Metodologi Studi Islam: Jurnal Perkembangan Studi Hukum Islam-Pengadilan Agama dan Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Pengadilan Agama menginterpretasikan teks undang-undang dalam konteks masyarakat serta perubahan-perubahan hukumnya, termasuk hukum keluarga Islam yang berlaku. Selengkapnya, tetaplah bersama situs web kami!
KULIAH
Yogi Triswandani
12/2/202342 min baca
Perkembangan Studi Hukum Islam:
PENGADILAN AGAMA DAN PEMBARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA
Yogi Triswandani
website: www.mudaaris.com
ABSTRAK
Pengadilan Agama menginterpretasikan teks undang-undang dalam konteks masyarakat serta perubahan-perubahan hukumnya, termasuk hukum keluarga Islam yang berlaku. Hukum keluarga Islam kontemporer di negara-negara Islam dan di negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam seperti Indonesia, mengalami pembaruan. Pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia sesungghnya tidak terlepas dari dialektika evolusi antropologi hukum yang terjadi dari masa ke masa. Penggerak evlousi ada pada semangat dakwah Islamiyah yang menerapkan teori inkulturasi namun tereduksi dengan semangat akulturasi yang melahirkan Arabisasi Islam. Pada fase akulturasi inilah terjadi stagnasi pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia yang disebabkan mazhab asy-Syafi’iyyah merupakan pegangan utama dalam menerapkan hukum keluarga Islam di kalangan masyarakat muslim. Kemudian semangat pembentukan dan pembaruan hukum keluarga Islam kembali berkobar di era tahun 50-an dengan melahirkan istilah fiqh corak Indonesia dan munculnya ide kewarisan bilateral. Selanjuntnya semangat ini kembali hidup di era reformasi dengan lahirnya ide pencetusan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) sebagai pembanding Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sudah ada sejak tahun 1991 dan diharapkan akan menjadi Hukum Terapan Peradilan Agama. Akan tetapi CLD-KHI kembali stagnan sampai sekarang karena begitu mengakarnya hasil pembentukan hukum keluarga berbasis akulturasi mazhab asy-Syafi’iyyah.
Kata Kunci: Pengadilan Agama, Hukum Keluarga Islam, KHI.
LATAR BELAKANG PENELITIAN
1. Identifikasi Masalah
Peradilan Agama di Indonesia sudah dilakukan sejak masa Hindia-Belanda. Kemudian dengan kehadiran UU. No. 7 tahun 1989 Jo. UU. No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, lahir struktur baru dalam Peradilan Agama di negeri ini yang merombak praktik peradilan yang lama Undang-undang No. 14 tahun 1970 Jo. UU. No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan Undang-undang Peradilan Agama itu, maka terjadi semacam restrukturisasi pengadilan-pengadilan agama yang ada dan menyatukannya dalam satu struktur yang baru. Ada dua aspek di sini, yaitu: pertama, memodernisir Peradilan Agama, sehingga menjadi setara dengan suatu peradilan dalam sistem hukum modern. Kedua, menjadikan serta menempatkan Peradilan Agama setingkat dengan peradilan-peradilan lain, sebagai bagian dari keseluruhan struktur peradilan di negeri ini.
Yang menjadi set up dari Peradilan Agama itu, ialah modernisasi Peradilan Agama dalam rangka pemantapan struktur peradilan di Indonesia. Selain tugas utama Peradilan Agama adalah mengatur bekerjanya pengadilan, maka akan dijumpai ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang wilayah kekuasaan yang bersifat prosedural, seperti memeriksa dan mengadili orang-orang yang beragama Islam, mendamaikan dan atau mengadili, dalam bidang-bidang perkara tertentu. Dengan melihat potensi yang ada pada Pengadilan Agama, maka dapat dikatakan bahwa secara substansial apabila dihubungkan dengan Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Peradilan Agama yang berkaitan dengan masalah bagaimana keluarga harus dibangun, apa tujuan, bagaimana kewajiban satu anggota keluarga terhadap yang lain. Dengan demikian yang bisa dilakukan oleh Pengadilan Agama sebagai peradilan Keluarga adalah dengan misi “menjaga keutuhan keluarga”.
Lalu sejauh mana sebetulnya bisa dilihat tentang peranan Pengadilan Agama dalam menjaga keutuhan keluarga, maka dapat dilihat tentang keberhasilan pelaksanaan kaidah-kaidah dalam hukum substansial tersebut tidak akan terlepas pula dari masalah “penegakan dalam sengketa” seperti ketegasan yang ada pada Pengadilan Agama. Umpamanya pada saat pengadilan itu menunjukkan kekuasaannya untuk menentukan kapan saatnya suatu perceraian itu dapat dilakukan. Undang-undang Peradilan Agama menyatakan bahwa: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Ketentuan tersebut memberikan kekuasaan kontrol dari Pengadilan Agama terhadap kemungkinan dilakukannya perceraian. Pengadilan Agama diberi kekuasaan dan keleluasaan, misalnya untuk mengusahakan agar perceraian tidak terjadi dan perdamaian kembali antara suami dan istri.
Secara historis, berbagai regulasi hukum keluarga di Indonesia dijabarkan secara personal oleh para ulama atas dasar pembacaan dan pembelajaran mereka dari guru-guru mereka. Pada sisi inilah maka progresivitas hukum menjadi terhambat karena penjelasan dari para ulama dianggap sakral dan tidak boleh dipertentangkan apalagi dievaluasi dan direvisi. Tidak bisa dipungkiri bahwa era stagnasi (jumud) ilmu pernah terjadi pada masa lalu akibat sakralisasi masyarakat terhadap ulama, baik pribadinya maupun pemikirannya.
Di Indonesia, upaya konkret pembaruan hukum keluarga Islam dimulai sekitar tahun 1960-an yang kemudian berujung lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebelum hukum perkawinan diatur, urusan perkawinan diatur melalui beragam hukum, antara lain hukum adat, hukum Islam tradisional, ordonasi perkawinan Kristen, hukum perkawinan campuran, dan sebagainya sesuai dengan agama dan adat istiadat masing-masing penduduk. Upaya pembaruan hukum keluarga berikutnya terjadi pada masa Menteri Agama Munawir Syadzali. Upaya ini ditandai dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tanggal 10 Juni 1991 yang materinya mencakup aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang diperuntukkan bagi umat Islam.
Saat ini umat Islam di Indonesia merasa nyaman dengan kehadiran Kompilasi Hukum Islam dan berimplikasi pada sakralitas baru, sehingga KHI seolah-olah tidak lagi dapat dievaluasi apalagi direvisi. Padahal, sejarah banyak mencatat dan menggambarkan tentang evolusi hukum termasuk dalam hal hukum keluarga. Oleh karena itu, melalui pendekatan historis, tulisan ini akan menggambarkan secara holistik tentang perkembangan studi hukum Islam khususnya mengenai; Pengadilan Agama seputar hukum keluarga, hubungannya dengan hukum yang lain, konflik hukum, komponen fiqih, periodesasi pembentukan; hukum keluarga Islam seputar metode, konsep, kilas balik, dinamika, dan faktor penyebab pembaruannya serta analisis aspek pembaruan yang dilakukan. Dari identifikasi masalah ini penulis mengangkat judul“Perkembangan Studi Hukum Islam: Pengadilan Agama dan Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia”.
2. Rumusan Masalah
Merujuk kepada identifikasi masalah yang telah dipaparkan diatas, maka yang dijadikan sebagai rumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana perkembangan studi hukum Islam di Indonesia khususnya berkenaan dengan Pengadilan Agama seputar hukum keluarga, hubungannya dengan hukum yang lain, konflik hukum, komponen fiqih, periodesasi pembentukan, dan hukum keluarga Islam seputar konsep, metode, kilas balik, dinamika, dan faktor penyebab pembaruannya, serta analisis aspek pembaruan yang dilakukan di Negara Indonesia.
3. Tujuan Penelitian
Tulisan ini dibuat sebagai bentuk jawaban untuk tugas Ujian Akhir Semester pertama mata kuliah Metodologi Studi Islam. Penetapan tujuan yang dikhususkan melalui penelitian ini ialah untuk menggambarkan secara sistematis tentang Pengadilan Agama seputar hukum keluarga, hubungannya dengan hukum yang lain, konflik hukum, komponen fiqih, periodesasi pembentukan; hukum keluarga Islam seputar konsep, metode, kilas balik, dinamika, dan faktor penyebab pembaruannya serta analisis aspek pembaruan yang dilakukan.
4. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan diatas, maka penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca sekalian supaya lebih mengetahui dan memahami bagaimana gambaran holistik tentang perkembangan studi hukum Islam di Indonesia khususnya berkenaan dengan masalah Pengadilan Agama seputar hukum keluarga, hubungannya dengan hukum yang lain, konflik hukum, komponen fiqih, periodesasi pembentukan; hukum keluarga Islam seputar konsep, metode, kilas balik, dinamika, dan faktor penyebab pembaruannya serta analisis aspek pembaruan yang dilakukan di Negara Indonesia.
METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan menggunakan bahan-bahan tertulis seperti manuskrip, buku, majalah, surat kabar, dan dokumen lainnya (Nata, 2007) yang relevan dengan studi hukum Islam terutama yang berkaitan dengan Pengadilan Agama dan Hukum Keluarga Islam. Sifat penelitian dalam penulisan artikel ini adalah deskriptif-analitis, yakni penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara lengkap karakteristik atau ciri dari suatu keadaan (Soerjono, 2006) yang sedang berkembang atau berlangsung sebagai pengaruh dalam menghasilkan produk hukum sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, yang mana dalam hal ini akan dipaparkan tentang perkembangan studi hukum Islam.
Melalui penelitian kepustakaan ini penulis berusaha menghimpun data penelitian dari khazanah literatur dan menjadikan teks sebagai analisisnya untuk menganalisa masalah dan memecahkan masalah yang dihadapi.
2. Sumber Data
Pada dasarnya sumber data penelitian adalah bahan-bahan tulisan dan non tulisan. Pengumpulan data pada penelitian ini mengacu pada data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer adalah sumber informasi yang langsung dari sumber aslinya. Sumber informasi utama penelitian dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1) Al Fitri, S. Ag., S.H., M.H.I., Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia Melalui Kompilasi Hukum Islam, Lampung, UIN Raden Intan, tt.
2) H. A. Khisni, S.H., M.H., Peradilan Agama sebagai Peradilan Keluarga serta Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia, Semarang, Jurnal Hukum UNISSULA, 2011.
3) Muhammad NK. Al Amin, dkk., Metode Interpretasi Hukum: Aplikasi Dalam Hukum Keluarga Islam Dan Ekonomi Syariah, Asas wa Tandhim, Jurnal Hukum, Pendidikan, & Sosial Keagamaan, 2023.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang tidak secara langsung memiliki wewenang dan tanggung jawab terhadap informasi yang ada. Yaitu literasi bantu yang pembahasannya relavan dengan tema kajian ini seperti dari website, e-jurnal, artikel, ataupun karya seseorang yang berkaitan tentang penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pada hakikatnya tidak ada acuan khusus dalam mengumpulkan data pada metode ini. Kendati demikian data yang dikumpulkan tetap tidak begitu saja langsung dijadikan hasil penelitian, karena akal manusia memberikan bimbingan pekerjaan secara sistematis dan sesuai dengan objek kajiannya. Oleh karenanya perlu teknik tertentu agar hasil penelitian sifatnya sistematis dan objektif.
Teknik pengumpulan data dari metode penelitian ini yaitu menggabungkan setiap sumber data yang penulis kumpulkan baik primer maupun sekunder, kemudian disusun dan dituangkan kembali secara lebih sistematis dalam bentuk dokumen. Studi dokumen adalah jenis pengumpulan data yang meneliti berbagai macam dokumen yang berguna untuk bahan analisis.
4. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis data deskriptif yaitu suatu usaha untuk mengumpulkan dan menyusun suatu data, kemudian dianalisis dan ditafsirkan. Dalam analisis data tersebut dibahas dengan pola pikir deduktif dan induktif. Pola pikir deduktif adalah pola pikir yang berpijak dari fakta yang bersifat umum kemudian diteliti dan hasilnya dapat memecahkan permasalahan khusus. Sedangkan pola pikir induktif adalah pola pikir yang berpijak pada fakta yang bersifat khusus kemudian diteliti dan dapat memecahkan persmasalahan yang bersifat lebih khusus lagi.
PEMBAHASAN
A. Pengadilan Agama
Pengadilan merupakan institusi yang dinamis. Dinamika itu bisa juga dibaca sebagai suatu institusi yang menata kembali masyarakat dan menginterpretasikan teks-teks undang-undang dalam konteks masyarakat serta perubahan-perubahannya.[1] Demikianpun Pengadilan Agama, tidak hanya dapat dilihat sebagai suatu bangunan serta institusi hukum, tetapi dapat dilihat dan dipahami juga sebagai institusi sosial. Sebagai institusi sosial yang demikian itu, Pengadilan Agama tidak bisa dilihat sebagai institusi yang berdiri dan bekerja secara otonom, melainkan senantiasa berada dalam proses pertukaran dengan lingkungannya. Dengan demikian, membicarakan Pengadilan agama sama sekali tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai hubungan dan pertukaran antara pengadilan dan peradilan, dengan proses-proses dalam bidang lain yang berlangsung dalam masyarakat.
Pengadilan mempunyai struktur sosiologisnya sendiri. Struktur sosiologis dari Pengadilan Agama tersebut membuka suatu cakrawala yang lebih luas, tidak bisa hanya dilihat suatu bangunan yuridis melainkan terkait dengan sekalian komponen sosiologis yang ada. Memperhatikan struktur sosiologis adalah menerima kenyataan, bahwa tidak ada pengadilan yang sama di dunia, sekalipun fungsi yang diembannya boleh dikatakan sama, yaitu memeriksa dan mengadili, tetapi karena seperti institusi lain dalam masyarakat, pengadilan itu adalah institusi yang berakar budaya dan berakar sosial.[2]
Studi hukum Islam saat ini mengalami perkembangan, karena dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi berlangsung dengan cepat. Perubahan masyarakat di suatu tempat, dengan cepat menjalar ke masyarakat di tempat lain pula. Peristiwa yang terjadi pada saat ini merangsang timbulnya gerakan yang menuntut pembaharuan-pembaharuan untuk kembali kepada Al-Qur’an serta Sunnah Nabi, dibukanya kembali pintu ijtihad, dan ditinggalkannya doktrin taqlid. Sementara itu, kaum perempuan mendapatkan pendidikan serta bekerja di luar rumah tangga, maka terjadi perubahan kedudukan mereka di bidang sosial, budaya, politik, ekonomi, dan lain-lain. Faktor ini merangsang tuntutan masyarakat untuk adanya perubahan hukum, termasuk hukum keluarga Islam yang berlaku.
1) Peradilan Agama sebagai Peradilan Keluarga
Eksistensi Peradilan Agama semakin menguat setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Dalam perjalanannya, Peradilan Agama di Indonesia mememiliki peranan yang sangat penting bagi pemeluk agama Islam di Indonesia dan memiliki kompetensi peradilan (kewenangan kekuasaan) yang berbeda dengan peradilan yang lain dalam sistem hukum di Indonesia.
Bicara mengenai kewenangan kekuasaan, tentunya tidak akan terlepas dari dua hal yaitu, kewenangan kekuasaan absolut dan relatif. Wewenang absolut Peradilan Agama sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara perdata tertentu menyangkut perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.
Hukum keluarga yang termasuk perkara perdata di atas berlaku di masyarakat Islam kontemporer, baik di negara-negara Islam maupun di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dalam hukum keluarga itulah terdapat jiwa wahyu Ilahi dan Sunnah Rasulullah, sedang pada hukum (mu’amalah) lain, pada umumnya jiwa itu telah hilang karena berbagai sebab, di antaranya karena penjajahan barat.
Selama berabad-abad di bagian dunia yang didiami umat Islam di Afrika, Asia Barat (Timur Tengah), Asia Selatan dan Asia Tenggara pada waktu penjajahan barat itu tiba, mereka menguasai kehidupan umut Islam di segala bidang, dan telah mengakibatkan hukum Islam sebagi sistem hukum yang mempunyai corak tersendiri telah diganti oleh hukum barat, dengan berbagai cara baik yang halus seperti resepsi, pilihan hukum, penundukan dengan sukarela, pernyataan berlaku hukum barat mengenai bidang-bidang hukum tertentu, maupun dengan kasar memperlakukan hukum pidana barat bagi umat Islam, kendatipun bertentangan dengan asas dan kaidah hukum Islam serat kesadaran hukum umat Islam. Dengan demikian menyebabkan hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum di dunia ini “lenyap” di permukaan kecuali hukum keluarga.[3]
Pada hakekatnya Peradilan Agama berperan sebagai peradilan keluarga yang diberi wewenang untuk menyelesaikan masalah sengketa hukum keluarga seperti yang diuraikan di atas. Akan tetapi karena dinamika sosial dan perkembangan zaman, wewenang tersebut diperluas ke hukum publik yaitu hukum ekonomi (syari’ah). Hukum ekononi (syari’ah) tidak semata-mata hubungan hukum antara individu dengan individu lain yang bersifat privat, akan tetapi perlu bantuan dan perlindungan kekuasaan (pemerintah) dalam membantu menyelesaikan apabila terjadi sengketa dengannya. Dari sini terjadi perkembangan studi hukum Islam yang sebelumnya hanya menyangkut hukum keluarga (hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan), sekarang hukum ekonomi (syari’ah) menjadi hukum positif Islam di Indonesia.
Hukum keluarga Islam sebagai tawaran untuk menyelesaikan beberapa permasalahan, sebab hukum keluarga dianggap sebagai inti syari’ah. Pada hakikatnya bukan dimaksudkan untuk mengajarkan kepada umat Islam agar kelak dalam berumah tangga dapat mempraktekkannya, akan tetapi hukum disini bersifat solutif, artinnya hukum Islam memberikan solusi-solusi dalam menyelesaikan permasalahan keluarga yang terjadi. Akan tetapi terkadang, hukum-hukum yang telah ada belum dapat dipahami terkait hikmah dan filsafatnya, sehingga berakibat kepada anggapan hukum Islam yang tidak lagi representatif dalam menyelesaikan perkara perdata keluarga Islam.
2) Hukum Keluarga Islam di Indonesia Antara Syari’ah dan Hukum Sekuler
Jumlah umat Islam di dunia mencapai hampir seperempat jumlah manusia seluruhnya.[4] Mereka tinggal menyebar di beberapa negara, baik sebagai kelompok mayoritas maupun minoritas. Sebagai mayoritas, umat Islam berada di 44 negara seperti di negara-negara Timur Tengah dan beberapa negara di Asia. Empat negara yang penduduknya paling banyak beragama Islam adalah Indonesia, Pakistan, Bangladesh, dan India.[5] Indonesia merupakan negara yang jumlah mayoritas penduduknya beragama Islam, namun konstitusi negaranya tidak menyatakan diri sebagai negara Islam melainkan sebagai negara yang mengakui otoritas agama dalam membangun karakter bangsa. Indonesia mengakomodir hukum-hukum agama sebagai sumber legislasi nasional, selain hukum adat dan hukum barat. Kondisi demikian menyebabkan hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum di dunia ini seperti lenyap di permukaan kecuali hukum keluarga.
Dalam pembaharuan hukum keluarga Islam, Indonesia cendrung menempuh jalan kompromi antara syari’ah dan hukum sekuler. Hukum keluarga di Indonesia dalam upaya perumusannya selain mengacu pada kitab-kitab fiqh klasik, fiqh modern, himpunan fatwa, keputusan pengadilan agama (yurisprudensi), juga ditempuh wawancara kepada seluruh ulama Indonesia. Pengambilan terhadap hukum barat sekuler memang tidak secara langsung dapat dibuktikan, tetapi karena di Indonesia berjalan cukup lama hukum perdata (Burgelijk Wetbook) yang diterjemahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hukum acara perdata (Reglemen Indonesia yang diperbarui) warisan Belanda, dan hukum-hukum lain, berdasarkan asas konkordansi, adanya pengaruh hukum Barat yang tidak bisa dinaifkan begitu saja. Seperti halnya bidang pencatatan dalam perkawinan, kewarisan, perwakafan, wasiat dan sebagainya. Upaya akomodasi ataupun rekonsiliasi hukum keluarga Islam agar sesuai dengan perkembangan zaman demi menciptakan ketertiban masyarakat menjadi salah satu bukti dari keunikan tersebut.[6]
Pembangunan yang hanya menekankan hukum normatif semata memang bisa dianggap tidak cukup untuk mengatasi kompleksitas permasalahan keluarga di abad modern. Dalam hal ini diperlukan pendekatan atau aspek lain yang dapat dipadukan dengan hukum keluarga Islam sehingga menimbulkan kesatuan yang lebih komprehensif mencapai tujuan dibentuknya hukum keluarga. Sejalan dengan tulisan Khoiruddin Nasution “Arah Pembangunan Hukum Keluarga Islam di Indonesia Pendekatan Intgratif dan Interkonektif dalam Membangun Keluarga Sakinah”, merupakan salah satu rujukan penting dalam menemukan konsep arah membangun keluarga untuk masa mendatang.[7] Diperlukan adanya berbagai pendekatan dan aspek yang melingkupi hukum keluarga yang selama ini masih belum banyak dikaji. Satu wujud dari kajian pembangunan hukum keluarga dari perspektif hukum keluarga antara syari’ah dan berbau sekuler dikaitkan dengan hukum keluarga di Indonesia, dalam rekonstruksi pembangunan hukum keluarga Islam.
Dalam hal ini, hukum keluarga dapat dikatakan sebagai kebijakan publik dalam program-program sosial yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan dapat mengantisipasi kegagalan program administrasi. Selain itu kebijakan yang dibentuk hendaknya memiliki dampak yang bagus dalam kehidupan keluarga di masa mendatang.[8] Dengan demikian, sangat penting adanya sebuah kontruksi hukum keluarga di Indonesia dengan berbagai pendekatan, salah satunya adalah pendekatan hukum modern (barat).
Pembangunan hukum keluarga dengan pendekatan interdisipliner merupakan bentuk pengembangan kebutuhan kompetensi hukum keluarga yang lebih komprehensif. Selain itu, dapat menambah khazanah keilmuan untuk memperluas jangkauan hukum keluarga yang selama ini lebih dekat dengan aspek normatif semata (fiqh). Selanjutnya, pendekatan interdisipliner dalam hukum keluarga diharapkan dapat membantu menangani berbagai kasus keluarga yang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan yang lain, sehingga dapat memberikan arahan dan rekonstruksi hukum keluarga baik yang formil maupun materiil. Selanjutnya, kontruksi hukum keluarga di Indonesia akan bisa bersifat adaptif dalam perubahan keluarga dengan berbagai aspek dan segala konsekuensinya.
3) Konflik Hukum Islam, Sipil, dan Adat Bidang Hukum Keluarga Islam di
Indonesia
Di Indonesia, terjadi konflik antara hukum Islam, hukum Sipil (Barat), dan hukum Adat. Konflik antara ketiga sistem hukum ini berawal sejak masuknya penjajahan Belanda di Indonesia, dan terus berlanjut hingga saat ini. Sebenarnya setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia berupaya untuk mengatasi konflik tersebut, namun hingga sekarang belum kunjung selesai. Realita sejarah menunjukkan bahwa konflik antara ketiga sistem hukum itu bukanlah terjadi secara alamiah, melainkan ada unsur kesengajaan, yakni ditimbulkan oleh sistem kolonialisme waktu itu dan rekayasa dari pihak-pihak yang tidak menghendaki perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa lalu dan saat ini. Konflik hukum mengandung arti konflik nilai-nilai sosial dan budaya yang timbul secara wajar. Jika ada pertemuan antara dua atau lebih sistem nilai yang asing bagi suatu masyarakat, biasanya akan selesai dengan sewajarnya, karena setiap masyarakat memiliki daya serap dan daya adaptasi terhadap sistem nilai asing, namun jika konflik sistem nilai itu ditimbulkan dengan sengaja dan kadang-kadang secara artificial sesuai dengan kebutuhan politik, maka sulitlah menghapuskan konflik itu secara tuntas.
Islam yang masuk ke Indonesia pada abad-abad pertama hijriyah telah membawa sistem nilai baru berupa akidah, syari’ah, dan akhlak. Ketika itu kondisi masyarakat Indonesia telah memiliki secara memadai sistem nilai yang berlaku lama berupa peraturan-peraturan adat di setiap masyarakat yang beragam. Selaras dengan hakikat dakwah Islamiyah, nilai-nilai hukum Islam itu diresapi dan diamalkan dengan penuh kedamaian tanpa menghilangkan nilai-nilai adat setempat yang telah sesuai atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai aqidah, syari’ah dan akhlak Islam. Pergumulan kedua sistem nilai itu berlaku secara wajar, tanpa adanya konflik antara kedua sistem nilai tersebut. Karena itu, L.W.C. Van den Berg, seorang sarjana Belanda, berkesimpulan bahwa pada awal-awal masa penjajahan Belanda, bagi orang Indonesia yang beragama Islam berlaku motto receptio in complexu yang berarti orang-orang Islam di Indonesia menerima dan memperlakukan syari’at Islam secara keseluruhan.[9] Pada masa itu (sampai dengan 1 April 1937), pengadilan agama mempunyai kompetensi yang luas, yakni seluruh hukum sipil (perdata) bagi perkara-perkara yang diajukan, diputus menurut hukum Islam.
Khusus hukum keluarga, konflik antara hukum Islam, hukum Adat, dan hukum Sipil di Indonesia dapat dijelaskan dengan bahwa Islam sangat memperhatikan pembinaan pribadi dan keluarga. Akhlak yang baik pada pribadi dan keluarga akan menciptakan masyarakat yang baik dan harmonis, oleh karena itu pula, hukum keluarga menempati posisi penting dalam hukum Islam. Hukum keluarga dirasakan sangat erat kaitannya dengan keimanan seseorang, karena seorang muslim akan selalu berpedoman kepada ketentuan dan peraturan syari’at dalam setiap aktivitas pribadi dan dalam hubungan dengan keluarga. Kendatipun dalam ilmu fiqh hukum keluarga digolongkan mu’amalah, akan tetapi unsur ibadatnya lebih terasa, karena itu selalulah hukum keluarga berkaitan erat dengan agama Islam. Di sinilah konflik-konflik timbul, yaitu manakala ada sistem hukum lain (hukum Sipil dan Adat) yang akan menukarnya, terlebih lagi karena sejarah penjajahan atas negeri–negeri Islam mencatat, kehendak yang berkuasa untuk memberlakukan hukum Sipil itu diwarnai oleh politik kekuasaan.
Hukum Sipil pun, terutama bidang hukum keluarga, erat sekali kaitannya dengan moral dan kesusilaan masyarakat Barat tempat hukum Sipil bermula dan berkembang, moral dan kesusilaan mana tentunya berakar pada agama Kristen. Sementara itu hukum Adat juga erat pertaliannya dengan moral dan susila masyarakat tertentu, yang niscaya berakar pada agama dan kepercayaan terutama pada zaman bahari yang berkembang pada masing-masing masyarakat adat.[10]
4) Al-Ahwal al-Syakhshiyah Sebagai Komponen Fiqh
Dalam dunia Ilmu Fiqh dikenal adanya bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah atau hukum keluarga, yaitu fiqh yang mengatur hubungan antara suami-istri, anak, dan keluaganya. Pokok kajiannya meliputi; 1). munakahat, 2). mawaris, 3) wasiat, dan 4). wakaf. Mengenai wakaf, memang ada kemungkinan masuk ke dalam bidang ibadah apabila dilihat dari maksud orang mewakafkan hartanya (untuk kemaslahatan umum), namun dapat dikategorikan dalam bidang al-ahwal al-syakhshiyah apabila wakaf itu waqf dzurri, yakni wakaf untuk keluarga. Munakahat atau pernikahan merupakan akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang pria dan seorang wanita serta menetapkan hak-hak dan kewajiban diantara keduanya.[11]Pembahasan fiqh munakahat menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 74 tentang Perkawinan, perkara yang ada dalam bidang perkawinan sejumlah 22 macam. Diantaranya mencakup topik-topik tentang peminangan, akad-nikah, wali nikah, saksi nikah, mahar, mahram, rada’ah, hadanah, hal-hal yang berkaitan dengan putusnya perkawinan, ’iddah, ruju’, ila’, dzihar, li’an, nafkah, dan lain-lain.
Mawaris atau kewarisan mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban ahli waris terhadap harta warisan, menentukan siapa saja yang berhak terhadap harta warisan, bagaimana cara pembagiannya untuk masing-masing ahli waris. Fiqh mawaris disebut juga fara’id, karena mengatur tentang bagian-bagian tertentu yang menjadi hak para ahli waris. Pembahasan fiqh mawaris mencakup masalah tajhiz (perawatan jenazah), pembayaran hutang dan wasiat, kemudian tentang pembagian harta warisannya. Di samping itu dibahas pula mengenai penghalang untuk mendapatkan warisan, juga dibicarakan tentang zawil arham, hak anak dalam kandungan, hak ahli waris yang hilang, hak anak hasil perzinahan, serta masalah-masalah khusus.
Wasiat adalah pesan seseorang terhadap sebagian hartanya yang diberikan kepada orang lain atau lembaga tertentu yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah ia meninggal dunia. Pembahasannya meliputi orang yang berwasiat dan syaratnya, orang yang diberi wasiat dan syaratnya, hukum bagi penerima wasiat yang membunuh pemberinya, tentang harta yang diwasiatkan dan syaratnya, hubungan antara wasiat dengan warisan, tentang lafaz dan tata cara berwasiat, tentang penarikan wasiat, dan lain-lain.
Wakaf adalah penyisihan sebagian harta benda yang bersifat kekal zatnya dan mungkin diambil manfaatnya untuk maksud/tujuan kebaikan. Di dalam kitab-kitab fiqh dikenal adanya istilah wakaf dzurri (keluarga) dan wakaf khairi (untuk kepentingan umum). Pembahasan mengenai wakaf meliputi syarat-syarat bagi orang yang mewakafkan, syarat-syarat bagi barang yang diwakafkan, syarat-syarat bagi orang yang menerima wakaf, shighat/ucapan dalam pewakafan, mengenai macam dan siapa yang mengatur barang wakaf beserta hak dan kewajibannya, tentang penggunaan barang wakaf, dan lain sebagainya.[12]
5) Periodesasi Pembentukan Hukum Keluarga di Indonesia
Hukum Islam sebagai suatu sistem hukum di dunia ini banyak yang hilang dari peredaran, kecuali hukum keluarga. Dewasa ini hukum Islam bidang keluarga di Indonesia yang mempunyai daya tahan dari hempasan arus westernisasi yang dilaksanakan melalui sekularisme di segala bidang kehidupan, telah diperbaharui, dikembangkan selaras dengan perkembangan zaman, tempat, dan dikodifikasikan, baik secara parsial, maupun total, yang telah dimulai secara sadar sejak awal abad XX setahap demi setahap.[13]Perkembangan hukum Islam bidang keluarga di Indonesia cukup terbuka disebabkan antara lain oleh Undang-Undang Dasar 1945 atau dengan ungkapan lain bahwa konstitusi sendiri memang mengarahkan terjadinya pembaharuan atau pengembangan hukum keluarga, agar kehidupan keluarga yang menjadi sendi dasar kehidupan masyarakat, utamanya kehidupan wanita, istri, ibu, dan anak-anak di dalamnya, dapat terlindungi dengan ada kepastian hukumnya.
Sepanjang sejarahnya, bahwa hukum keluarga di Indonesia telah mengalami pasang surut seirama dengan pasang surut sampai perjuangan kemerdekaan negara Republik Indonesia pada zaman penjajahan Barat dahulu. Pada masa Kerajaan Islam di Pulau Jawa (berlangsung sekitar tahun 1613-1882), al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), menunjukan lahirnya realitas baru, yakni diterimanya norma-norma sosial Islam secara damai oleh sebagian besar penduduk Nusantara. Hukum keluarga Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia, karena kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia telah melaksanakannya dalam kekuasaannya masing-masing.
Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.[14] Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan Ngampel.[15] Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan.[16] Hal ini sesuai dengan konteks Indonesia, sebuah negara yang telah melakukan pembaruan dalam hukum keluarga Islam.[17] Secara historis, pembaruan hukum perkawinan Islam di Indonesia dapat dibagi dalam tiga periode yaitu: (1) pra penjajajahan; (2) masa penjajahan; dan (3) masa kemerdekaan (masa Orde Lama, Orde Baru, dan masa reformasi).[18] Dalam masing-masing periode ini, hukum keluarga Islam mengalami perubahan dan pembaruan. Secara historis, hukum Islam sudah lama menjadi hukum positif yang berlaku di Indonesia. Diantara hukum Islam yang menjadi hukum positif di Indonesia adalah bidang hukum keluarga. Sejak zaman penjajahan sampai sekarang hukum keluarga yang bersumber dari hukum Islam sudah diikuti dan hidup di tengah-tengah mayoritas rakyat Indonesia.[19]
B. Pembaruan Hukum Keluarga
1) Konsepsi Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Hukum keluarga mempunyai posisi yang penting dalam Islam. Hukum keluarga dianggap sebagai inti syari’ah. Hal ini berkaitan dengan asumsi umat Islam yang memandang hukum keluarga sebagai pintu gerbang untuk masuk lebih jauh ke dalam agama Islam. Pada dasarnya sesuatu itu tidak akan terbentuk karena tidak adanya sesuatu hal yang mendasarinya, seperti halnya hukum keluarga Islam tidak akan pernah ada tanpa adanya sesuatu yang melatar belakanginya. Pembahasan ini penting dilakukan karena tidak semua masyarakat Indonesia beragama Islam sehingga sejarah, peristiwa dan sebab lahirnya hukum keluarga Islam dianggap sangat kontroversial.
Hukum keluarga Islam sangat penting kehadirannya di tengah-tengah masyarakat muslim karena permasalahan tentang keluarga dan lain sebagainya yang tidak bisa disamakan dengan yang beragama non muslim, sehingga masyarakat menginginkan adanya hukum keluarga Islam yang berlaku khusus, apalagi dengan perkembangan zaman yang semakin berkembang pula sehingga dibutuhkan metode-metode untuk pembaruan hukum. Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) adalah jawaban dari keresahan, ketidakpastian, dan tuntutan masyarakat muslim untuk menjadi pedoman dan rujukan dalam mengatasi permasalahan seputar hukum keluarga.
Pada zaman modern, khususnya abad ke-20, bentuk-bentuk literatur hukum Islam telah bertambah menjadi dua macam, selain fatwa, keputusan pengadilan agama, dan kitab fiqh. Adapun yang pertama ialah undang-undang yang berlaku di negara-negara muslim khususnya mengenai hukum keluarga. Sedangkan yang kedua adalah kompilasi hukum Islam yang sebenarnya merupakan inovasi Indonesia. Kompilasi bukan kodifikasi, tetapi juga bukan kitab fiqh.[20] Sikap para ulama terhadap diundangkannya materi-materi hukum keluarga di negara-negara muslim telah menimbulkan pandangan pro dan kontra. Diantara para ulama ada yang tetap ingin mempertahankan ketentuan-ketentuan hukum lama dengan kalangan pembaharu baik yang menyangkut metodologi maupun substansi hukumnya.[21] Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, umat Islam Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memadai untuk mengatur masalah-masalah keluarga (perkawinan, perceraian dan warisan serta masalah wakaf).
Sementara itu masih ada sebagian ulama tradisional Indonesia yang belum sepenuh hati dalam memahami atau menyetujui berbagai aturan dalam kedua undang-undang tersebut karena dianggap tidak selamanya sesuai dengan apa yang termuat dalam kitab-kitab fiqh. Akan tetapi sebagian ulama lain justru merasa bangga dengan lahirnya kedua undang-undang itu karena dianggap sebagai kemajuan besar dalam perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia. Apalagi dengan disepakatinya hasil Kompilasi Hukum Islam oleh para ulama Indonesia pada tahun 1988 yang kemudian diikuti oleh Instruksi Presiden Nomor 1 tanggal 10 Juni 1991 untuk menyebarluaskan dan sedapat mungkin menerapkan isi kompilasi tersebut, hal ini telah menandai lembaran baru dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia khususnya dalam bidang hukum keluarga.[22]
2) Metode Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Pembaruan pemikiran hukum Islam pada masa kontemporer, umumnya berbentuk tawaran-tawaran metodologi baru yang berbeda dengan metodologi klasik. Paradigma yang digunakan lebih cendrung menekankan wahyu dari sisi konteksnya. Hubungan antara teks wahyu dengan perubahan sosial tidak hanya disusun dan dipahami melalui interpretasi literal tetapi melalui interpretasi terhadap pesan universal yang dikandung oleh teks wahyu. Ada dua konsep dalam pembaruan, yakni; (1) konsep konvensional, dan (2) konsep kontemporer yang muncul dalam melakukan pembaruan hukum keluarga Islam kontemporer dalam bentuk kodifikasi.
Penerapan metode konvensional, para ulama terlihat dalam berijtihad dan menerapkan pandangan hukumnya dengan mencatat ayat Al-Qur’an dan Sunnah. Para ahli menetapkan, ada beberapa ciri khas atau karasteristik metode penetapan hukum Islam (fiqh) yaitu; menggunakan pendekatan parsial (global), kurang memberikan perhatian terhadap sejarah, terlalu menekankan pada kajian teks/harfiah, metodologi fiqh seolah-olah terpisah dengan metodologi tafsir, terlalu banyak dipengaruhi budaya-budaya dan tradisi-tradisi setempat, dan dalam beberapa kasus di dalamnya meresap praktek-praktek tahayul, bid’ah, dan khurafat,khususnya yang berkaitan dengan ibadah. Masuknya unsur politik di dalamnya atau pengaruh kepentingan penguasa dalam menerapkan teori-teori fiqh.
Sedangkan metode kontemporer pada prinsipnya metode pembaruan yang digunakan dalam melakukan kodifikasi hukum keluarga Islam kontemporer di Indonesia yaitu:
a. Takhayyur, yaitu memilih pandangan salah satu ulama fiqh, termasuk ulama diluar madzhab, takhayyur secara substansial disebut tarjih.
b. Talfiq, yaitu mengkombinasikan sejumlah pendapat ulama (dua atau lebih) dalam menetapkan hukum satu masalah.
c. Takhshish al-qadla, yaitu hak negara menbatasi kewenangan peradilan baik dari segi orang, wilayah, yuridikasi, dan hukum acara yang ditetapkan.
d. Siyasah syar’iyah, yaitu kebijakan penguasa menerapkan peraturan yang bermanfaat bagi rakyat dan tidak bertentangan dengan syari’ah, reinterpretasi nash terhadap nash (Al-Qur’an dan sunnah).
Adapun sifat dan metode reformasi yang digunakan di negara-negara muslim modern (termasuk Indonesia) dalam melakukan pembaruan hukum keluarga Islam dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a. Intra doctrinal reform, tetap merujuk pada konsep fiqh konfensional dengan cara; takhyir (memilih pandangan salah satu ulama fiqh, termasuk ulama diluar madzhab), dapat pula disebut tarjih, dan talfiq, (mengkombinasikan sejumlah pendapat).
b. Extra doctrinal reform, pada prinsipnya tidak lagi merujuk pada konsep fiqh konvensional tapi merujuk pada nash al Quran dan sunnah dengan melakukan penafsitran ulang terhadap nash (reinterpretasi).[23]
3) Kilas Balik Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Secara historis, hukum keluarga Islam mencuat ke permukaan bermula dari diakuinya peradilan agama secara resmi sebagai salah satu pelaksana “judicial power” dalam negara hukum melalui Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Lebih lanjut, kedudukan, kewenangan atau yurisdiksi dan organisatorisnya telah diatur dan dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang mempunyai kewenangan mengadili perkara tertentu: (1) perkawinan, (2) waris, (3) wasiat, (4) hibah, (5) wakaf, (6) infaq, (7) shadaqah, (8) zakat dan (9) ekonomi syari’ah, bagi penduduk yang beragama Islam.
Kenyataan eksisten pengadilan agama belum disertai dengan perangkat atau sarana hukum positif yang menyeluruh, serta berlaku secara unifikasi sebagai rujukan. Meskipun hukum materiil yang menjadi yurisdiksi pegadilan agama sudah dikodifikasi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentangn Perkawinan jo aturan pelaksanaannya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, namun pada dasarnya hal-hal yang diatur di dalamnya baru merupakan pokok-pokok saja. Akibatnya, para hakim yang seharusnya mengacu pada undang-undang, kemudian kembali merujuk kepada doktrin-doktrin yang tertuang dalam kitab fiqh klasik. Sehingga tidak heran terdapat perbedaan putusan hukum antar pengadilan agama tentang persoalan yang sama adalah suatu hal yang dapat dimaklumi, sebagaimana ungkapan different judge different sentence.[24] Dari realitas di atas, Pemerintah kemudian berinisiatif melengkapi pengadilan agama dengan prasarana hukum yang unifikatif lewat jalan pintas berupa Kompilasi Hukum Islam.
Meskipun dari catatan sejarah di Indonesia, isu pembaharuan hukum keluarga Islam telah muncul sejak lama adanya, bahkan sebelum kemerdekaan diraih. Ketika momentum Kongres Perempuan 1928, isu ini muncul karena banyaknya kasus yang menimpa kaum perempuan selama dalam kehidupan perkawinan. Seperti, terjadinya perkawinan di bawah umur, kawin paksa, poligami, talak yang sewenang-wenang dan mengabaikan hak-hak perempuan dan sebagainya. Pada tahun 1937, pemerintah kolonial Belanda pernah menyusun rancangan undang-undang perkawinan modern yang disebut ordonansi pencatatan perkawinan. Langkah ini diambil atas desakan kuat dari organisasi-organisasi perempuan yang ada saat itu. Ordonansi pencatatan perkawinan ini berlaku bagi penduduk pribumi, Arab, dan Asia bukan Tionghoa, yang ada di Indonesia. Hebatnya ordonansi ini menetapkan aturan monogami serta memberi hak cerai yang sama pada perempuan dan laki-laki. Meski begitu, ordonansi ini hanya diberlakukan bagi mereka yang memilih aturan pencatatan atas pernikahannya.
Selanjutnya pada tahun 1950, hukum perkawinan yang mengakomodir semua kepentingan lintas agama maupun ras yang ada di Indonesia, belum dimiliki negeri ini. Ordonansi perkawinan yang berazaskan monogami itu ditolak Pemerintah Republik Indonesia. Sebelumnya memang ada perundang-undangan pemerintah Republik Indonesia Tahun 1946, yang menetapkan pendaftaran perkawinan, menyarankan ketidaksetujuan pada perkawinan anak-anak dan perkawinan paksa, menyarankan agar pejabat perkawinan menasehati pasangan nikah tentang hak mereka, serta berusaha mencegah terjadinya talak dengan meneliti masalah dari kedua belah pihak yang berselisih (suami-istri). Tapi sayang, dalam praktik baik perkawinan anak-anak maupun paksa tetap banyak terjadi. Barangkali karena aturan tersebut hanya bersifat anjuran belaka. Akibatnya desakan adanya undang-undang perkawinan yang memberikan jaminan hak yang sama bagi semua warga negara, terus bergulir hingga terbentuknya komisi perkawinan pada tahun 1950. Komisi perkawinan terdiri dari para ahli agama yang tentu saja mayoritas laki-laki, serta para tokoh perempuan dari berbagai kalangan, termasuk kalangan umat Katholik dan juga Islam. Dalam prosesnya, komisi ini berhasil merancang undang-undang perkawinan umum yang bisa digunakan semua warga negara Indonesia. Tetapi di dalam rancangannya perkawinan didasarkan pada rasa suka sama kedua pasangan, dan poligami diizinkan dengan persyaratan yang ketat.
Upaya pembaharuan hukum keluarga itu terus bergulir hingga tahun 1974. Oleh sejumlah tokoh dalam sebuah public hearing dengan Dewan Perwakilan Rakyat saat itu, diajukan tuntutan segera dibentuknya undang-undang yang mengatur tentang perkawinan. Dengan tuntutan tersebut, akhirnya aturan yang dikehendaki itu ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Meski ada tuntutan agar diadakan amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kembali marak. Tidak saja di Indonesia, di berbagai negara muslim lain pun dihadapkan pada tuntutan yang sama, mengingat hukum keluarga yang berlaku di negara mereka dirasa masih bias gender dan belum memenuhi hasrat keadilan bersama. Tidak heran, upaya reformasi hukum keluarga akan selalu jadi isu kontroversi di negara-negara muslim modern. Sebagai konskuensinya, upaya pembaruan hukum keluarga selalu menghadapi perlawanan kuat, khususnya dari kelompok pemilik otoritas agama, sebab mengubah hukum keluarga dianggap mengubah esensi agama itu sendiri. Upaya pembaruan hukum keluarga bisa-bisa dimaknai sebagai pembangkangan terhadap syari’at Islam. Akibatnya, belum semua negara berpenduduk muslim melakukan pembaruan terhadap hukum keluarganya.
4) Dinamika Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Indonesia meski tidak tergolong negara Islam, melainkan mayoritas berpenduduk muslim, adanya suatu upaya pembaruan hukum keluarga ini tidak terlepas dari munculnya pemikir-pemikir reformis muslim, baik dari tokoh luar negeri maupun dalam negeri. Dari luar negeri bisa disebutkan antara lain Rifa’ah al-Tahtawi (1801-1874), Muhammad Abduh (1849-1905), Qasim Amin (1863-1908), dan Fazlur Rahman (1919-1988). Sedang tokoh dari reformis muslim nasional antara lain ada sejumlah tokoh-tokoh pembaharu yang ada di Indonesia, seperti, Hasbi Ash-Shiddiqi dengan “Fiqh Indonesia”, Hazairin dengan “Fiqh Mazhab nasional”, Munawir Syadzali dengan “Reaktualisasi Ajaran Islam”, Abdurrahman Wahid dengan “Pribumisasi Islam”, Sahal Mahfudz dengan “Fiqh Sosial” dan Masdar F. Mas’udi dengan “Agama Keadilan”. Pembaruan hukum Islam sebagai upaya mencari relevansi hukum Islam dengan perkembangan kekinian bukanlah upaya yang berdiri sendiri, tapi ada faktor yang mendorongnya.
Jika dilihat dari tujuannya, pembaruan hukum keluarga secara garis besar bertujuan meningkatkan status perempuan dalam segala aspek kehidupan dan hukum keluarga termasuk hukum waris. Meski tujuan ini tidak disebutkan secara eksplisit, materi hukum yang dirumuskan bahwa undang-undang seputar hukum keluarga yang dibuat umumnya merespon sejumlah tuntutan status dan kedudukan perempuan yang lebih adil dan setara. Undang-undang perkawinan khususnya yang dimiliki Mesir dan Indonesia jelas menggulirkan tujuan tersebut. Tujuan lain yang dimiliki negara-negara Muslim dalam memperbaharui hukum keluarga adalah unifikasi hukum. Usaha unifikasi hukum ini dilakukan karena masyarakatnya menganut bermacam-macam mazhab atau bahkan pemahaman agama yang berbeda-beda. Di Tunisia misalnya, upaya unifikasi hukum perkawinan ditujukan untuk semua warga negara tanpa memandang perbedaan agama. Selain tujuan-tujuan tersebut, ada lagi tujuan lain dari upaya pembaruan hukum keluarga yaitu untuk merespon tuntutan zaman. Dimana tuntutan zaman dan dinamika perkembangan masyarakat tersebut adalah akibat dari pengaruh global yang mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam reformasi hukum keluarga tersebut, umumnya upaya terfokus pada masalah status personal, yang masih diatur oleh hukum Islam yang telah mapan di beberapa negara muslim. Untuk mengurangi keberatan kaum konservatif, pembaruan ini sering dilakukan secara tak langsung melalui jalur prosedural.
Dengan memperhatikan uraian di atas dapat diketahui bahwa pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia telah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, berproses dengan kondisi dan situasi serta sesuai dengan tuntutan zaman yang telah dilalui. Hal ini disebabkan karena norma-norma yang terkandung dalam kitab-kitab fiqh tidak cocok atau sudah tidak mampu lagi memberi solusi atau jawaban terhadap masalah-masalah baru yang terjadi khususnya dalam bidang hukum keluarga. Perlu diketahui secara sederhana, fiqih memiliki dua wilayah, ada wilayah prinsip, dan ada wilayah fleksibel. Demikian juga dengan hukum keluarga tentu ada wilayah prinsip, dan ada wilayah fleksibel. Wilayah prinsip serupa dengan hukum alam tidak bisa dan tidak mungkin diubah seperti rukun nikah dan wilayah kedua adalah wilayah fleksibel, atau lebih tepat disebut sebagai wilayah perbedaan, aspek ini yang mentoleransi adanya perbedaan dalam penetapan hukumnya, seperti pembatasan syarat poligami yang diperketat.
5) Faktor-faktor Penyebab Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Menurut para pakar hukum Islam di Indonesia, pembaruan hukum Islam yang terjadi saat ini disebabkan oleh beberapa faktor,[25] termasuk di dalamnya hukum keluarga.
a. Untuk mengantisipasi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum terkait masalah yang baru terjadi sangat mendesak untuk diterapkan;
b. Pengaruh globalisasi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya;
c. Pengaruh reformasi berbagai bidang yang memberikan peluang terhadap hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional;
d. Pengaruh pembaharuan pemikiran hukum Islam yang di laksanakan oleh para mujtahid baik tingkat internasional ataupun nasional.
Pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia disebabkan karena adanya perubahan kondisi, situasi, tempat, dan waktu sebagai akibat dari faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas. Perubahan ini adalah sejalan dengan teori qaul qadim dan qaul jadid yang dikemukakkan oleh Imam Syafi’i, bahwa hukum dapat juga berubah karena berubahnya dalil hukum yang diterapkan pada peristiwa tertentu dalam melaksanakan maqâsyid syari’ah. Dengan memperhatikan uraian diatas dapat diketahui bahwa pembaruan hukum keluarga Islam telah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, berproses dengan kondisi dan situasi serta sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini disebabkan karena norma-norma yang terkandung dalam kitab-kitab fiqh sudah tidak mampu lagi memberi solusi terhadap masalah baru yang terjadi. Dalam kaitan ini J.N.D. Anderson mengatakan bahwa hukum keluarga dianggap sebagai inti syari’ah, karena bagian inilah yang oleh umat Islam dianggap sebagai pintu gerbang untuk masuk lebih jauh ke dalam wilayah agama dan masyarakat.[26]
C. Analisis Pembaruan Hukum Keluarga dalam Kompilasi Hukum Islam
Terbentuknya hukum Islam (hukum keluarga) yang tertulis, sebenarnya sudah lama menjadi kebutuhan dan keinginan masyarakat muslim. Sejak diundangkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum keluarga, rasanya sangat diperlukan adanya hukum keluarga Islam di Indonesia tertulis. Sehingga munculah gagasan penyusunan Kompilasi Hukum Islam dalam rangka mencari pola fiqh yang bersifat khas Indonesia atau fiqh yang bersifat kontekstual. Kemunculan KHI di Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam. Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme putusan hakim pengadilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim adalah sama. Selain itu fiqh yang selama ini tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam Indonesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena digali dari tradisi-tradisi bangsa Indonesia. KHI telah menjadi buku hukum atau pedoman hukum, bersifat mandiri dan hasil ijtihad pakar fiqh Indonesia. Menurut Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam merupakan upaya akomodatif dari mazhab-mazhab fiqh klasik. Kendatipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa materi hukum dalam KHI masih didominasi oleh mazhab Syafi’i.
Dalam rangka pemberlakuan KHI maka keluarlah Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama RI untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari tiga buku, yaitu Buku I tentang perkawinan, terdiri dari 9 bab dan 170 pasal (pasal 1 s/d pasal 170), Buku II tentang kewarisan, terdiri dari 6 bab dan 43 pasal (pasal 171 s/d pasal 214) dan Buku III tentang perwakafan, terdiri dari 5 bab dan 12 pasal (pasal 215 s/d pasal 228).
1) Bidang Perkawinan
Peraturan yang ada dalam KHI untuk bidang hukum perkawinan tidak lagi hanya terbatas pada hukum substantif saja yang memang seharusnya menjadi porsi dari kompilasi, akan tetapi sudah cukup banyak memberikan peraturan tentang masalah prosedural yang seharusnya termasuk dalam porsi undang-undang perkawinan. Walaupun pada dasarnya, ada beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki kesamaan yang termuat dalam KHI. Adapun perbedaan (hal-hal baru) yang termuat dalam KHI merupakan sebagai kemajuan dari pengembangan hukum keluarga di Indonesia.
Sebagai pengembangan dari hukum perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan, maka KHI tidak boleh lepas dari misi yang diemban oleh undang-undang tersebut, kendatipun cakupannya hanya terbatas bagi kepentingan umat Islam, antara lain, kompilasi mutlak harus mampu memberikan landasan hukum perkawinan yang dapat dipegangi oleh umat Islam.
a. Pencatatan perkawinan.
Pasal 5 KHI menyebutkan “agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Jika kita melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka kata harus yang tercantum dalam pasal 5 tersebut bermakna wajib[27] begitu juga dalam hukum Islam. Dengan demikian menurut KHI, perkawinan yang tidak dicatat dan dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 5 tersebut dikuatkan pasal 7, yang menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Sehingga dapat dikatakan bahwa, pencatatan perkawinan merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam yang melangsungkan perkawinan.
Pencatatan perkawinan yang dimaksudkan dalam KHI harusnya berkaitan dengan sah tidaknya suatu perkawinan yang dilaksanakan, karena pencatatan perkawinan tersebut berkaitan dengan hubungan keperdataan, yakni perkawinan yang tidak dicatat oleh pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum menurut hukum yang berlaku di Indonesia, sehingga tidak sah perkawinan tersebut menurut hukum Islam. Hal itu dilakukan agar setiap orang yang berkaitan dengan terjadinya perkawinan tersebut dapat dijamin hak-haknya menurut peraturan perundangan-undangan di Indonesia.
b. Talik talak.
Dalam KHI pasal 45 disebutkan bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk talik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Artinya KHI membenarkan cara lain bagi seorang istri untuk dapat bercerai dari suaminya, yaitu melalui institusi talik talak. Meskipun cara perceraian yang paling umum dilakukan dalam ikatan perkawinan orang-orang Islam Indonesia adalah melalui institusi talak. Pembaruan terhadap hukum keluarga tersebut dilakukan mengingat, merupakan hal yang biasa bagi suami mengucapkan talik talak pada saat memulai suatu perkawinan, dimana ia mengajukan syarat bahwa, jika ia menyakiti istrinya atau tidak menghiraukannya selama jangka waktu tertentu, maka pengaduan istri terhadap pengadilan agama akan menyebabkan istri tersebut terceraikan.
c. Menikahkan wanita hamil karena zina.
KHI juga menganut pembaruan dengan lintas mazhab (intra-doctrinal reform). Pembaruan model ini dapat diperhatikan pada ketentuan bolehnya menikahkan wanita hamil karena zina dengan pria yang menghamilinya (Pasal 53 ayat (1) KHI) dan anak yang dilahirkannya menjadi anak yang sah. Akibatnya, anak tersebut memiliki hubungan nasab pada keduanya tanpa harus melihat terlebih dahulu apakah anak zina yang dikandungnya itu lahir setelah atau sebelum enam bulan dari hari pernikahannya (Pasal 99 huruf a KHI). Konsekuensi hukumnya, anak yang lahir tersebut mendapatkan kewarisan dari keduanya dan dari keluarga keduanya tanpa memperhitungkan apakah ia lahir setelah enam bulan atau sebelumnya terhitung dari hari pernikahannya.[28]
Ketentuan tentang status hukum anak zina tanpa mempertimbangkan kapan kelahirannya yang tertuang dalam Pasal 99 huruf a KHI ini bersumber dari mazhab Hanafi, sedangkan umat Islam Indonesia pada umumnya menganut mazhab Syafi’i. Hal ini menunjukkan adanya pembaruan dengan lintas mazhab. Meskipun ketentuan pasal ini menganut mazhab Hanafi, para penyusun Kompilasi Hukum Islam tetap memasukkan dalam pasal KHI. Alasan mereka adalah bahwa dalam hal ini, pendapat mazhab Hanafi lebih memberikan kemaslahatan hukum bagi masyarakat muslim Indonesia. Bagi mereka, berpindah mazhab boleh dilakukan asalkan dalam satu rangkaian hukum.
d. Persetujuan untuk dilangsungkannya pernikahan.
Pembaruan model lintas mazhab (intra-doctrinal reform) juga terjadi pada ketentuan mengenai keharusan adanya persetujuan untuk dilangsungkannya pernikahan. Jika ternyata perkawinan itu tidak didasarkan atas persetujuan kedua mempelai, maka dapat dibatalkan (Pasal 71 huruf a dan f KHI). Ketentuan dalam pasal ini tidak membedakan antara wanita yang masih perawan dan wanita yang sudah janda bagi calon mempelai wanita. Keduanya dianggap sama dalam aspek hukumnya.[29]
Para ulama fiqh sepakat bahwa calon mempelai pria tidak dapat dipaksa untuk menikah dan pernikahannya didasarkan atas kehendak dan persetujuannya. Akan tetapi, para ulama fiqh membedakan status hukum bagi calon mempelai wanita antara yang masih perawan dan yang sudah janda. Bagi mazhab Hanafi, persetujuan calon mempelai wanita baik yang masih perawan maupun yang sudah janda menjadi syarat untuk dapat dilangsungkannya pernikahan. Bagi mazhab ini, wali tidak menjadi rukun nikah. Dengan demikian, wali tidak berhak memaksa terhadap calon mempelai wanita untuk dinikahkan. Mazhab Maliki dan Syafi’i membedakan calon mempelai wanita dewasa antara yang masih perawan dan yang sudah janda. Bagi kedua mazhab ini, persetujuan dari calon mempelai wanita dewasa yang sudah janda menjadi syarat untuk dapat dilangsungkan pernikahannya. Sedangkan calon mempelai wanita dewasa yang masih perawan tidak perlu dimintai persetujuannya terlebih dahulu. Walinya dapat saja memaksanya untuk menikahkan dengan pria yang sebanding (kafā'ah) dengannya. Ketentuan dalam Pasal 71 huruf d dan f KHI ini sejalan dengan pandangan mazhab Hanafi dan pasal ini meninggalkan pandangan mazhab utama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yaitu mazhab Syafi’i.
e. Usia minimal yang diperbolehkan kawin.
Pembaruan selanjutnya yang terdapat dalam KHI dapat dilihat pada ketentuan usia minimal yang diperbolehkan kawin, yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita[30] (Pasal 15 ayat (1) KHI) serta kedua calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua masing-masing karena dianggap belum mandiri secara hukum (Pasal 15 ayat (2) KHI). Para ulama fiqh tidak menentukan batas usia minimal bagi sah dan dapat dilangsungkannya perkawinan. Mereka juga tidak mensyaratkan dewasa (baligh) sebagai syarat sah dan dapat dilangsungkannya perkawinan. Bahkan, mereka memandang bahwa nikahnya anak perempuan yang masih kecil dengan anak laki-laki yang masih kecil adalah sah.
Pembatasan umur pernikahan dalam KHI dimaksudkan agar tujuan dari pernikahan dapat tercapai. Selain itu, hal yang belum dibahas dalam kitab fiqh klasik adalah ketentuan mengenai status anak yang lahir dari rahim istrinya, tetapi hasil dari pembuahan di luar rahim melalui proses inseminasi buatan. (Pasal 99 huruf b KHI).
f. Harta bersama dalam perkawinan.
Pasal 85-97 tidak menyebutkan mengenai proses terjadinya harta bersama, seperti yang diatur pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Akan tetapi, pasal 1 huruf f dirinci bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Harta bersama suami istri pada dasarnya tidak dikenal, karena hal ini tidak dibicarakan secara khusus dalam kitab fiqh. Konsep harta bersama dalam perkawinan merupakan produk hukum Adat yang tereduksi dari nilai-nilai kearifan lokal sebagai bentuk keseimbangan hak antara suami istri dalam kehidupan perkawinan. Pasal-pasal selanjutnya dari kompilasi memberikan pengaturan cukup rinci mengenai masalah harta bersama ini, yang diperoleh selama perkawinan, oleh karenanya, dimiliki secara bersama oleh keduanya.
g. Talak dan lian
Pembaruan juga dapat dilihat dalam ketentuan mengenai talak dan li'ān yang dapat diakui jika dinyatakan di depan sidang Pengadilan Agama (Pasal II7 dan 128 KHI). Sebagai konsekuensinya talak jatuh terhitung sejak dinyatakan di depan sidang Pengadilan Agama (Pasal 123 KHI). Dengan begitu iddah talak raj'ī terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 153 ayat (4) KHI).
2) Bidang Kewarisan
Hukum kewarisan yang termuat dalam KHI terdiri atas VI bab dan 44 pasal (pasal 171-214), dari segi yuridis formalnya, perkara kewarisan belum pernah dibahas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, baru dalam KHI aturan tersebut diberlakukan, selama ini para hakim peradilan agama menetapkan hukum kewarisan berdasarkan sumber hukum, yaitu Al-Qur’an dan hadis, dan kitab-kitab fiqh.
a. Sistem kewarisan bilateral.
KHI membawa perubahan yang cukup penting tentang sistem kewarisan yang selama ini dianut oleh masyarakat beragama Islam di Indonesia pada umumnya menggunakan kitab-kitab yang bersumber dari mazhab sunnī yang menganut sistem kewarisan patrilinier. Sedang sistem kewarisan yang dianut KHI adalah sebagaimana tercantum dalam Q.S. an-Nisā (4): 7 dan 11, yaitu sistem kewarisan bilateral. Menurut sistem ini, anak laki-laki atau cucu dari anak perempuan (zawī al-arḥām) adalah sama-sama sebagai ahli waris ‘āṣābah/zawī al-furūḍ, maka tidak berhak mewarisi (terhijab hirmān). Dalam KHI, apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda. Dalam pasal ini kata anak disebut secara mutlak tanpa keterangan laki-laki/perempuan. Ini berarti kalau ada anak, tanpa dibedakan apakah anak laki-laki atau anak perempuan, maka menghijab hirmān terhadap saudara-saudara kandung atau paman pewaris. Sedangkan menurut fiqh sunnī, kalau anak tersebut perempuan maka hanya dapat menghijab nuqṣān atau mengurangi bagian ahli waris ‘āṣābah.[31]
b. Percobaan pembunuhan penghalang mewarisi.
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: (a) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; (b) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Pembaruan dalam pasal ini memberikan tambahan ketentuan hal-hal yang dapat menghalangi hak seseorang untuk mewarisi. Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan di atas bahwa di samping faktor membunuh, faktor percobaan pembunuhan dan menganiaya berat juga menjadi penyebab terhalangnya hak seseorang untuk dapat mewarisi (pasal 173 KHI).
Dalam kitab-kitab fiqh, ulama bersepakat bahwa hal-hal yang dapat menghalangi hak mewarisi ada tiga, yaitu karena menjadi hamba sahaya, berbeda agama dan membunuh pewaris. Faktor membunuh menjadi penghalang mewarisi jika memang benar-benar telah melakukan pembunuhan terhadap pewaris. Ulama fiqh tidak menetapkan apakah orang yang melakukan percobaan pembunuhan dan penganiayaan berat terhadap pewaris juga menghalangi hak kewarisan seseorang.[32] Ketentuan melakukan percobaan pembunuhan dan menganiaya berat sebagai penghalang hak mewarisi merupakan hasil ijtihad para ahli hukum Islam Indonesia.
c. Ahli waris pengganti.
Pembaruan hukum kewarisan berikutnya dapat diperhatikan dalam ketentuan pasal 185 ayat (1) KHI yang menyatkan bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris, kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya. Bagian untuk ahli waris penggantinya tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikannya (pasal 185 ayat (2) KHI). Ketentuan dalam pasal ini sering disebut dengan ketentuan mengenai ahli waris pengganti (mawāli). Ketentuan mengenai ahli waris pengganti ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh. Pada umumnya, ulama fiqh menetapkan kedudukan seseorang sebagai ahli waris tidak dapat digantikan oleh anaknya jika ia lebih dahulu meninggal daripada pewaris, sehingga dalam kita fiqh tidak dikenal adanya ahli waris pengganti.
d. Batas usia syarat seseorang yang hendak mewasiatkan hartanya.
Pembaruan selanjutnya terjadi dalam ketentuan mengenai syarat seseorang yang hendak mewasiatkan hartanya harus memenuhi umur sekurang-kurangnya 21 tahun (pasal 194 ayat (1) KHI). Ketentuan ini berkaitan erat dengan batasan seseorang yang dapat dianggap dewasa. Jika seseorang belum mencapai batasan umur ini maka masih belum dianggap dewasa dan belum patut melakukan perbuatan hukum seperti mewasiatkan hartanya. Ketentuan batas usia minimal ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh. Ulama fiqh dari mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i hanya mensyaratkan bahwa pewasiat harus sudah baligh (dewasa), sedangkan ulama dari mazhab Maliki dan Hanbali hanya mensyaratkan bahwa pewasiat harus sudah mumayyiz (cukup dewasa).[33]
e. Wasiat harus di hadapan 2 orang saksi.
Pembaruan berikutnya terjadi dalam ketentuan pasal 195 ayat (2) KHI yang menyatakan bahwa wasiat harus dilakukan di hadapan dua orang saksi atau notaris baik secara lisan atau tertulis. Ketentuan ini pun tidak dijumpai dalam kitab-kitab fiqh. Ulama fiqh tidak memasukkan ketentuan adanya dua orang saksi bagi sahnya wasiat. Mereka menetapkan bahwa wasiat mempunyai empat rukun, yaitu pewasiat (mūṣī), penerima wasiat (mūṣā lahu), benda yang diwasiatkan (mūṣā bihi) dan sighat ijab dan qabul.[34] Ulama fiqh tidak memasukkan dua orang saksi (syahīdāni), apalagi notaris ke dalam rukum wasiat.
f. Penghalang penerima wasiat.
Pembaruan berikutnya terjadi dalam ketentuan pasal 197 ayat (1) KHI yang menyatakan bahwa penerima wasiat terhalang jika; pertama, membunuh, mencoba membunuh atau menganiaya berat terhadap pewasiat; kedua, menfitnah pewasiat bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan dengan hukuman lima tahun atau lebih; ketiga, dengan kekerasan dan ancaman, mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan penerima wasiat.
g. Wasiat tidak boleh kepada pelayan perawatan.
Pembaruan ini juga dapat diperhatikan pada ketentuan pasal 207 KHI yang menyatakan bahwa wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan dan orang yang memberikan tuntunan kerohanian kepada pewasiat hingga ia meninggal, kecuali jika ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasanya, dan juga dalam ketentuan dalam pasal 208 KHI yang menyatakan bahwa wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta tersebut.
h. Wasiat wajibah.
Selain pembagian harta peninggalan, dalam kewarisan Islam juga diatur tentang peralihan harta peninggalan oleh karena peristiwa kematian pewaris. Tata cara peralihan harta peninggalan pewaris kepada ahli waris dapat dilakukan dengan cara wasiat.[35] Aturan mengenai wasiyat wajibah yang ada dalam KHI merupakan reformasi hukum, pemberian bagian harta warisan sebanya 1/3 bagi anak angkat dan orang tua angkat sebagai bentuk penyesuaian ketetapan hukum berdasar atas kebiasaan masyarakat di Indoneisa. Pembaruan ini dapat diperhatikan pada 209 ayat (1) dan (2) KHI yang menyatakan bahwa orang tua angkat yang tidak mendapat wasiat diberi wasiat wājibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. Ada juga anak angkat yang tidak mendapat wasiat diberi wasiat wājibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari warisan orang tua angkatnya. Ketentuan memberi wasiat wajibah kepada orang tua angkat dan anak angkat tidak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh empat mazhab dan bahkan dari mazhab Daud Zahiri sekali pun. Istilah wasiat wājibah sendiri tidak dikenal dalam kitab-kitab fiqh empat mazhab.
Sesuai dengan hukum Adat, sudah umum terjadi dalam keluarga di Indonesia untuk mengadopsi seorang anak laki-laki atau perempuan, untuk kemudian dimasukkan dalam lingkungan keluarga. Sehingga, oleh para ahli hukum Islam Indonesia merasa berkewajiban untuk menjembatani kesenjangan lembaga adopsi ini, maka mereka beusaha mengakomodasi sistem nilai yang ada dalam kedua hukum dengan jalan mengambil dari institusi wasiat wajibah yang berasal dari hukum Islam sebagai sarana untuk fasilitas nilai moral yang ada dibalik praktik adopsi dalam tradisi hukum Adat Indonesia.
3) Bidang Wakaf
Pembaruan fiqh juga terjadi dalam pasal-pasal mengenai hukum perwakafan. Pembaruan yang terdapat dalam pasal-pasal ini dilakukan dengan metode extra-doctrinal reform dan regulatory reform.
a. Ikrar wakaf di hadapan PPAIW
Pembaruan dengan metode extra doctrinal reform ini dapat diperhatikan pada ketentuan mengenai ikrar wakaf kepada penerima wakaf yang harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan dua orang saksi (pasal 218).
b. Penerima wakaf WNI.
Pembaruan model di atas selanjutnya dapat diperhatikan pada ketentuan pasal 219 ayat (1) yang menyatakan bahwa penerima wakaf harus warga negara Indonesia (WNI), muslim, dan bertempat tinggal di kecamatan tempat benda yang diwakafkan. Ketentuan ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh. Para ulama fiqh tidak mensyaratkan penerima wakaf harus muslim apalagi warga negara yang sama dengan pewakaf dan bertempat tinggal di kecamatan tempat benda yang diwakafkan. Ketentuan penerima wakaf harus muslim ini lebih merupakan upaya memelihara harta umat Islam agar dipergunakan untuk kepentinganmereka. Sedangkan ketentuan penerima wakaf harus warga negara Indonesia dan bertempat tinggal di kecamatan tempat benda yang diwakafkan ini merupakan aturan-aturan yang memiliki motif politis dan kemudahan administrasi perwakafan.
c. Penerima wakaf harus bersumpah di hadapan kepala KUA.
Pembaruan selanjutnya terdapat dalam ketentuan mengenai penerima wakaf harus bersumpah di hadapan kepala Kantor Urusan Agama (KUA) dengan di hadiri dua orang saksi (pasal 2I9 ayat 3 KHI). Ketentuan di atas juga tidak dijumpai dalam kitab-kitab fiqh dan bahkan dalam perundang-undangan Islam di negara-negara berpenduduk muslim. Ketentuan dalam pasal ini merupakan hasil ijtihad dari para perumus KHI.
d. Jabatan nazīr diberhentikan oleh kepala KUA.
Pembaruan selanjutnya terdapat dalam pasal 221 KHI yang menyatakan bahwa jabatan nazīr diberhentikan oleh kepala KUA karena mati, atas permohonan sendiri, tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai nazīr dan melakukan kejahatan sehingga dipidana. Ketentuan hanya kepala Kantor Urusan Agama (KUA) yang berhak mengangkat dan memberhentikan jabatan nazir karena alasan-alasan seperti yang terdapat dalam pasal di atas, tidak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh. Dalam kitab-kitab fiqh, para ulama tidak membatasi pada hakim (qāḍi) saja yang memiliki hak untuk mengangkat dan memberhentikan jabatan nazir. Nazir dapat saja berhenti menjadi pengelola wakaf dengan menyerahkannya pada siapa saja yang layak menjadi pemegang amanat wakaf tanpa harus ada campur tangan qādī.
Sejak ditetapkan KHI pada tahun 1991, belum pernah sekalipun mengalami evaluasi dan revisi terhadap isi KHI, karena tidak menutup kemungkinan beberapa pasal dalam KHI tidak lagi dapat diterapkan melihat semakin kompleksnya permasalahan hukum keluarga Islam yang muncul saat ini sehingga senantiasa dapat menjadi sumber dalam menyeleseaikan permasalahan-permasalahan yang muncul di era modern ini.
4) Bidang Ekonomi Syari’ah
Meskipun belum tercatat dalam KHI, bidang ekonomi syari’ah adalah termasuk pada perkembangan studi hukum Islam di Indonesia. Apalagi bidang ini menjadi perluasan kewenangan absolud Peradilan Agama Pasca UU No. 3 Tahun 2006. Pada kenyataan selama ini, Pengadilan Agama hanya berwenang menangani masalah-masalah hukum keluarga, sehingga ketika padanya diberikan kewenangan baru untuk menerima, memeriksa, dan memutus sengketa-sengketa di bidang ekonomi syari’ah, perlu dilakukan persiapan sumberdaya yang memadai serta sarana pendukung yang lain.
Pelaksanaan peran Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syari’ah yang diajukan kepadanya perlu kesiapan aspek penguasaan materi (substansi) hukumnya (petaturan perundang-undangan yang ada), aspek sumber daya manusia (meningkatkan pengetahuan dan keterampilan), dan aspek sarana dan prasarana.
Bidang ekonomi syari’ah terus mengalami perkembangan yang dinamis. Terlebih, aktivitas di bidang ekonomi syari’ah termasuk ke dalam lingkup kegiatan mu’amalah, dan karena hal itu merupakan urusan kemasyarakatan, maka kehadiran hukum diperlukan untuk mengatur berjalannya bidang ekonomi atau bisnis syari’ah supaya dapat berjalan efektif, efisien, sekaligus tetap berada dalam jalur yang sesuai dengan nilai-nilai Islam (Santoso, 2020).
Dalam sistem hukum Islam, hukum yang mengatur bidang mu’amalah juga bersumber dari beberapa sumber hukum, yaitu Al-Qur’an, Hadis, dan ijtihad. Ketiganya memiliki sifat yang berbeda. Al-Qur’an dan Hadis bersifat tetap, sedangkan ijtihad cenderung bersifat dinamis dan kontekstual (Z. Abdullah & Wijaya, 2019; Imratun & Santoso, 2021). Dengan melihat keadaan perkembangan bidang ekonomi syari’ah yang begitu cepat, maka sesuai dengan sifatnya, ijtihad tampak dapat memainkan peran yang penting dalam menyediakan landasan atau perangkat pemikiran bagi praktik di bidang ekonomi syari’ah tersebut. Sebagaimana disinggung dalam kajian Magaji Chiroma, dkk., bahwa ijtihad bisa menjadi instrumen yang mengklarifikasi, memodifikasi, dan mengharmonisasikan berbagai isu yang berkaitan dengan agama dan persoalan- persoalan kontemporer yang muncul di tengah-tengah masyarakat (Chiroma et al., 2014).
Ijtihad merupakan salah satu sumber hukum Islam yang pembentukannya dilatarbelakangi oleh perkembangan yang terjadi di masyarakat, di mana di dalamnya bermunculan persoalan-persoalan yang belum semuanya dijawab secara gamblang oleh ayat-ayat Al-Qur’an serta Hadis Rasulullah SAW. Untuk merespons keadaan tersebut, maka para ulama berupaya menciptakan produk hukum melalui usaha pemikiran yang sungguh-sungguh maupun melalui proses interpretasi (Kholiq, 2014). Secara sifat, dapat dikatakan bahwa ijtihad merupakan produk hukum yang dinamis dan kontekstual. Maksudnya adalah bahwa ijtihad itu keberadaannya selalu dimotivasi oleh tuntutan bahwa hukum harus mampu menjawab berbagai permasalahan yang muncul seiring dengan berkembangnya zaman serta berjalannya waktu (Z. Abdullah & Wijaya, 2019).
Aspirasi umat Islam mengenai masalah perekonomian yang didasari dari dorongan penerapan ajaran Islam dalam bidang ekonomi yang dilaksanakan sesuai dengan tuntutan syari’at Islam secara hukum dipayungi oleh Dewan Syari’ah Nasional yang dibentuk oleh MUI (Majlis Ulama Indonesia). Secara yuridis, DSN MUI mulai diakui keberadaannya dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari’ah, yaitu sebagai badan yang memberikan pengaturan produk dan operasional perbankan syari’ah sekaligus sebagai Dewan Pengawas Syari’ah (Z. Abdullah & Wijaya, 2019). Namun fatwa-fatwa hukum ekonomi syari’ah oleh DSN MUI secara struktur hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tidak bisa dianggap sebagai produk hukum yang mengikat, tidak memiliki sanksi dan tidak harus pula ditaati oleh seluruh warga Negara (Fariana, 2021).
Untuk mengatasi hal tersebut, yang perlu dilakukan adalah memperkuat kesiapan dari lembaga yudikatif di Indonesia, dalam hal ini terutama Pengadilan Agama, dalam merespons sengketa-sengketa bidang ekonomi syari’ah. Secara yuridis, Pengadilan Agama memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Hal itu, secara eksplisit, diatur dalam Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menegaskan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara- perkara, seperti perkara perkawinan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, serta sedekah, dan termasuk juga perkara ekonomi syari’ah (Uzma, 2014).
Hakim pada Pengadilan Agama dapat memproduksi ijithad sebagai sumber hukum dalam rangka menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang ekonomi syari’ah. Upaya seperti ini diharapkan dapat melahirkan produk yuridis yang lebih komprehensif dari para hakim di Pengadilan Agama, yaitu hadirnya yurisprudensi di bidang ekonomi syari’ah, yang mewakili eksistensi hukum negara, sekaligus menjadi bentuk konkret dari ijtihad, yang mewakili eksistensi hukum Islam.
SIMPULAN
Hukum keluarga menempati posisi sangat penting dalam hukum Islam, berkaitan dengan kontribusinya yang amat signifikan dalam upaya menciptakan kehidupan masyarakat yang tertib dan harmonis. Itulah sebabnya di banyak negara Islam atau yang mayoritas warganya beragama Islam utamanya Indonesia, bidang hukum keluarga senantiasa mendapatkan apresiasi tinggi yang dimanifestasikan dalam bentuk upaya berkelanjutan untuk legislasi hukum Islam menjadi hukum positif ke dalam produk perundang-udangan.
Pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia, adalah suatu keniscayaan. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan perubahan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan, pengaruh globalisasi ekonomi, pengaruh reformasi dalam berbagai bidang hukum, dan juga pengaruh pembaruan pemikiran Islam yang mengharuskan pintu ijtihad senantiasa terbuka untuk menemukan hukum baru terhadap persoalan baru dalam hukum keluarga.
Tujuan pembaruan hukum keluarga Islam yang dipraktikkan di Indonesia adalah untuk menjawab tantangan modernitas dalam bidang hukum keluarga, karena pemahaman konvensional yang mapan tentang berbagai ayat Al-Qur’an, hadis, dan kitab-kitab fiqh dianggap tidak mampu menjawab tantangan problem hukum keluarga yang muncul pada era modern.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
Arifin, Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Isani Press, 1996.
Ahmad, Amrullah SF dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Jakarta: GemaInsani Press, 1996.
Alimuddin, Kompilasi Hukum Islam Sebagai Hukum Terapan Bagi Hakim Pengadilan Agama, Makassar: Alauddin University Press, 2011.
Anderson, J.N.D., Islamic law in Moderen World, alih bahasa oleh Machnun Husain, dengan judul: Hukum Islam di Dunia Moderen, Cet.I; Surabaya: Amar Press, 1991
Al-Ẓāhir, Ibnu Ḥazm, al-Muḥalla, Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
Badra, Abūal-‘Ain, Ahkām al-Waṣāyāwa al-Hibah, Iskandariyah: Mu’assasah Shabbab alJāmiah, t.t.
Bisri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos, 1999.
Brown, L. Carl, Religion and State: The Muslim Approach to Politics, New York: Colombia University Press, 2000.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Donohue, John, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-masalah, Jakarta: Rajawali Press, 1995.
Djazuli, A., Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapannya, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Fanani, Ahmad Zaenal, Pmbaharuan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak di Indonesia (Prspektf Keadilan Jender), Yogyakarta: UII Press, 2015.
Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2006.
Mudzhar, M., Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam, Jurnal Studi Islam, 1, 1999.
Muhyiddin, dan Abdul Hamid, Muhammad, Ahkām al-Mawārith fi Sharā'at al-Islāmīyah ala Maẓāhib al-Arba'ah, t.tp: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t.
Miller, David H. Olson dan Brent C. (ed.), Family Studies: Review Yearbook; A General Framework for Family Impact Analysis, London/ Beverly Hills/ New Delhi: Sage Publiction, 1983.
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009.
---------------------------, Arah Pembangunan Hukum Keluarga: Pendekatan Integratif dan Interkonektif dalam Pembangunan Keluarga Sakinah, dalam As-Syir’ah: Jurnall Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 46 No. I, Januari-Juni 2012.
Noer, Deliar, Islam dan Politik; Mayoritas dan Minoritas?, Jakarta: Prima, 1998.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Cet. VI; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Rasito, dan Saiful Ibad, Respon KIAI Pesantren Terhadap Materi KHI di Indonesia (Studi Kasus di Kota Jambi), Kontekstualiata, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 21 No. 1 Juni 2006.
Saeed, Abdullah, Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Baitul Hikmah, 2014.
Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 2005.
Salah Sultan, Metodological Regulation for the fiqh of Muslim Minorities, dalam www. Salahsoltan. Com/main/index. Php?id.
Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Wahid, dan Moh. Muhibbin, Abdul, Hukum Kewarisan Islam: Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafita, 1994.
Zahrah, Abu, al-Ahwal al-Syakhsiyah, Mesir: Dar al-Fikri al-Arabi, 1957.
Arifin, Akbar Syamsul. 2016. Hafal 3000+ Kata Bahasa Arab: Meliputi Kata Kerja, Kata Benda, dan Kata Sifat Sehari-hari. Yogyakarta: Diva Press.
Burhanudin, Yusak. 2016. Pintar Berbahasa Arab: Madrasah Ibtidaiyah Kelas IV. Jakarta: Bumi Aksara.
Nurdianto, Talqis. 2018. Ilmu Nahwu Bahasa Arab. Sleman: Zahir Publishing.
Switri, Endang. 2022. Tata Bahasa Arab: Buku Pendampingan Belajar Bahasa Arab Untuk Pemula.Pasuruan: Qiara Media.
Wahyudi, Hendri Kusuma. 2021. Pintar Berbahasa Arab: Madrasah Aliyah Kelas XI. Jakarta: Bumi Aksara.
[1] Satjipto Rahardjo, “Pengadilan Agama sebagai Pengadilan Keluarga”, dalam Mimbar Hukum No. 10 thn. IV 1993, hal. 32.
[2] Ibid., hal. 34.
[3] Mohammad Daud Ali, Hukum Keluarga dalam Masyarakat Kontemporer, Makalah untuk Seminar Nasional: Pengadilan Agama sebagai Peradilan Keluarga dalam Masyarakat Modern, di Jakarta, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan Pusat Ikatan Hakim Peradilan Agama. Tahun 1993, hal. 1.
[4] L. Carl Brown, Religion and State: The Muslim Approach to Politics, New York: Colombia University Press, 2000.
[5] Salah Sultan, Metodological Regulation for the fiqh of Muslim Minorities, dalam www. Salahsoltan. Com/main/index. Php?id.
[6] Abdullah Saeed, Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Baitul Hikmah, 2014, hlm. 103.
[7] Khoiruddin Nasution, Arah Pembangunan Hukum Keluarga: Pendekatan Integratif dan Interkonektif dalam Pembangunan Keluarga Sakinah, dalam As-Syir’ah: Jurnall Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 46 No. I, Januari-Juni 2012, hlm. 84.
[8] David H. Olson dan Brent C. Miller (ed.), Family Studies: Review Yearbook; A General Framework for Family Impact Analysis, London/ Beverly Hills/ New Delhi: Sage Publiction, 1983, hlm. 31-32.
[9] Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, Jakarta: Bina Aksara, 1985, hlm. 5.
[10] Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Isani Press, 1996, hlm. 42- 44.
[11] Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, Mesir: Dar al-Fikri al-Arabi, 1957, hlm. 19.
[12] A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapannya, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 49-50.
[13] M. Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1997, hlm. 92.
[14] Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm. 53.
[15] Ibid, hlm. 145.
[16] Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 70.
[17] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 2005, hlm. 162-164.
[18] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009, hlm. 15-90
[19] Ahmad Zaenal Fanani, Pmbaharuan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak di Indonesia (Prspektf Keadilan Jender), Yogyakarta: UII Press, 2015, hlm. 1.
[20] M. Mudzhar, Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam, Jurnal Studi Islam, 1, 1999, hlm. 172.
[21] John Donohue, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-masalah. Jakarta: Rajawali Press, 1995, hlm. 365.
[22] M. Mudzhar, Dampak.., hlm. 173.
[23] Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, cet. ke-1, Yogyakarta: Tazzafa dan Accamedia, 2007, hlm 47.
[24] Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos, 1999, hlm. 17.
[25] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 154.
[26] J.N.D. Anderson, Islamic law in Moderen World, alih bahasa oleh Machnun Husain, dengan judul: Hukum Islam di Dunia Moderen, Cet.I; Surabaya: Amar Press, 1991, hlm. 42.
[27] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 343.
[28] Saiful Ibad dan Rasito, Respon KIAI Pesantren Terhadap Materi KHI di Indonesia (Studi Kasus di Kota Jambi), Kontekstualiata, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 21 No. 1 Juni 2006, hlm. 101
[29] Ibid, hlm. 103.
[30] Keputusan menaikkan batas usia minimum kawin bagi perempuan menjadi 19 tahun itu diambil Baleg DPR dalam rapat membahas peninjauan kembali UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kamis (12/09/2019). Sebelumnya, batas minimal usia perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun. Dari 10 fraksi di DPR, delapan fraksi setuju 19 tahun. Hanya fraksi PPP dan PKS yang meminta 18 tahun.
[31] Alimuddin, Kompilasi Hukum Islam Sebagai Hukum Terapan Bagi Hakim Pengadilan Agama, Makassar: Alauddin University Press, 2011, hlm. 75.
[32] Abdul Hamid, Muhammad Muhyiddin, Ahkām al-Mawārith fi Sharā'at al-Islāmīyah ala Maẓāhib al-Arba'ah, t.tp: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t, hlm. 37-49.
[33] Al-Ẓāhir, Ibnu Ḥazm, al-Muḥalla, Beirut: Dār al-Fikr, t.t, hlm. 278-286.
[34] Abūal-‘Ain Badran, Ahkām al-Waṣāyāwa al-Hibah, Iskandariyah: Mu’assasah Shabbab al-Jāmiah, t.t, hlm. 130.
[35] Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam: Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafita, 1994, hlm. 45.
Saran kami apabila akan digunakan untuk kepentigan karya ilmiah Anda, jadikan artikel ini sebagai referensi saja. Jangan sepenuhnya menyalin tanpa dipelajari terlebih dahulu. Lakukan beberapa perubahan di dalamnya seperti; perbaikan kekeliruan pada huruf, periksa kembali konten dan perbaiki apabila ada yang tidak sesuai dengan kaidahnya, sempurnakan konten pada karya Anda dengan menggabung beberapa sumber lain yang terkait.
Semoga bermanfaat dan menjadi berkah.