berkaitan dengan metodologi studi Islam. Simak dan tetaplah bersama situs web kami!

TANYA JAWAB

Yogi Triswandani

5/2/202417 min baca

  1. Dalam studi Islam ada dua wilayah kajian, yaitu Islam sebagai wahyu (Islam normative) dan Islam sebagai produk sejarah (Islam Historis). Jelaskan apa yang anda ketahui tentang dua wilayah kajian tersebut?

a. Islam Normative

Islam normatif adalah Islam sebagai wahyu dan pada dimensi sakral yang diakui adanya realitas transendetal yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut realitas ke-Tuhan-an. Islam normatif diidentikkan dengan syari’at dan wahyu. Syari’at dari segi istilah didefinisikan oleh Mustafa Ahmad Al-Zarqa adalah kumpulan perintah dan hukum-hukum yang berkaitan dengan kepercayaan (iman dan Ibadah) dan hubungan kemasyarakatan (mu’amalah) yang diwajibkan oleh Islam untuk diaplikasikan dalam kehidupan guna mencapai kemaslahatan masyarakat. Sementara wahyu adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, untuk kebahagiaan manusia didunia dan di akhirat.

Sebagaimana definisi diatas, normativitas ajaran wahyu dibangun, diramu, dibakukan dan ditelaah lewat berbagai suatu pendekatan doktrinal teologis. Oleh karena itu, Islam normatif adalah Islam ideal yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

b. Islam Historis

Islam historis atau Islam sebagai produk sejarah adalah Islam yang dipahami dan dipraktikkan kaum muslim di seluruh dunia, mulai dari masa nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Islam dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies). Kajian Islam historis menekankan Islam sebagai agama yang berevolusi (envolving religion), agama yang berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan tuntunan zaman dan tempat.

Islam historis merupakan unsur kebudayaan yang dihasilkan oleh setiap pemikiran manusia dalam interpretasi atau pemahamannya terhadap teks, maka Islam pada tahap ini terpengaruh bahkan menjadi sebuah kebudayaan. Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.

Referensi: https://mybpiandbki.blogspot.com/2016/05/islam-normatif-dan-historis.html

  1. Dalam kehidupan kita saat ini, kata-kata Pluralisme sering kita dengar bahkan menjadi jargon dalam hal apapun ketika disandingkan dengan agama. Apa yang anda ketahui mengenai pluralisme agama? Benarkah Islam mengakui adanya pluralitas beragama? Jelaskan !

a. Pluralisme Agama

Pluralisme adalah konsep pemikiran dalam memahami fakta keberagaman manusia. Pluralisme bukan berasal dari Islam. Pluralisme agama muncul pada masa yang biasa disebut Masa Pencerahan (Age of Enlightenment) Eropa, tepatnya abad ke-18, masa yang disebut dengan titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Masa ini diwarnai berbagai wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan agama.

Di tengah hiruk pikuk pergolakan pemikiran di Eropa (yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja), muncullah liberalisme yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan, dan keragaman (pluralisme). Oleh karenanya, pluralisme pada hakikatnya lahir dari rahim liberalisme. (Ahmad Rifa’i, Sejarah Pluralisme).

Ada banyak macam pluralisme di dunia ini. Di antaranya adalah pluralisme budaya, mengajarkan hidup bersama dengan saling toleransi terhadap budaya orang lain yang berbeda. Lalu ada pluralisme sosial, menerima keberagaman berupa sikap saling menghormati dalam interaksi sosial antarindividu atau kelompok pada sebuah tatanan sosial. Ada lagi pluralisme agama, menganggap sama semua agama dan keyakinan karena memandang bahwa kebenaran agama adalah relatif. Setiap umat beragama tidak boleh mengeklaim bahwa keyakinannya paling benar dan lainnya salah.

b. Benarkah Islam Mengakui Adanya Pluralitas Beragama?

Islam memang mengakui pluralitas, tetapi tidak dengan pluralisme. Pluralisme berbeda dengan pluralitas. Apabila kita menelusuri lebih dalam pendapat: “Pluralisme diakui di dalam Islam”, lahir akibat kerancuan berpikir sehingga tidak mampu membedakan antara pluralitas dan pluralisme. Sesungguhnya, pluralitas dan pluralisme adalah dua istilah yang berbeda. Menyamakan keduanya merupakan hal keliru, bahkan fatal.

Pluralitas adalah keberagaman atau kemajemukan di dalam masyarakat, baik ras, bangsa, suku bangsa, budaya, agama, dan lainnya. Oleh karenanya, pluralitas adalah sunnatullah. Allah Swt. menciptakan manusia dengan beragam. Itu sebabnya kita mendapati ada bermacam-macam ras manusia, ada yang berkulit hitam, cokelat, putih, hingga merah. Mereka berbicara dengan bahasa masing-masing dan berinteraksi sesuai budaya masing-masing. Pluralitas merupakan sunnatullah, terjadi atas kehendak-Nya.

Allah Swt. menegaskan dalam QS. Ar-Rum [30]: 20, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”

Pluralisme bertentangan secara diametral dengan Islam. Pluralisme agama jelas bertentangan dengan Islam karena menganggap semua agama benar. Islam justru mengafirmasi bahwa hanya Islam agama yang benar. Allah Swt. berfirman dalam QS. Ali Imran: 19 dan 85,

“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” [19]

“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [85]

Sementara itu, pluralisme budaya bertentangan dengan Islam karena begitu menjunjung tinggi nilai-nilai budaya tanpa memperhatikan apakah sesuai Islam ataukah tidak. Bahkan, ketika Islam masuk ke suatu wilayah, menurut konsep pluralisme, Islam yang harus menghormati budaya masyarakat setempat, yakni dengan cara menyesuaikan Islam dengan budaya. Jelas ini pendapat yang bertentangan dengan Islam.

Islam adalah agama yang berasal dari Allah Taala. Semua ajaran Islam adalah ajaran-Nya. Bagaimana bisa ajaran Allah harus disesuaikan dengan budaya yang merupakan produk akal manusia? Walhasil, bukan Islam yang harus menyesuaikan dengan budaya, melainkan justru budaya yang harus disesuaikan dengan Islam.

Adapun pluralisme sosial mengajarkan untuk saling menghormati perbedaan pendapat dalam interaksi sosial. Paham semacam ini melahirkan sikap cuek dan tidak peduli dengan urusan orang lain sehingga membiarkan kesesatan, kemusyrikan, juga kerusakan merajalela di tengah masyarakat. Orang-orang tidak berani menasihati, apalagi menegur pelaku maksiat. Mereka cenderung diam, ingin jadi “orang baik” untuk dirinya sendiri dan membiarkan orang lain terjerumus dengan alasan, “Toh itu urusannya, bukan urusan saya.”

Pemikiran semacam ini jelas sangat berbahaya. Betapa banyak keburukan menimpa umat hari ini akibat hilangnya kepedulian dan adanya pembiaran terhadap kemaksiatan. Dengan demikian, sangat jelas bahwa pluralisme sosial bertentangan dengan Islam yang justru memerintahkan untuk beramar makruf nahi mungkar, yakni menyeru pada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran (lihat QS. Ali Imran: 104 dan 110).

Simpulannya, pluralitas dan pluralisme adalah dua hal yang berbeda. Keliru, bahkan sangat berbahaya jika menyamakan keduanya karena akan menghasilkan kesimpulan yang salah, seolah Islam mengakui pluralisme. Tidak ada pengakuan Islam terhadap pluralisme. Nas-nas Al-Qur’an maupun Sunah yang biasa mereka jadikan hujah ternyata sama sekali tidak membahas pluralisme, melainkan pluralitas. Terlebih lagi, pluralisme bertentangan dengan Islam dalam seluruh ajarannya. Sudah saatnya membuang jauh semua pemikiran kufur, termasuk pluralisme, dari benak umat dan kembali kepada ajaran Islam kafah.

Wallahu a’lam bissawab.

Referensi: https://muslimahnews.net/2023/02/23/17908/

  1. Apa yang anda ketahui tentang definisi Metodologi Studi Islam, dan mengapa Metodologi Studi Islam ini penting untuk di pelajari, kemudian apakah ada contoh kongkrit yang bisa dipahami dalam mempelajarinya? berikan contoh dan ruang lingkupnya!

a. Definisi Metodologi Studi Islam

Metodologi dalam bahasa Indonesia memiliki arti, cara yang teratur dan terpikir untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan; prosedur yang ditempuh mengenai bagaimana cara memacahkan suatu masalah (mulai dari menemukan fakta sampai penyimpulan).

Studi Islam adalah kajian mengenai segala hal yang ada kaitannya dengan Islam. Pengertian secara terminologis mengenai studi Islam adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang segala hal yang berkaitan dengan Islam, baik secara ajaran, sejarah, atau praktik secara nyata di kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, dapat dikonotasikan bahwa Metodologi studi Islam adalah pendekatan dan metode penelitian yang digunakan dalam memahami, menganalisis, dan mengkaji isu-isu terkait agama Islam.

b. Pentingnya Mempelajari Metodologi Studi Islam

Dewasa ini umat Islam berada pada masa menghadapi tantangan perkembangan zaman, dan studi Islam dituntut untuk beradaptif dengan menggunakan pendekatan objektif dan rasional. Dengan mempelajari Metodologi Studi Islam ini, dapat untuk dijadikan sebagai pedoman bagi umat Islam agar mampu memberikan jawaban dari berbagai tantangan dengan perkembangan tekhnologi dan perubahan kehidupan sosial di masyarakat, serta diharapkan mampu memperbarui pemikiran-pemikiran mengenai ajaran Islam dan mampu menyesuaikan dengan perkembangan saat ini dengan tetap berpegangan pada Al-Qur’an dan Hadis sebagai pedomannya.

Tujuan studi Islam merupakan uapaya untuk memiliki kemampuan terbaik dalam mempelajari ilmu lebih dalam baik secara aspek tersembunyi maupun aspek nyata dari fenomena keagamaan yang tidak dapat dipisah antara satu dengan lain dan saling berhubungan satu antar lainnya.

Posisi agama dalam hal ini adalah Islam, fungsinya tidak sebatas hanya sebagai doktrin saja namun memiliki peran sebagai kajian akademis. Islam mempunyai konsep-konsep atau ajaran-ajaran bersifat universal dan alami dan dapat menyelamatkan manusia dan alam dari kehancurannya. Oleh karena itu Islam harus bisa menawarkan nilai, norma dan aturan hidup di era modern beserta tawaran solusinya.

c. Contoh Kongkrit Mempelajari Metodologi Studi Islam

Metodologi Studi Islam menjadi hal penting saat ini di tengah munculnya pemikiran menentang dan menyeleweng dari ajaran pokok agama Islam, apalagi adanya potensi merusak pokok ajaran Islam, seperti ajaran Islam radikal dan pluralisme dengan anggapan bahwa semua agama itu benar. Disinilah urgensi studi Islam untuk menggali kembali ajaran Islam yang murni dan bersifat manusiawi dan universal. Dengan memaknai urgensi metodelogi studi Islam, dapat diketahui bahwa dunia Islam memiliki peran aktif yang membawa dan menuntun manusia pada jalan kebenaran.

d. Ruang Lingkup Metodologi Studi Islam

Metodologi studi Islam secara rinci dijelaskan oleh Syari’ati yang membaginya menjadi empat bagian. (1) Mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain, (2) Mempelajari kitab Al-Qur’an dan membandingkannya dengan kitab-kitab samawi (atau kitab-kitab yang dikatakan samawi) lainnya, (3) Mempelajari kepribadian Rasul dan Islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembaruhan yang pernah hidup dalam sejarah, (4) Mempelajari tokoh-tokoh agama maupun aliran-aliran pemikiran lain.

Agama dalam sudut pandang obyek studi dapat dilihat dari beberapa paradigma, diantarannya (1) Sebagai doktrin tuhan yang sebenarnya bagi para pemeluknya sudah final dalam arti absolute dan diterima apa adannya. (2) Sebagai gejala budaya, yang berarti seluruh yang menjadi kreasi manusia dalam kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya. (3) Sebagai interaksi sosial, yaitu realitas umat Islam.

Pengkajian terhadap studi Islam beragam aspek yang dapat diketahui umumnya dengan berbagai pendekatan, seperti dari pendekatan sosiologis, historis, filosofis, dan lain-lain. Qordary Azizy menggabungkannya empat pendekatan. Diantarannya (1) menggunakan metode ilmu-ilmu yang masuk dalam kategori humanites atau penganut paham budaya seperti filsafat, filologi, ilmu bahasa dan sejarah. (2) menggunakan pendekatan yang biasa digunakan dalam tradisi kajian teologi agama-agama yang dianut. (3) menggunakan metode ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik dan psikologi. (4) menggunakan pendekatan area sttudies (studi kawasan) seperti kajian Timur Tengah dan kajian Asia Tenggara.

Studi Islam merupakan pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam yang dipraktikkan dengan sejarah manusia, sementara pengetahuan agama adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah dan Rasulnya secara murni tanpa dipengaruhi sejarah, seperti ajaran tentang Akidah, Ibadah, membaca Al-Qur’an dan Akhlak.

Referensi: https://medium.com/@yoskiadiba/hakikat-dan-ruang-lingkup-metodologi-studi-islam-254b40a4dfbb

  1. Dalam pendekatan studi Islam, ada beberapa pendekatan yang bisa kita gunakan dalam berinteraksi dan memahami tentang Islam, seperti pendekatan Teologis dan filosofis, bagaimana anda memahami Islam dengan pendekatan tersebut? Berikan contoh pada kedua pendekatan tersebut!

a. Pendekatan Teologis

Teologi dari segi etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theologia. Yang terdiri dari kata theos yang berarti tuhan atau dewa, dan logos yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan. Sedangkan pendekatan teologis adalah suatu pendekatan yang normatif dan subjective terhadap agama. Pada umumnya, pendekatan ini dilakukan dari dan oleh penganut agama dalam usahanya menyelidiki agama lain. Secara harfiah, pendekatan teologis normatif dalam memahami agama dapat diartikan sebagai upayamemahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.

Menurut The Encyclopedia of American Religion, di Amerika Serikat terdapat 1.200 sekte keagamaan. Satu diantaranya adalah sekte Davidian bersama 80 orang pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri masal setelah berselisih dengan kekuasaan pemerintah Amerika Serikat. Dalam Islam pun secara tradisional dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariyah, dan teologi Maturidiyah. Sebelumnya terdapat pula teologi bernama Khawarij dan Murji’ah.

Di masa sekarang ini, perbadaan dalam bentuk formal teologis yang terjadi di antara berbagai madzhab dan aliran teologis keagamaan. Namun, pluralitas dalam perbedaan tersebut seharusnya tidak membawa mereka pada sikap saling bermusuhan dan saling menonjolkan segi-segi perbedaan masing-masing secara arogan, tapi sebaiknya dicari titik persamaanya untuk menuju subtansi dan misi agama yang paling suci. Salah satunya adalah dengan mewujudkan rahmat bagi seluruh alam yang dilandasi pada prinsip keadilan, kemanusiaan, kebersamaan, kemitraan, saling menolong, saling mewujudkan kedamaian, dan seterusnya. Jika misi tersebut dapat dirasakan, fungsi agama bagi kehidupan manusia segera dapat dirasakan.

b. Pendekatan Filosofis

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu dan hikmah. Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti ”adanya” sesuatu.

Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada. Dengan demikian dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya adalah upaya atau usaha untuk menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik objek formanya.

Mendalam artinya dilakukan sedemikian rupa hingga dicari sampai ke batas di mana akal tidak sanggup lagi. Radikal artinya sampai ke akar-akarnya hingga tidak ada lagi yang tersisa. Sistematik maksudnya adalah dilakukan secara teratur dengan menggunakan metode berpikir tertentu, dan universal maksudnya tidak dibatasi hanya pada suatu kepentingan kelompok tertentu, tetapi untuk seluruhnya.

Sedangkan filsafat setelah memasuki ranah “agama” terjadi sedikit pergeseran makna dari yang disebutkan di atas. Misalnya, dalam kajian agama kristen Dalferd menyatakan bahwa tugas filsafat adalah melihat persoalan-persoalan yang melingkupi pengalaman manusia, faktor-faktor yang menyebabkan pengalaman manusia menjadi pengalaman religius, dan membahas bahasa yang digunakan umat beragama dalam membicarakan keyakinan mereka. Baginya, rasionalitas kerja reflektif agama dalam proses keimanan yang menuntut pemahaman itulah yang meniscayakan adanya hubungan antara agama dan filsafat.

Dalam upaya agar agama terpahami baik upaya yang bersifat internal yakni upaya tradisi keagamaan mengeksplorasi watak dan makna keimanan maupun upaya eksternal yakni upaya menjelaskan dan mengartikulasikan makna itu bagi mereka yang tidak berada dalam tradisi, agama tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Keterkaitan antara keduanya terfokus pada rasionalitas, kita dapat menyatakan bahwa suatu pendekatan filosofis terhadap agama adalah suatu proses rasional.

Sedangkan dalam kajian Islam berpikir filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara saksama. Pendekatan filosofis ini sebenarnya sudah banyak dilakukan sebelumnya, diantaranya Muhammad al Jurjawi yang menulis buku berjudul Hikmah Al Tasyri’ wa Falsafatuhu.

Dalam buku tersebut Al Jurjawi berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran agama Islam, misalnya ajaran agama Islam mengajarkan agar melaksanakan sholat berjamaah dengan tujuan antara lain agar seseorang dapat merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain, dan lain sebagainya. Makna demikian dapat dijumpai melalui pendekatan yang bersifat filosofis.

Dengan menggunakan pendekatan filosofis seseorang akan dapat memberi makna terhadap sesuatu yang dijumpainya, dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan cara demikian ketika seseorang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa kekeringan spiritual yang dapat menimbulkan kebosanan. Semakin mampu menggali makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap, penghayatan, dan daya spiritualitas yang dimiliki seseorang.

Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang didapatkan dari pengamalan agama hanyalah pengakuan formalistik, misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun Islam kelima dan berhenti sampai disitu saja. Tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya.

Namun demikian pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengamalan agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik. Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya.

Simpulannya, pendekatan filosofis adalah cara pandang atau paradigma yang bertujuan untuk menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya. Dengan kata lain, pendekatan filosofis adalah upaya sadar yang dilakukan untuk menjelaskan apa dibalik sesuatu yang nampak.

Referensi: https://an-nur.ac.id/pendekatan-dalam-studi-islam-filosofis-normatif-historis-sosiologis-dll/

  1. Semenjak munculnya Agama Islam dan sebagai penyempurna agama samawi, Islam menjadi sebuah agama yang mempunyai pedoman dan tatanan dalam kehidupan seorang muslim, fenomena kehidupan umat Islam berjalan sesuai dengan kondisi dan situasi diwilayah tertentu termasuk di Indonesia, dan akan berbeda dengan kehidupan saudara-saudara di belahan dunia lain, seperti Timur Tengah, Eropa dan Asia. Jelaskan mengapa hal itu dapat terjadi, padahal sumber ajarannya sama? Serta paparkan apa yang anda ketahui tentang ruang lingkup ajaran Islam?

a. Mengapa Ada Perbedaan Kehidupan Islam, Padahal Sumber Ajarannya Sama?

Akhir-akhir ini banyak orang mengkaitkan Islam dengan nama tempat, suku, atau bahkan suatu nama negara, sehingga muncul Islam Arab, Islam Kalimantan, Islam Jawa, Islam Nusantara, atau sudah barang tentu masih banyak sebutan lainnya. Pemberian identitas seperti itu kiranya tidak masalah. Sebab Islam yang sebenarnya bersifat universal ketika diterima oleh suku, daerah, atau bangsa tertentu menjadi berbeda-beda.

Perbedaan yang dimaksudkan tersebut tentu bukan sesuatu yang bersifat pokok, melainkan yang bersifat cabang. Orang Islam Indonesia misalnya, sehari-hari banyak yang mengenakan baju taqwa, sarung, dan peci. Tentu tidak semua begitu, masih banyak yang lain yang menampakkan pakaian yang berlain-lainan. Berbeda dengan orang Indonesia, orang Pakistan, Sudan, Saudi Arabia, dan lain-lain, mereka juga tampak berbeda-beda. Perbedaan dari pakaian yang dikenakan itu saja, orang bisa mengenali bahwa sementara mereka itu dari Sudan, dari Maroko, Pakistan, Saudi Arabia, dan seterusnya.

Al Qur'an dan Hadits Nabi yang merupakan sumber ajaran Islam dan seharusnya menjadi pegangan umat Islam juga sudah dipahami dan ditafsirkan oleh berbagai ulama atau ilmuwan sehingga terjadi perbedaan yang tidak bisa dihindari. Munculnya berbagai macam madzhab, aliran, kelompok, organisasi, dan lain-lain adalah sebagai akibat adanya perbedaan pemaknaan atau penafsiran terhadap kedua sumber ajaran Islam dimaksud. Penafsiran dan pemaknaan yang bermacam-macam tersebut, hingga menjadi wajar jika umat Islam sendiri, terutama kaum awamnya, menjadi kebingungan.

Wallahu a'lam.

Referensi: https://uin-malang.ac.id/r/161101/antara-islam-arab-islam-indonesia-atau-islam-lainnya.html

b. Ruang Lingkup Ajaran Islam

Ruang lingkuang ajaran Islam itu di antaranya: Aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalah duniawiyah.

1) Aqidah

Kata aqidah berarti menghimpun atau mempertemukan dua buah ujung atau sudut/ mengikat. Secara istilah aqidah berarti keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang dan menjadi landasan segala bentuk aktivitas, sikap, pandangan dan pegangan hidupnya. Istilah ini identik dengan iman yang berarti kepercayaan atau keyakinan.

Masalah-masalah aqidah selalu dikaitkan dengan keyakinan terhadap Allah, Rasul dan hal-hal yang ghaib yang lebih dikenal dengan istilah rukun iman. Di samping itu juga menyangkut dengan masalah eskatologi, yaitu masalah akhirat dan kehidupan setelah berbangkit kelak. Keterkaitan dengan keyakinan dan keimanan, maka muncul arkanul iman, yakni, iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, hari akhirat, qadha dan qadar.

Di dunia Islam, permasalahan aqidah telah terbawa pada berbagai pemahaman, sehingga menimbulkan kelompok-kelompok di mana masing-masing kelompok memiliki metode dan keyakinan masing-masing dalam pemahamannya. Di antara kelompok-kelompok tersebut adalah Muktazilah, Asy’ariyah, Mathuridiyah, Khawarij dan Murjiah.

Menurut Harun Nasution, timbulnya berbagai kelompok dalam masalah aqidah atau teologi berawal ketika terjadinya peristiwa arbitrase (tahkim) ketika menyelesaikan sengketa antara kelompok Mu’awiyah dan Ali ibn Abi Thalib. Kaum Khawarij memandang bahwa hal tersebut bertentangan dengan QS al-Maidah/ 5: 44 yang artinya

“Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir”.

Peristiwa tersebut membuat kelompok Khawarij tidak senang, sehingga mereka mendirikan kelompok tersendiri serta memandang bahwa Mu’awiyah dan Ali ibn Abi Thalib adalah Kafir, sebab mereka telah melenceng dari ketentuan yang telah digariskan al-Qur’an. Dengan berdirinya kelompok ini, juga memicu berdirinya kelompok-kelompok lain dalam masalah teologi, sehingga masing-masing memiliki pemahaman yang berbeda dengan yang lainnya. Namun demikian, perbedaan tersebut tidaklah sampai menafikan Allah, dengan kata lain perbedaan pemahaman tersebut tidak sampai menjurus untuk lari dari tauhid atau berpaling pada thâgh ût.

Di antara sumber perbedaan pemahaman antara masing-masing golongan tersebut antara lain adalah masalah kebebasan manusia dan kehendak mutlak Tuhan. Ada kelompok yang menganggap bahwa kekuasan Tuhan adalah maha mutlak, sehingga manusia tidaklah memiliki pilihan lain dalam berbuat dan berkehendak. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Asy’ariyah. Ada pula kelompok bahwa Tuhan memang maha kuasa, tetapi Tuhan menciptakan sunnah-Nya dalam mengatur kebebasan manusia, sehingga manusia memiliki alternatif dan pilihan dalam berkehendak dan berbuat sesuai dengan sunnah yang telah ditetapkan. Dengan kata lain manusia bebas dalam berbuat dan berkehendak. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Muktazilah. Ada pula kelompok yang mengambil sikap pertengahan antara kedua kelompok tersebut, namun mereka tetap meyakini bahwa Allah maha kuasa terhadap seluruh tindak-tanduk dan kehendak manusia. Kelompok ini diwakili oleh Mathuridiyah.

Itulah sekilas tentang permasalahan aqidah serta pemikiran masing-masing kelompoknya, di mana semua itu beranjak dari pemahaman mereka terhadap kekuasaan Allah dan kebebasan manusia.

2) Ibadah

Ibadah berarti hamba, memperlihatkan/ mendemonstrasikan ketundukan dan kehinaan. Secara istilah ibadah berarti usaha menghubungkan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang disembah. Ulama fiqh mendefenisikan ibadah sebagai ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Redaksi lain menyebutkan bahwa ibadah adalah semua yang dilakukan atau dipersembahkan untuk memperoleh keredhaan Allah dan mengharapkan imbalan pahala-Nya di akhirat kelak.

Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa ibadah berawal dari suatu hubungan dan keterkaitan yang erat antara hati dengan yang disembah. Kemudian hubungan dan keterkaitan tersebut meningkat menjadi kerinduan karena tercurahnya perasaan hati kepada-Nya. Kemudian rasa rindu itu pun meningkat menjadi kecintaan yang kemudian meningkat pula menjadi keasyikan. Sehingga akhirnya membuat cinta yang amat mendalam yang membuat orang yang mencitai bersedia melakukan apa saja demi yang dicintai. Oleh karena itu, betapapun seseorang menundukkan diri kepada sesama manusia, ketundukan demikian tidak dapat disebut sebagai ibadah sekalipun antara anak dan bapaknya.

Dari segi manfaatnya ibadah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu; pertama, ibadah perorangan (fardhiyah/mahdhah), yakni ibadah yang menyangkut diri pelakunya sendiri serta tidak ada hubungannya dengan orang lain seperti shalat dan puasa. Kedua, ibadah kemasyarakatan (ijtimâiyah/ghaira mahdhah), yakni ibadah yang memiliki keterkaitan dengan orang lain, terutama dari segi sasarannya seperti sedekah, zakat dan sebagainya. Berkaitan dengan ini, Dalam Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dijelaskan bahwa ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkannya. Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah umum ialah segala amalan yang dizinkan Allah sedangkan ibadah khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.

Menurut Nazaruddin Razak, dalam konteks ibadah yang dikerjakan, terdapat lima pokok ibadah, yakni: shalat, zakat, puasa dan naik haji serta disusul dengan thaharah, di mana thaharah merupakan kewajiban yang menyertai shalat, zakat, puasa dan naik haji.

Yusuf al-Qaradhawiy menjelaskan lima persyaratan agar suatu perbuatan dapat bernilai ibadah, yaitu:

· Perbuatan yang dimaksud tidak bertentangan dengan syariat Islam.

· Perbuatan tersebut dilandasi dengan niat yang suci dan ikhlas.

· Untuk melakukan perbuat tersebut, yang bersangkutan harus memiliki keteguhan hati dan percaya diri bahwa perbuatan yang dilakukan akan membawa kepada kebaikan.

· Harus memperhatikan garis-garis atau aturan-aturan Allah SWT, tidak ada unsur kelaliman, khianat, penipuan dan lain-lain.

· Perbuatan-perbuatan duniawi yang dilakukan dengan niat ibadah tidak boleh menghalangi kewajiban-kewajiban agama seperti berjual beli yang membuat diri lalai mengerjakan shalat dan sebagainya.

3) Akhlak

Akhlaq merupakan bentuk jamak dari al-khuluq yang berarti kekuatan jiwa dan perangai yang dapat diperoleh melalui pengasahan mata bathin. Dari pengertian lughawi ini, terlihat bahwa akhlaq dapat diperoleh dengan melatih mata bathin dan ruh seseorang terhadap hal yang baik-baik. Dengan demikian dari pengertian lughawi ini tersirat bahwa pemahaman akhlaq lebih menjurus pada perbuatan-perbuatan terpuji. Konsekuensinya adalah bahwa perbuatan jahat dan melenceng adalah perbuatan yang tidak berakhlaq (bukan akhlâq al-madzmûmah).

Secara istilah akhlaq berarti tingkah laku yang lahir dari manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan. Sedangkan Nazaruddin Razak, mengungkapkan akhlak dengan makna akhlak islam, yakni suatu sikap mental dan laku perbuatan yang luhur, mempunyai hubungan dengan Zat Yang Maha Kuasa dan juga merupakan produk dari keyakinan atas kekuasaan dan keeasaan Tuhan, yaitu produk dari jiwa tauhid.

Dari pengertian ini terlihat sinergisitas antara makna akhlaq dengan al-khalq yang berarti penciptaan di mana kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama. Dengan demikian pengertian ini menggambarkan bahwa akhlaq adalah hasil kreasi manusia yang sudah dibiasakan dan bukan datang dengan spontan begitu saja, sebab ini ada kaitannya dengan al-khalq yang berarti mencipta. Maka akhlaq adalah sifat, karakter dan perilaku manusia yang sudah dibiasakan.

Al-Qur’an memberi kebebasan kepada manusia untuk bertingkah laku baik atau berbuat buruk sesuai dengan kehendaknya. Atas dasar kehendak dan pilihannya itulah manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat atas segala tingkah lakunya. Di samping itu, akhlaq seorang muslim harus merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah sebagai pegangan dan pedoman dalam hidup dan kehidupan.

Secara garis besar menurut Endang Saifuddin Anshari, akhlak terdiri atas; pertama, akhlak manusia terhadap khalik, kedua, akhlak manusia terhadap sesama makhluk, yakni akhlak manusia terhadap sesama manusia dan akhlak manusia terhadap alam lainnya.

Menurut Muhammad Quraish Shihab, akhlaq manusia terhadap Allah SWT bertitik tolak dari pengakuan dan kesadarannya bahwa tidak ada Tuhan Selain Allah yang memiliki sifat terpuji dan sempurna. Dari pengakuan dan kesadaran itu akan lahir tingkah laku dan sikap sebagai berikut:

· Mensucikan Allah dan senantiasa memujinya.

· Bertawakkal atau berserah diri kepada Allah setelah berbuat dan berusaha terlebih dahulu.

· Berbaik sangka kepada Allah, bahwa yang datang dari Allah kepada makhluk-Nya hanyalah kebaikan.

Adapun akhlaq kepada sesama manusia dapat dibedakan kepada beberapa hal, yaitu:

· Akhlaq kepada orang tua, yaitu dengan senantiasa memelihara keredhaannya, berbakti kepada keduanya dan memelihara etika pergaulan dengan keduanya.

· Akhlaq terhadap kaum kerabat, yaitu dengan menjaga hubungan shilaturrahim serta berbuat kebaikan kepada sesama seperti mencintai dan merasakan suka duka bersama mereka.

· Akhlaq kepada tetangga, yaitu dengan menjaga diri untuk tidak menyakiti hatinya, senantiasa berbuat baik (ihsân) dan lain-lain sebagainya.

4) Mu’amalah

Secara etimologi muamalah semakna dengan mufa’alah yang berarti saling berbuat. Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan orang lain atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Secara terminologi kata ini lebih dikenal dengan istilah fiqh muamalah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan tindak-tanduk manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan. Misalnya dalam persoalan jual beli, utang-piutang, kerjasama dagang, persyarikatan, kerjasama dalam penggarapan tanah, sewa menyewa dan lain-lain sebagainya.

Satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa tidak boleh ada sesuatupun dari tindak-tanduk manusia yang lari dari prinsip-prisip ketuhanan, termasuk dalam masalah muamalah atau yang lebih dikenal dengan tindak-tanduk manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya untuk memenuhi kehidupannya masing-masing. Walau semua itu diatur hanya secara global, namun Allah telah memberikan konsep dan prinsip-prinsip umum bagi manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. Dengan demikian, maka seluruh aktivitas dan tindak-tanduk manusia harus sesuai, menjurus dan sinergis dengan apa yang telah ditetapkan di dalam nash, baik dari nash al-Qur’an maupun dari hadits.

Di samping itu, juga terdapat beberapa keistimewaan ajaran muamalah yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah, antara lain yaitu:

· Prinsip dasar dalam persoalan muamalah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi yang mengitari manusia itu sendiri. Dari prinsip pertama ini terlihat perbedaan muamalah dengan persoalan aqidah, akhlaq dan ibadah. Dalam persoalan aqidah, syariat Islam bersifat menentukan dan menetapkan secara tegas hal-hal yang menyangkut masalah aqidah tersebut dan tidak diberikan kebebasan bagi manusia untuk melakukan suatu kreasi. Dalam bidang akhlaq juga demikian, yaitu dengan menetapkan sifat-sifat terpuji yang harus diikuti oleh umat Islam serta sifat-sifat tercela yang harus dihindari. Selanjutnya di bidang ibadah dan bahkan prinsip dasarnya adalah tidak boleh dilakukan atau dilaksanakan oleh setiap muslim jika tidak ada dalil yang memerintahkan untuk dilaksanakan.

· Bahwa berbagai jenis muamalah, hukum dasarnya adalah boleh sampai ditemukan dalil yang melarangnya. Ini artinya, selama tidak ada dalil yang melarang suatu kreasi jenis muamalah, maka muamalah itu dibolehkan. Namun demikian, walau pada prinsipnya muamalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya, tetapi semua itu tidak boleh lepas dari sikap pengabdian kepada Allah SWT, di mana terdapat kaidah-kaidah umum yang mengatur dan mengontrolnya, antara lain yaitu; Tidak boleh terlepas dari nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan; Berdasarkan pertimbangan kemaslahatan pribadi dan masyarakat; Menegakkan prinsip kesamaan hak dan kewajiban sesame manusia; Seluruh perbuatan kotor adalah haram dan seluruh tindakan yang baik adalah halal, dan lain-lain.

Secara umum mu’amalah mencakup antara lain yaitu; hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak dan hal lain yang terkait dengannya; Hal-hal yang berkaitan dengan harta seperti hibah, sedekah dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan seperti jual beli, khiyâr, ihtikâr, syirkah, mudhârabah dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan pemberian amanah kepada orang lain seperti hiwâlah, ijârah, ariyah, al-rahn dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan lahan pertanian seperti muzâra’ah, musâqah, dan lain-lain.

Referensi: https://apri76.wordpress.com/2008/07/14/ruang-lingkup-ajaran-islam-sebuah-telaah-kritis/

Jawaban di atas bukan hasil kecerdasan buatan, melainkan murni hasil pencarian manual dari berbagai sumber tertera atau di platform digital. Benar atau tidaknya, diluar tanggungjawab penulis. Saran kami, jadikan artikel ini sebagai referensi saja. Jangan sepenuhnya menyalin tanpa dipelajari terlebih dahulu. Lakukan beberapa perubahan di dalamnya seperti; perbaikan kekeliruan pada huruf, periksa kembali konten dan perbaiki apabila ada yang tidak sesuai dengan kaidahnya, sempurnakan konten pada karya Anda dengan menggabung beberapa sumber lain yang terkait.

Semoga bermanfaat dan menjadi berkah.