Ilmu Pendidikan Islam: Tanya Jawab Seputar Ilmu Pendidikan Islam Bagian ke-2
Beberapa pertanyaan beserta jawabannya mengenai ilmu pendidikan Islam. Simak dan tetaplah bersama situs web kami!
TANYA JAWAB
Yogi Triswandani
12/2/202311 min baca
Tanya:
Bagaimana startegi menyusun kurikulum pendidikan agama islam yang komprehensif?
Jawab:
Strategi dan langkah-langkah dalam pengembangan kurikulum, khususnya kurikulum Pendidikan Agama Islam (pada tahap perencanaan) menurut Tyler adalah sebagai berikut:
a. Menentukan tujuan
Dalam penyusunan suatu kurikulum, merumuskan tujuan merupakan langkah pertama dan utama, sebab tujuan merupakan arah atau sasaran pendidikan. Tyler menegaskan bahwa kejelasan tujuan yang akan dicapai lembaga pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dalam memberi arah seluruh aktivitas pengembangan kurikulum selanjutnya dan menjadi pijakan dalam memilih isi kurikulum, aktivitas belajar, dan prosedur pembelajaran.
Oleh karena itu dalam merumuskan tujuan ini perlu dilakukan. analisis kebutuhan dan disaring dengan mempertimbangkan berbagai aspek, yaitu aspek filosofis, sosiologis, psikologis, dan perkembangan ilmu pengetahuan.
b. Menentukan pengalaman belajar
Menentukan pengalaman belajar (learning experiences) adalah keseluruhan aktivitas dalam proses pembelajaran terkait interaksi dengan lingkungan belajar.
c. Pengorganisasian pengalaman belajar
Ada dua jenis pengorganisasian pengalaman belajar, yaitu:
a. Pengorganisasian secara vertikal, adalah menghubungkan pengalaman belajar dalam satu kajian yang sama dalam tingkat yang berbeda.
b. Pengorganisasian secara horizontal, adalah menghubungkan pengalaman belajar dalam bidang bahasa dan sejarah dalam tingkat yang sama.
d. Menentukan penilaian ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Evaluasi dibutuhkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah ditentukan benar-benar tercapai dan bagaimana kualitas pencapaiannya. Tujuan yang telah rumuskan di samping memberi arah dalam merencanakan pengalaman belajar dan isi, juga memberi arah dalam menentukan bentuk evaluasi. Ini berarti dalam ketiga wilayah tersebut, seharusnya terdapat sebuah keselarasan dan kecocokan antara satu dengan yang lain.
Referensi:
Tesis Iftitakhul Saidah “Strategi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di Perguruan Tinggi Islam Swasta”. Program Magister PAI Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2019.
Tanya:
Sebutkan dan jelaskan metode pembelajaran yang tepat untuk pendidikan Islam!
Jawab:
Ada beberapa metode pembelajaran yang telah menjadi tradisi di lingkungan institusi pendidikan Islam. Ragam variasi metode tersebut menunjukkan betapa agama Islam menaruh perhatian tinggi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Dan tentu saja, metode tersebut kiranya bisa diterapkan untuk pembelajaran yang tidak hanya fokus pada transfer ilmu, tetapi juga penanaman akhlakul karimah.
Adapaun ketepatan metode pembelajarannya, saya rasa itu merupakan hal yang relatif dan fleksibel, artinya satu atau beberapa metode mungkin tepat untuk situasi dan kondisi tertentu, namun belum tentu cocok untuk situasi dan kondisi yang lainnya. Berikut ini metode pembelajaran yang sering digunakan oleh lembaga pendidikan Islam pada umumnya:
1. Metode Qudwah
Mengajar dengan contoh/keteladanan adalah metode paling kuat dalam pembelajaran Islam. Ada ungkapan “tindakan lebih efektif daripada ucapan”. Bahasa perilaku (guru) lebih bermakna daripada bahasa lisan. Bahkan Nabi Muhammad juga dikenal dengan sebutan ‘uswatun hasanah’. Ini menandakan posisi guru begitu penting sebagai panutan baik di lingkungan sekolah dan masyarakat. Tingkah laku pendidik punya daya sentuh yang lebih besar bagi siswa daripada apa yang diceramahkan.
2. Metode Khitabah/Qoul
Berceramah masih menjadi metode yang efektif diterapkan dalam setiap suasana. Sebagaimana kita lihat para dai/kyai yang istiqomah menerapkan metode ini. Dengan kemampuan bahasa yang fasih dan komunikatif, metode ceramah akan membawa keberhasilan belajar apalagi jika dilengkapi dengan teknologi terkini/multimedia.
3. Metode Kitabah/Khat
Satu tingkat lebih tinggi dibanding berceramah adalah kitabah (menulis). Sejarah mencatat, Nabi Muhammad pernah membebaskan tawanan perang dan meminta mereka mengajar baca tulis kepada sahabat yang saat itu belum mampu. Begitu pentingnya aktivitas baca tulis. Metode menulis sendiri di lembaga-lembaga pendidikan Islam diterapkan dengan berbagai teknik, seperti imla’ (dekte) atau khat (kaligrafi).
4. Metode hiwar
Hiwar (dialog) bagus diterapkan untuk mengunggah ide kreatif siswa. Syaratnya, topik/materi yang dipelajari jelas batasannya dan memiliki kegunaan tinggi. Metode ini juga efektif untuk melatih siswa membaca peristiwa dan kejadian terbaru yang terjadi di lingkungan sekitar.
5. Metode as’ilah wa ajwibah
Banyak yang bilang di lingkungan lembaga pendidikan Islam/pondok pesantren kurang terbentuk iklim tanya jawab (as’ilah wa ajwibah). Santri (siswa) tidak punya keberanian berhadapan apalagi bertanya kepada ustadz. Padaha tidak demikian. Hubungan guru dan murid terjalin atas dasar tawadhu’. Sehingga proses tanya-jawab tidak bisa seenaknya.
6. Metode musyawarah
Berdiskusi dilakukan untuk memecahkan masalah. Dalam pembelajaran, diskusi berarti menemukan solusi atas suatu permasalahan yang diberikan guru berkenaan dengan topik yang sedang dibahas. Ada banyak manfaat berdiskusi. Selain merangsang daya kreativitas siswa, berdiskusi juga membantu siswa yang punya kelemahan belajar di saat ia bekerjasama dengan teman yang lebih mampu.
7. Metode mujadalah/bahtsul masail
Bahtsul masail telah menjadi tradisi di lingkungan pesantren. Inilah salah satu metode menemukan solusi/dasar hukum dari setiap persoalan kontemporer. Melalui debat/brainstorming dengan referensi kitab/buku karya ulama klasik, ketajaman berpikir dan kerangka logika dibangun. Tak salah saat ini bermunculan cendekia-cendekia dengan latar belakang pesantren.
8. Metode Tafakkur-tadzakkur
Refleksi-kontemplasi di lembaga pendidikan Islam dilakukan dengan mengambil satu topik khusus untuk ditemukan solusinya dengan mempertimbangkan dua hal: wahyu (dalil naqli) dan pemikiran/penelitian. Meskipun metode ini merupakan tradisi para sufi dan filsuf Islam terdahulu, tidak ada salahnya dicoba untuk siswa pendidikan dasar sekalipun. Tentu saja harus menyesuaikan usia dan kemampuan berpikirnya.
9. Metode Muhasabah an-nafs
Muhasabah an-nafs atau introspeksi diri dilakukan sebagai bentuk rasa cinta terhadap diri sendiri sekaligus ungkapan syukur kepada Tuhan atas ilmu yang telah diberikan. Jika dicermati, inilah metode yang jarang dilakukan guru sehingga berdampak pada kurangnya pengenalan siswa terhadap potensinya masing-masing. Muhasabah bisa dilakukan tiap akhir pekan atau akhir semester, untuk mengukur keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan.
10. Metode Qishah
Anak usia dini biasanya sangat suka jika guru bercerita. Metode bercerita sangat tepat untuk menjelaskan kisah para tokoh muslim atau peristiwa sejarah lainnya. Namun, perhatikan target yang ingin dicapai. Metode qishah disebut berhasil manakala siswa mampu mengambil ibrah (pelajaran) yang baik yang bisa dijadikan contoh untuk diikuti.
11. Metode tathbiq
Di pendidikan umum lebih dikenal dengan metode demontrasi. Tujuan menggunakan metode ini agar teori yang dipelajari bisa dialami langsung dan diaplikasikan sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memahami suatu materi ajar.
12. Metode Tadabbur Alam
Karyawisata atau studi wisata sangat penting untuk menghadirkan suasana menyenangkan dalam belajar. Dengan metode ini, kesan jenuh dan monoton dalam belajar di kelas akan menghilang karena siswa belajar di tempat yang tidak biasanya.
13. Metode Mumarasat
Latihan secara berkelanjutan (drill) sering dipakai untuk siswa ketika hendak mengikuti tes/ujian akhir. Selain itu, metode ini sangat efektif untuk melatih keterampilan bahasa asing (Arab, Inggris, dan lain-lain). Saat ini banyak lembaga pendidikan Islam yang berhasil menciptakan lingkungan bahasa (bi’ah lughawiyah), dimana bahasa asing dijadikan sebagai bahasa ibu dan alat komunikasi sehari-hari.
Referensi: https://mtsisba-lempuing.sch.id/read/4/metode-pembelajaran-dalam-islam
Tanya:
Sebutkan dan jelaskan bentuk evaluasi yang tepat untuk pendidikan Islam!
Jawab:
Sama halnya seperti metode pembelajaran, ketepatan bentuk evaluasi juga saya rasa itu merupakan hal yang relatif dan fleksibel, artinya satu atau beberapa bentuk evaluasi mungkin tepat untuk situasi dan kondisi tertentu, namun belum tentu cocok untuk situasi dan kondisi yang lainnya. Adapun beberapa jenis dan bentuk evaluasi yang dapat diterapkan dalam pendidikan Islam diantaranya adalah:
1. Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif yaitu penilaian untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh para peserta didik setelah menyelesaikan satuan program pembelajaran (kompetensi dasar) pada mata pelajaran tertentu. Jenis ini diterapkan berdasarkan asumsi bahwa manusia memiliki banyak kelemahan seperti tercantum dalam QS. An-Nisa: 28 “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah”. Dan pada mulanya tidak mengetahui apa-apa, tercantum dalam QS. An-Nahl: 78, sehingga pengetahuan, keterampilan, dan sikap itu tidak dibiasakan. “dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.
Untuk itu Allah Swt menganjurkan agar manusia berkonsentrasi pada suatu informasi yang didalami sampai tuntas, mulai proses pencarian (belajar mengajar), sampai pada tahap pengevaluasian. Setelah informasi itu dikuasai dengan sempurna, ia dapat beralih pada informasi yang lain, tercantum dalam QS. Al-Insyirah: 7-8 “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”.
Pada bentuk evaluasi formatif, aspek yang dinilai terletak pada penilaian normatif, yaitu hasil kemajuan belajar peserta didik yang meliputi: pengetahuan, keterampilan dan sikap terhadap materi ajar PAI yang disajikan. Sehingga memiliki fungsi, yaitu untuk memperbaiki proses pembelajaran ke arah yang lebih baik dan efisien atau memperbaiki satuan/rencana pembelajaran. Dan Tujuan, yaitu untuk mengetahui penguasaan peserta didik tentang materi yang diajarkan dalam satu satuan/rencana pembelajaran.
2. Evaluasi Sumatif
Evaluasi sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan terhadap hasil belajar peserta didik setelah mengikuti pelajaran dalam satu semester dan akhir tahun untuk menentukan jenjang berikutnya, seperti tercantum dalam QS. Al-Insyiqaq: 19 “(Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan))”, QS. Al-Qamar: 49 (“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”)
Pada jenis evaluasi sumatif aspek yang dinilai berupa kemajuan hasil belajar yang meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap dan penguasaan peserta didik tentang mata pelajaran yang diberikan. Sehingga memiliki fungsi, yaitu untuk mengetahui angka atau nilai peserta didik setelah mengikuti program pembelajaran dalam satu catur wulan, semester, atau akhir tahun. Dan tujuan yaitu untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik setelah mengikuti program pembelajaran dalam satu catur wulan, semester, atau akhir tahun di setiap mata pelajaran (PAI) pada satu satuan pendidikan tertentu.
3. Evaluasi penempatan (placement)
Evaluasi penempatan yaitu evaluasi tentang peserta didik untuk kepentingan penempatan di dalam situasi belajar yang sesuai dengan kondisi peserta didik. Jenis evaluasi ini memiliki fungsi, yaitu untuk mengetahui keadaan peserta didik termasuk keadaan seluruh pribadinya, sehingga peserta didik tersebut dapat ditempatkan pada posisi sesuai dengan potensi dan kapasitas dirinya. Dengan tujuan, yaitu untuk menempatkan peserta didik pada tempat yang sebenarnya, berdasarkan bakat, minat, kemampuan, kesanggupan, serta keadaan diri peserta didik sehingga peserta didik tidak mengalami hambatan yang berarti dalam mengikuti pelajaran atau setiap program bahan yang disajikan guru. Adapun aspek yang dinilai dalam evaluasi ini meliputi keadaan fisik, bakat, kemampuan, pengetahuan, pengalaman keterampilan, sikap dan aspek lain yang dianggap perlu bagi kepentingan pendidikan peserta didik selanjutnya.
4. Evaluasi Diagnostik
Avaluasi diagnostik yaitu evaluasi yang dilakukan terhadap hasil penganalisaan tentang keadaan belajar peserta didik, baik merupakan kesulitan-kesulitan maupun hambatan-hambatan yang ditemui dalam situasi belajar mengajar. Jenis evaluasi ini berfungsi untuk mengetahui masalah-masalah yang diderita atau mengganggu peserta didik, yang menyebabkan peserta didik mengalani kesulitan, hambatan, atau gangguan ketika mengikuti program pembelajaran dalam satu mata pelajaran tertentu (PAI). Sehingga kesulitan peserta didik tersebut dapat diusahakan pemecahannya. Sehingga memiliki tujuan, yaitu untuk membantu kesulitan atau mengetahui hambatan yang dialami peserta didik waktu mengikuti kegiatan pembelajaran pada satu mata pelajaran tertentu (PAI) atau keseluruhan program pembelajaran. Adapun Aspek-aspek yang dinilai, meliputi hasil belajar, latar belakang kehidupannya, serta semua aspek yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran.
Referensi: https://ratihmethapermatasari.wordpress.com/evaluasi-pendidikan-islam/
Tanya:
Undang-undang pesantren dan madrasah, merupakan angin segar untuk pendidikan Islam di Indonesia. Apa saja manfaat dari undang-undang tersebut!
Jawab:
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 (UU/18/2019) Tentang Pesantren disahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 15 Oktober 2019 dan berlaku sejak diundangkan pada tanggal 16 Oktober 2019. Di beberapa daerah, sosialisasi UU/18/2019 sedang berlangsung, beberapa pesantren mulai melakukan persiapan atau penyesuaian dan diantaranya telah siap menerapkan undang-undang ini. Sementara itu, di sebagian daerah lainnya memperdebatkan soal penting, manfaat atau tidaknya UU/18/2019 bagi pesantren.
Berlakunya UU/18/2019, di awal disambut gembira dan sekaligus khawatir. Gembira, karena diikuti wacana alokasi pendanaan untuk pesantren. Selain hibah, berpeluang dapat alokasi dana rutin dari APBN/D atau bakal mendapatkan “dana abadi pesantren” yang bersumber dan merupakan bagian dari “dana abadi pendidikan”. Khawatir, karena dipandang sebagai cara intervensi pemerintah. Baik intervensi pada pengelolaan sistem pendidikan maupun pendanaan.Sistem pendidikan yang khas dan unik, berkurang kekhasan dan keunikannya. Dengan kata lain, pesantren tidak merdeka lagi. Kurikulum diatur-atur menurut versi pemerintah. Selain itu muncul anggapan UU/18/2019 politis belaka.
Keberadaan UU/18/201 dinilai penting. Wujud peran negara dalam hal memberi rekognisi (penghargaan/pengakuan), afirmasi (penegasan/peneguhan), fasilitasi (mempermudah), dan payung hukum tersendiri bagi pesantren. Sebelumnya dipahami oleh sebagian kalangan pesantren bahwa UU/18/2019 itu dapat digunakan untuk mendirikan dan menyelenggarakan pendidikan formal pada umumnya yang diselenggarakan pesantren.
Pesantren-pesantren yang memiliki madrasah (MI, MTs, MA), sekolah (SD, SMP, SMA, SMK), dan perguruan tinggi (Sekolah Tinggi Agama dan Universitas) ijin operasional pendidikannya tetap mewajibkan pesantren (Yayasan) yang menaunginya memiliki izin berusaha. Izin berusaha, dibuktikan dengan memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) yang diterbitkan lembaga Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS). Yayasan yang tidak memiliki NIB, tidak bisa mengajukan izin operasional pendidikannya. Pendidikan termasuk bidang usaha yang wajib memiliki NIB.
Referensi:
https://timesindonesia.co.id/kopi-times/436885/ada-apa-dengan-undangundang-pesantren-1
Tanya:
Apa yang disebut dengan lingkungan pendidikan, siapa saja didalamnya, jelaskan!
Jawab:
Lingkungan pendidikan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia, baik berupa benda mati, makhluk hidup, ataupun peristiwa-peristiwa yang terjadi, termasuk kondisi masyarakat terutama yang dapat memberikan pengaruh kuat kepada individu.
Menurut Hasbullah (2003), lingkungan pendidikan mencakup:
1) Tempat (lingkungan fisik), keadaan iklim, keadaan tanah, keadaan alam;
2) Kebudayaan (lingkungan budaya) dengan warisan budaya tertentu seperti bahasa seni ekonomi, ilmu pengetahuan, pedagang hidup dan pedagang keagamaan; dan
3) Kelompok hidup bersama (lingkungan sosial atau masyarakat) keluarga, kelompok bermain, desa perkumpulan dan lainnya.
Lingkungan pendidikan adalah tempat seseorang memperoleh pendidikan secara langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu, lingkungan pendidikan ada yang bersifat sosial dan material. Lingkungan pendidikan secara garis besarnya oleh Ki Hajar Dewantoro dibagi menjadi tiga yang disebut dengan Tri Pusat Pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Hal itu sejalan dengan yang dinyatakan oleh Langeveld bahwa yang bertanggung jawab dalam pendidikan adalah keluarga, sekolah, dan masyarakat (Tirtahardjha,2004).
1. Pendidikan dalam Lingkungan Keluarga (Lingkungan Pendidikan Informal)
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi anak yang memberikan sumbangan bagi perkembangan dan pertumbuhan mental maupun fisik dalam kehidupannya. Melalui interaksi dalam keluarga, anak tidak hanya mengidentifikasi diri dengan orang tuanya, melaikan juga mengidentifikasikan (mensatupadukan) diri dengan kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya. Pendidikan dalam lingkungan keluarga dimulai sejak anak lahir ke dunia dari kandungan ibunya, dan berhenti apabila sang anak meninggalkan keluarga asal untuk mendirikan keluarga baru.
Keluarga sebagai lembaga pendidikan mempunyai peranan penting dalam membentuk generasi muda. Keluarga disebut pula sebagai lembaga pendidikan informal. Pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang tidak diorganisasikan sacara struktural dan tidak mengenal sama sekali penjenjangan kronologis menurut tingkatan umum maupun tingkatan keterampilan dan pengetahuan. Persyaratan credential tidak dipakai, oleh karena itu tidak ada credential yang dihakkan oleh penerima maupun yang diwajibkan dari pemberi pendidikan. (Azra,1998). Keluarga secara umum merupakan suatu lembaga yang terdiri atas suami istri dan anak-anaknya yang belum menikah, hidup dalam sebuah kesatuan kelompok berdasarkan ikatan tertentu.
Secara etimologi, menurut Ki Hajar Dewantoro (Abu Ahmadi, Nur Uhbiyati.1991), kata keluarga berasal dari kata kawula dan warga. Kawula berarti “Abdi”, yakni hamba, dan Warga berarti “anggota”. Secara abdi dalam keluarga wajiblah seseorang menyerahkan segala kepentingan-kepentingannya kepada keluarga.
Apabila ditinjau dari sosiologi, keluarga merupakan bentuk masyarakat kecil yang terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh suatu keturunan yakni kesatuan anatar ayah-ibu-anak, merupakan kesatuan terkecil dari bentuk kesatuan masyarakat.
Ditinjau dari sudut pandang pedagogis, ciri khas suatu lembaga adalah bahwa keluarga itu adalah merupakan suatu persekutuan hidup yang dijalani rasa kasih sayang diantara dua jenis manusia, yang bermaksud untuk saling meyempurnakan diri, terkandung juga kedudukan dan fungsi sebagai orang tua. Jadi dapat disimpulkan bahwa suatu keluarga dapat dikatakan keluarga lengkap apabila keluarga tersebut terdiri atas ayah, ibu, dan anak.
Dari ketiga pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga tercipta karena adanya ikatan antara ayah,ibu dan anak sehingga terjalin rasa kasih sayang.
2. Lingkungan Pendidikan Sekolah (Lingkungan Pendidikan Formal)
Sekolah memegang peranan penting dalam pendidikan karena pengaruhnya besar sekali pada jiwa anak. Karena itu disamping keluarga sebagai pusat pendidikan, sekolahpun mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan untuk pembentukan kepribadian anak. Karena sekolah tersebut sengaja disedikan khusus untuk pendidikan yang sekaligus berfungsi melanjutkan pendidikan keluarga dengan guru sebagai ganti orang tua yang harus ditaati.
Pendidikan disekolah, biasanya disebut sebagai pendidikan formal karena ia adalah pendidikan yang mempunyai dasar, tujuan, isi, metode, alat-alatnya disusun secara eksplisit, sistematis dan distandarisasikan (Azra,1998).
Penjabaran fungsi sekolah memberikan pendidikan formal, terlihat pada institusional, yaitu tujuan kelembagaan pada masing-masing jenis dan tingkatan sekolah. Di Indonesia lembaga pendidikan formal pra sekolah, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah mengengah atas yang terdiri dari sekolah menengah umum dan kejuruan, serta perguruan tinggi dengan aneka ragam bidangnya. Tujuan institusional untuk masing-masing tingkat atau jenis pendidikan, pencapaiannya ditopang oleh tujuan-tujuan kurikuler dan tujuan instruksional.
Sekolah hendaknya memberikan pendidikan keagamaan, akhlak sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Pendidikan agama yang diajarkan jangan bertentangan dengan pendidikan agama yang telah diberikan keluarga. Karena si anak akan mengahadapi pertentangan-pertentangan nilai-nilai, sehingga mereka akan bingung dan kehilangan kepercayaan.
Sekolah, yaitu pendidikan skunder yang mendidik anak mulai dari usia masuk sekolah sampai keluar sekolah dengan pendidiknya (guru) yang mempunyai kompotensi yang profesional, personal, sosial dan pedagogis. Mengacu pada Sistem sekolah sebagai pendidikan formal dirancang sedemikian rupa agar lebih efektif dan lebih efesien, yaitu bersifat klasikal dan berjenjang. Sistem klasikal memungkinkan beberapa sejumlah anak belajar bersama dan dipinpin oleh seorang atau beberapa guru sebagai fasilitator. Sebagi konsekuensinya mereka menerima materi yang sama. Untuk itu, pada suatu kelas biasa murid-muridnya mempunyai kemampuan yang relatif sama dari kelompok umur yang hampir sama pula.
3. Lingkungan Masyarakat (lingkungan Pendidikan Nonformal)
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa pendidikan berlangsung dalam tiga lingkungan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Masyarakat mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling ketergantungan dan terikat oleh nilai dan norma yang dipatuhi bersama. Masyarakat sebagai kesatuan hidup memiliki ciri seperti yang dikemukakan oleh Tirtarahadja dan La Sulo (2000), yaitu antara lain:
a. Ada interaksi warga-warganya.
b. Pola tingkah laku warganya di atur oleh adat istiadat, norma-norma hukum dan aturan-aturan yang berlaku.
c. Ada rasa identitas yang kuat yang mengikat pada warganya. Kesatuan wilayah, kesatuan adat istiadat, rasa identitas, dan rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal dari perasaan bangsa sebagai patriotisme, jiwa korps, dan kesetiakawanan dan lain-lain.
Selanjurnya kaitan masyarakat dengan pendidikan menurut Tirtarahadja dan La Sulo (2000), dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu:
a. Masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan, baik yang dikembangkan maupun yang tidak dikembangkan.
b. Lembaga-lembaga kemasyarakatan baik langsung maupun tidak langsung, ikut mempunyai peran dan fungsi pendidikan.
c. Dalam masyarakat tersedia berbagai sumber belajar, baik yang dirancang maupun yang dimanfaatkan. Perlu pula diingat bahwa manusia dalam bekerja dan hidup sehari-hari akan selalu memperoleh manfaat dan pengalaman hidupnya untuk meningkatkan dirinya. Dengan kata lain manusia berusaha mendidik dirinya sendiri dengan memanfaatkan sumber-sumber belajar yang tersedia di masyarakatnya dalam bekerja, bergaul dan sebagainya.
Di lingkungan masyarakat, setiap orang akan memperoleh pengalaman tentang berbagai hal, misalnya tentang lingkungan alam, tentang hubungan sosial, politik kebudayaan dan sebagainya. Di dalam lingkungan masyarakat setiap orang akan memperoleh pengaruh yang sifatnya mendidik dari oarng-orang yang ada disekitarnya, baik dari teman sebaya maupun orang dewasa melalui interaksi sosial secara langsung atau tatap muka. Pengaruh pendidikan tersebut dapat pula diperoleh melaui interaksi sosial secara tidak langsung.
Referensi: https://www.rijal09.com/2016/03/lingkungan-pendidikan.html
Jawaban di atas bukan hasil kecerdasan buatan, melainkan murni hasil pencarian manual dari berbagai sumber tertera atau di platform digital. Benar atau tidaknya, diluar tanggungjawab penulis. Saran kami, jadikan artikel ini sebagai referensi saja. Jangan sepenuhnya menyalin tanpa dipelajari terlebih dahulu. Lakukan beberapa perubahan di dalamnya seperti; perbaikan kekeliruan pada huruf, periksa kembali konten dan perbaiki apabila ada yang tidak sesuai dengan kaidahnya, sempurnakan konten pada karya Anda dengan menggabung beberapa sumber lain yang terkait.
Semoga bermanfaat dan menjadi berkah.