Ilmu Hadits: Tanya Jawab Seputar Ilmu-ilmu Hadits
Beberapa pertanyaan beserta jawabannya mengenai berbagai hal tentang ilmu hadits. Simak dan tetaplah bersama situs web kami!
TANYA JAWAB
Yogi Triswandani
11/5/202312 min baca
Tanya:
Jelaskan perbedaan Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar!!
Jawab:
Perbedaan Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar.
Hadits. Secara bahasa, hadits artinya sesuatu yang baru, dekat, atau singkat. Mengutip buku Pengantar Studi Ilmu Hadits karya Syaikh Manna al-Qaththan, hadits juga bisa berarti sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain. Hadits mencakup semua hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun pengakuan.
Sunnah. Sedangkan sunnah adalah segala yang bersumber dari Rasulullah, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, maupun perjalanan hidupnya, dari sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya. Sunnah lebih luas dari hadis, karena meliputi segala yang datang dari Nabi Muhammad SAW, baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Namun di sisi lain, para fuqaha menetapkan sunnah hanya pada dalil yang berkaitan dengan penetapan hukum syara’ saja, sehingga dalam hal ini, jumlah sunnah lebih sedikit daripada jumlah hadits. Mereka menempatkan sunnah pada posisi kedua dalam urutan sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an.
Khabar. Berbeda dengan hadits dan sunnah, khabar justru bisa datang dari selain Nabi Muhammad SAW. Merujuk pada buku Al-Qur'an Hadits Madrasah Aliyah Kelas X, khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi SAW atau selainnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa khabar itu dikhususkan untuk segala sesuatu yang datang atau berasal dari selain Nabi SAW. Contohnya perkataan Ali bin Abi Thalib berikut:
“Termasuk sunnah, ialah meletakkan tangan di bawah pusar sewaktu melakukan shalat” ( HR. Abu Dawud).
Atsar. Sumber hukum lain yang datangnya dari Rasulullah adalah atsar. Secara bahasa, atsar artinya bekasan sesuatu atau sisa sesuatu. Sedangkan secara isitilah, atsar mempunyai pengertian yang sama dengan khabar dan hadits. Di sisi lain, para fuqaha memakai istilah atsar sebagai sebutan untuk perkataan para ulama salaf, sahabat, tabi’in dan lain-lain. Contohnya perkataan Ubaidillah Ibn Abdillah ibn Uthbah ibn Mas’ud berikut :
"Menurut sunnah, hendaklah imam bertakbir pada Hari Raya Fitri dan Hari Raya Adha sebanyak sembilan kali ketika duduk di atas mimbar sebelum berkhuthbah" ( HR Baihaqi).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan hadits, sunnah, khabar, dan atsar hanya terletak pada isi dalil dan orang yang menukilkannya saja. Hadits mencakup seluruh perkataan, perbuatan, dan taqrir Rasulullah. Sedangkan sunnah menitikberatkan fokusnya pada kebiasaan normatif beliau, baik sesudah diangkat menjadi Rasul ataupun sebelumnya. Khabar, selain dinisbahkan kepada Nabi Muhammad juga bisa dinisbahkan kepada sahabat dan tabiin. Sedangkan atsar lebih sering dinisbatkan pada perkataan sahabat Nabi Muhammad SAW. Definisi singkatnya tertera pada tabel berikut ini:
Referensi:
https://www.nasehatquran.com/2023/11/pengertian-hadits.html
Tanya:
Tulislah contoh Teks Hadis, Sunnah, Khabar dan Atsar!
Jawab:
Hadits
عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ (رواه مسلم)
Sunnah
اَلنِّكَاحُ سُنَّتِيْ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ (رواه ابن ماجه من رواية عائشة)
Khabar
روى عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم انه قَالَ : خَصْلَتَانِ لَا شَيْءَ اَفْضَلُ مِنْهُمَا اَلْإِيْمَانُ بِاللهِ وَالنَّفْعُ لِلْمُسْلِمِيْنَ
Atsar
قال عبد الله بن مسعود - رضي الله عنه -: اَلْإِقْتِصَادُ فِي السُّنّةِ خيرٌ مِنَ الْإِجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ
Referensi:
Kitab “Nashoihul Ibad” bab 2 makolah 1.
https://www.nasehatquran.com/2023/11/pengertian-hadits.html
Tanya:
Jelaskan kehujjahan Hadis sebagai sumber hukum Islam!
Jawab:
Hadis merupakan salah satu sumber hukum Islam yang sangat penting dalam menjelaskan dan menjabarkan hal-hal selain yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an, serta menjadi hujjah/argument dalam menentukan dan menetapkan Hukum Islam. Tantangan terbesar dalam kajian hadis adalah menampik isu-isu yang diberikan para orientalis yang mengkritik akan eksistensi dari hadis tersebut. Hadis dianggap tidak bisa dipercayai secara keseluruhannya sebagai sumber ajaran dan perilaku Nabi sendiri. Akan tetapi eksistensi hadits tetap menjadi kuat dengan adanya pemikir-pemikir Islam yang menampik tuduhan dari para orientalis tersebut. Hadits dalam kehujjahannya sebagai sumber hukum Islam sangatlah kuat, dan menempati posisi kedua dari Al-Qur’an. Hal ini tidak lain karena kedudukan hadits sangatlah penting dalam istinbat Hukum Islam, juga karena memang untuk penjabaran Al-Qur’an terkadang perlu penjelasan hadits. Oleh karena itu hadits dalam kedudukan dan fungsinya sebagai hujjah atas sumber hukum Islam sangatlah penting.
Referensi:
Tanya:
Jelaskan bagaimana perkembangan Hadis pada masa Rasulullah SAW?
Jawab:
Hadis yang merupakan sumber kedua ajaran Islam setelah Alquran, melalui beberapa proses perkembangan. Ada beberapa tahap yang berkaiatan dengan diseminasi hadis. Periode pertama adalah masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya. Pada masa ini, Nabi Muhammad SAW hidup di tengah masyarakat.
Ketika itu Nabi Muhammad SAW memerintahkan sahabatnya menuliskan setiap wahyu yang turun. Secara bersamaan, ia melarang menulis hadis. Tujuannya agar semua potensi diarahkan pada Alquran. Namun, keinginan para sahabat mencatat hadis tak bisa dibendung. Hal ini disebutkan oleh Anas bin Malik: "Ketika kami berada di sisi Nabi, kami simak hadisnya dan ketika bubar, kami mendiskusikan hadis tersebut hingga kami menghafalnya."
Kala itu, hadis diterima para sahabat ada yang secara langsung, yaitu melalui majelis pengajian serta karena respons terhadap perilaku umat yang membutuhkan penjelasan. Ada juga hadis yang diterima secara tidak langsung. Biasanya hal itu diakibatkan oleh beberapa hal seperti kesibukan yang dialami sahabat, tempat tinggal sahabat yang jauh, atau perasaan malu untuk bertanya langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Contoh dari hal ini adalah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Aisyah. Hadis itu berisi tentang jawaban pertanyaan seorang perempuan mengenai bagaimana membersihkan diri dari haid.
Referensi:
https://iqra.republika.co.id/berita/ppg0ce458/tujuh-periode-persebaran-hadis-nabi-saw
Tanya:
Sebutkan ruang lingkup dan cabang-cabang ilmu hadits?
Jawab:
Ruang Lingkup ilmu Hadis
Ilmu Hadis merupakan sebuah disiplin ilmu yang di dalamnya mempelajari tentang semua hal ihwal mengenai Hadis, seperti sumber Hadis, kualitas Hadis baik dari segi sanad dan matannya, termasuk di dalamnya mengenai Ilmu Hadis Dirayah (Ilmu Musthalah Hadis) dan Ilmu Hadis Riwayah.
Berdasarkan uraian tersebut maka terdapat perbedaan antara Ruang Lingkup pembahasan Hadis dan ilmu Hadis. Ruang lingkup pembahasan Hadis mencakup pengertian Hadis dan empat unsur utama periwayatannya yaitu adanya Rawi (yang meriwayatkan Hadis), Sanad atau Thariq (jalan yang menghubungkan matan Hadis kepada Nabi Muhammad SAW), Matan (materi berita yaitu teks Hadis baik berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan Rasul SAW), dan Rijalul Hadis (tokoh-tokoh terkemuka periwayat Hadis yang diakui keabsahannya dalam bidang Hadis). Penelaahan mengenai aspek-aspek dari materi isi kandungan Hadis juga dikaji dalam ilmu ini. Adapun ruang lingkup pembahasan ilmu Hadis atau ilmu musthalah Hadis meliputi ilmu Hadis riwayah dan ilmu Hadis dirayah.
Cabang-cabang ilmu Hadis:
· Ilmu Jarh wa at-ta’dil
· Ilmu Rijal al-Hadis
· Ilmu Mukhtalaf al-Hadis
· Ilmu Gharibul Hadis
· Ilmu ‘Ilalul Hadis
· Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis
· Ilmu Asbab Wurud al-Hadis
· Ilmu at-Thasif wa at-Tahrif
Referensi: Bahan Ajar Ilmu Hadits Pertemuan 5 PJJ PAI IAIN SSN Cirebon
Tanya:
Uraikan sejarah dan perkembangan ilmu Jarh wa ta’dil!
Jawab:
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah penjarh-an (penilaian buruk) dan penta’dilan (penilaian baik) terhadap para perawi. Ilmu al-jarh wa al-ta’dil sangat penting untuk mengetahui kualitas perawi hadis yang bisa berefek kepada kualitas hadis.
Sejarah dan perkembangan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil
Pada masa Rasulullah, beliau pernah memuji dan “mencela” sahabatnya demi kemaslahatan umum. Tertera dalam hadis نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ, sebaik-baik seorang lelaki adalah Abdullah bin Umar jika dia salat sunnah malam hari. Hadis tersebut tercantum panjang dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, merupakan pujian kepada Abdullah bin Umar jika dia salat malam. Menunjukkan penta’dilan Nabi kepada Abdullah bin Umar. Adapun sabda Nabi tentang penjarh-an kepada seorang sahabat yaitu
عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَجُلًا اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا رَآهُ قَالَ: «بِئْسَ أَخُو العَشِيرَةِ، وَبِئْسَ ابْنُ العَشِيرَةِ» فَلَمَّا جَلَسَ تَطَلَّقَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَجْهِهِ وَانْبَسَطَ إِلَيْهِ، فَلَمَّا انْطَلَقَ الرَّجُلُ قَالَتْ لَهُ عَائِشَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، حِينَ رَأَيْتَ الرَّجُلَ قُلْتَ لَهُ كَذَا وَكَذَا، ثُمَّ تَطَلَّقْتَ فِي وَجْهِهِ وَانْبَسَطْتَ إِلَيْهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا عَائِشَةُ، مَتَى عَهِدْتِنِي فَحَّاشًا، إِنَّ شَرَّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ القِيَامَةِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ شَرِّهِ
Secara ilmu formal, pada masa Nabi dan sahabat belum ada ilmu al-jarh wa al-ta’dil, namun secara praktik ada tapi sangat sedikit. Di antara sahabat yang pernah membicarakan al-jarh wa al-ta’dil adalah Sayyidah Aisyah, Abdullah bin Abbas, ‘Ubadah bin al-Shamit, dan Anas bin Malik.
al-Jarh wa al-Ta’dil pada Masa Tabiin Senior
Pada masa tabiin senior (kibar al-tabi’in), terdapat perawi yang ada kesalahan fatal dan tuduhan dusta, dan ada juga perawi yang lemah karena faktor pergulatan mazhab dan sekte, tetapi tidak ada perawi yang sengaja memalsukan atau berbohong terhadap hadis Nabi. Di antara tabiin senior yang membicarakan al-jarh wa al-ta’dil adalah al-Sya’bi, Sa’id bin Musayyib, dan Muhammad bin Sirin.
al-Jarh wa al-Ta’dil pada Masa Tabiin Pertengahan
Berlanjut pada masa tabiin pertengahan pada masa awal abad kedua hijriah, terdapat perawi yang lemah, memarfu‘kan hadis mauquf, memauqufkan hadis marfu‘, riwayat mursal, dan perawi yang bnyak salah dalam meriwayatkan hadis seperti Abu Harun ‘Umarah bin Juwain al-‘Abdi.
al-Jarh wa al-Ta’dil pada Masa Tabiin Junior dan Setelahnya
Berkembang pada masa tabiin junior pada pertengahan abad kedua hijriah, sangat gencar sekte politik, unsur filsafat, dan fatanisme, sehingga muncul kedustaan, lebih-lebih membuat-buat atau membohongi hadis untuk kepetingan pribadi atau sektenya. Oleh karena itu, ulama pada masa ini membahas al-jarh wa al-ta’dil pada perawi sekaligus memperluas pembahasannya. Setelah masa tabiin pertengahan, pada masa atba’ al-tabi’in terjadi banyak perawi yang sengaja mendustakan bahkan membuat-buat hadis. Ulama yang membahas al-jarh wa al-ta’dil pada masa ini adalah Imam Syu’bah, Imam Malik bin Anas, Ma’mar, Hisyam al-Dustuwai, Abdullah bin al-Mubarak, Husyaim, Sufyan bin Uyainah. Setelah mereka, ada Yahya bin Said al-Qaththan, Abdurrahman bin Mahdi, Yahya bin Ma’in, Ali bin al-Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Muslim, Abu Zur’ah, Abu Hatim, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i.
Membicarakan kebaikan dan keburukan perawi hadis bukanlah gibah, tetapi semata-mata untuk menjaga keorisinal-an hadis Nabi yang merupakan sumber hukum kedua dalam Islam.
Referensi: https://majalahnabawi.com/sejarah-al-jarh-wa-al-tadil/
Tanya:
Apa saja fungsi hadist terhadap Al-Qur’an?
Jawab:
Fungsi utama Hadis adalah sebagai penjelas atas al-Qur’an. Secara garis besar, fungsi Hadis terhadap al-Qur’an ada tiga, di antaranya:
1. Menegakkan kembali keterangan atau Perintah yang terdapat di dalam al-Qur’an. Dalam hal ini Hadis datang dengan keterangan atau perintah yang sejalan dengan al-Qur’an.
2. Menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang datang secara mujmal (global). Dalam hal ini kaitannya ada tiga hal (a). Menafsirkan serta memperinci ayat-ayat yang bersifat umum, (b). Mengkhususkan ayat-ayat yang bersifat umum, (c). Memberi batasan terhadap ayat bersifat mutlaq.
3. Menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’an (bayan Tasyri’).
Referensi: Bahan Ajar Ilmu Hadits Pertemuan 2 PJJ PAI IAIN SSN Cirebon
Tanya:
Jelaskan perkembangan Hadist pada masa sahabat!
Jawab:
Periode kedua sejarah perkembangan Hadis adalah masa sahabat, khususnya adalah Khulafa al-Rasyidun (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), sehingga masa ini dikenal dengan masa sahabat besar. Periode ini juga dikenal dengan zaman Al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah yaitu periode membatasi Hadis dan menyedikitkan riwayat. Hal ini disebabkan karena para sahabat pada masa ini lebih mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an. Akibatnya periwayatan Hadis pun kurang mendapat perhatian, bahkan mereka berusaha untuk bersikap hati-hati dan membatasi dalam meriwayatkan Hadis. Kehati- hatian dan usaha membatasi periwayatan dan penulisan Hadis yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan kebohongan atas nama Rasul SAW, karena hadis adalah sumber ajaran setelah Al-Qur’an. Keberadaan Hadis yang demikian harus dijaga keotentikannya sebagaimana penjagaan terhadap Al-Qur’an. Oleh karena itu, para sahabat khususnya Khulafa alRasyidin, dan sahabat lainnya seperti Al-zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaidah berusaha keras untuk memperketat periwayatan hadis. Berikut ini akan diuraikan periwayatan hadis pada masa sahabat.
1. Abu Bakar al-Shiddiq
Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam memelihara Hadis. Menurut Al-Dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama kali menerima Hadis dengan hati-hati, Misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan sahabat lain ketika seorang nenek datang kepadanya mengatakan “Saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh putra anak laki-laki saya .” kata Abu Bakar, “ Saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik dari al-qur’an maupun dari Rasul.” Lebih lanjut khalifah berkata, “siapa diantara kalian yang mendengar ketentuan itu dari Rasul?” maka tampillah Muhammad bin Maslamah sebagai saksi bahwa seorang nenek seperti kasus tersebut mendapat bagian seperenam (1/6) harta peninggalan cucu dari anak laki-lakinya. Kemudian Abu Bakar memberikan bagian tersebut.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, periwayatan Hadis dilakukan dengan sangat hati-hati. Bahkan menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (wafat 748H/1347M), sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan sikap kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadis adalah Abu Bakar al-Shiddiq. Sikap ketat dan kehati-hatian Abu Bakar tersebut juga ditunjukkan dengan tindakan konkrit beliau, yaitu dengan membakar catatan-catatan Hadis yang dimilikinya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah (putri Abu Bakar) bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus Hadis. Tindakan Abu Bakar tersebut lebih dilatarbelakangi oleh karena beliau merasa khawatir berbuat salah dalam meriwayatkan Hadis, sehingga tidak mengherankan jika jumlah hadis yang diriwayatkannya juga tidak banyak. Padahal, jika dilihat dari intensitasnya bersama Nabi, beliau dikatakan sebagai sahabat yang paling lama bersama Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah hingga Nabi wafat. Selain sebab-sebab di atas, menurut Suhudi Ismail, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan sahabat Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan hadis, yaitu (1) dia
selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah; (2) kebutuhan akan Hadis tidak sebanyak pada sesudahnya; dan (3) jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat. Dengan demikian, dapat dimaklumi kalua sekiranya aktifitas periwayatan Hadis pada masa Khalifah Abu Bakar masih sangat terbatas dan belum menonjol, karena pada masa ini umat Islam masih dihadapkan oleh adanya beberapa kenyataan yang sangat menyita waktu, berupa pemberontakan-pemberontakan yang dapat membahayakan kewibawaan pemerintah setelah meninggalnya Rasulullah SAW baik yang datang dari dalam (intern) maupun dari luar (ekstern). Meskipun demikian, kesemuanya tetap dapat diatasi oleh pasukan Abu Bakar dengan baik.
2. Umar ibn al-Khathab
Sikap kehati-hatian juga ditunjukkan oleh Umar bin Khattab. Ia seperti halnya Abu Bakar, suka meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan Hadis. Perlu pula dijelaskan bahwa, pada masa Umar bin Khattab belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun Hadis dalam suatu kitab seperti Al-Qur’an. Hal ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekhususan mereka (umat Islam) dalam mempelajari Al-Qur’an. Alasan kedua, para sahabat banyak menerima Hadis dari Rasul SAW. sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini ada kesulitan untuk mengumpulkan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal pembukuan Hadis, di kalangan para sahabat sendiri terjadi terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafazh dan kesahihannya. Abu Hurairah seorang sahabat yang terbanyak meriwayatkan Hadis, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan Hadis di masa Umar, lalu menjawab “ sekiranya aku meriwayatkan Hadis di masa Umar bin Khattab seperti aku meriwayatkannya kepadamu, niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya. Tindakan hati-hati yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, juga diikuti oleh sahabat Umar bin Khathab. Umar dalam hal ini juga terkenal sebagai orang yang sangat berhati-hati di dalam meriwayatkan sebuah hadis. Beliau tidak mau menerima suatu riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya. Hal ini memang dapat dipahami, karena memang pada masa itu, terutama masa khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar bi al-Khathab naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas jumlahnya, dan karena itu belum menyebar ke daerah-daerah kekuasaan Islam. Sehingga dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa membedakan antara AlQur’an dan al-Hadis. Pada periode ini menyusun catatan-catatan terdahulu juga dilarang, karena dari catatan tersebut tidak dapat diketahui mana yang haq dan mana yang bathil, demikian pula dengan pencatat ilmu juga dilarang. Meskipun demikian, pada masa Umar ini periwayatan hadis juga banyak dilakukan oleh umat Islam. Tentu dalam periwayatan tersebut tetap memegang prinsip kehati-hatian.
3. Utsman Ibn Affan
Pada masa Usman Ibn Affan, periwayatan Hadis dilakukan dengan cara yang sama dengan dua khalifah sebelumnya. Hanya saja, usaha yang dilakukan oleh Utsman Ibn Affan ini tidaklah setegas yang dilakukan oleh Umar bin al-Khathab. Meskipun Utsman melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan Hadis. Namun pada zaman ini, kegiatan umat Islam dalam periwayatan Hadis telah lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman dua khalifah sebelumnya. Sebab, seruannya itu ternyata tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para periwayat yang bersikap “longgar” dalam periwayatan Hadis. Hal ini lebih disebabkan karena selain pribadi Utsman yang tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah bertambah makin luas. Yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan Hadis secara ketat.
4. Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam meriwayatkan Hadis tidak jauh berbeda dengan para khalifah pendahulunya. Artinya, Ali dalam hal ini juga tetap berhati-hati didalam meriwayatkan Hadis. Dan diperoleh pula atsar yang menyatakan bahwa Ali r.a tidak menerima Hadis sebelum yang meriwayatkannya itu disumpah. Hanya saja, kepada orang-orang yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta mereka untuk bersumpah. Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan Hadis bagi Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan Hadis. Sumpah dianggap tidak perlu, apabila orang yang menyampaikan Riwayat Hadis telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru. Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan Hadis Nabi. Hadis yang diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadis yang berupa catatan, isinya berkisar tentang: [1] hukuman denda (diyat); [2] pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir; dan [3] larangan melakukan hukum (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir. Dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat Hadis yang
terbanyak bila dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulunya.
Referensi: Bahan Ajar Ilmu Hadits Pertemuan 3 PJJ PAI IAIN SSN Cirebon
Tanya:
Bagaimana cara sahabat menyampaikan hadist?
Jawab:
Pada zaman Nabi, tidak semua Hadis ditulis oleh para sahabat. Hadis Nabi yang disampaikan oleh sahabat kepada periwayat lain lebih banyak berlangsung secara lisan. Hadis Nabi yang memungkinkan untuk diriwayatkan secara lafal (Riwayah bi al-lafzhi) oleh sahabat sebagai saksi pertama, hanyalah Hadis dalam bentuk perkataan. Sedangkan hadis yang tidak berbentuk perkataan, hanya dimungkinkan untuk diriwayatkan secara makna (Riwayah bi al-ma’na). Hadis yang dalam bentuk perkataan pun sangat sulit diriwayatkan secara lafal. Bukan hanya disebabkan karena tidak mungkin seluruh sabda Nabi itu dihafal secara harfiah, melainkan juga karena kemampuan hafalan dan tingkat kecerdasan sahabat tidak sama. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam hal transfer Hadis, sahabat menempuh dua cara, yaitu:
1. Periwayatan secara lafal (Hadis riwayah bi al-lafzh).
Periwayatan Hadis secara lafal adalah “periwayatan Hadis yang redaksi atau matannya persis seperti yang diperoleh dari Rasulullah saw. Maksudnya bahwa Hadis yang diterima diriwayatkan dengan mempertahankan lafalnya sesuai redaksi yang disampaikan oleh Nabi. Para sahabat ketika meriwayatkan Hadis menempuh jalan ini. Mereka berusaha agar dalam periwayatan Hadis selalu sesuai dengan lafazh yang disampaikan oleh Nabi. Di antara para sahabat yang paling menuntut periwayatan Hadis sesuai dengan lafal asli dari Nabi adalah ‘Abdullah bin ‘Umar, dan Sa’id bin Arqam. Periwayatan Hadis secara lafal sangat sedikit disinggung pada buku-buku Hadis yang ada.
2. Periwayatan secara makna (Hadis riwayah bi al-ma’na)
Periwayatan secara makna adalah periwayatan Hadis dengan melakukan perubahan dari segi lafal. Baik dari segi pendahuluan dan pengakhiran sebuah kata, atau dengan cara penggunaan sinonim. Mereka yang memperbolehkan periwayatan Hadis secara makna, secara terpaksa meriwayatkan sebagian Hadis dengan kata-kata mereka sendiri. Terkadang mereka menggunakan kalimat “Atau seperti yang Rasulullah katakan” dan kalimat lain yang sejenis. Di antara sahabat yang membolehkan hal tersebut ialah ‘Aisyah r.a. dan Hasan al-Bashri dari golongan tabi’in.
Referensi: Bahan Ajar Ilmu Hadits Pertemuan 3 PJJ PAI IAIN SSN Cirebon
Jawaban di atas bukan hasil kecerdasan buatan, melainkan murni hasil pencarian manual dari berbagai sumber tertera atau di platform digital. Benar atau tidaknya, diluar tanggungjawab penulis. Saran kami, jadikan artikel ini sebagai referensi saja. Jangan sepenuhnya menyalin tanpa dipelajari terlebih dahulu. Lakukan beberapa perubahan di dalamnya seperti; perbaikan kekeliruan pada huruf, periksa kembali konten dan perbaiki apabila ada yang tidak sesuai dengan kaidahnya, sempurnakan konten pada karya Anda dengan menggabung beberapa sumber lain yang terkait.
Semoga bermanfaat dan menjadi berkah.