Ilmu Al-Qur'an: Resume Ilmu Qiraat Al-Qur'an
Secara etimologis, Qira’at berarti bacaan. Adapun definisi qira'at menurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid, dan lain-lain. Selengkapnya, tetaplah bersama situs web kami!
KULIAH
Yogi Triswandani
11/14/20236 min baca
ILMU QIRA'AT AL-QUR'AN
A. Pengertian Qira’at
Secara etimologis, Qira’at berarti bacaan. Adapun definisi qira'at menurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid, dan lain-lain. Selanjutnya, al-Zarqani memberikan pengertian qira'at sebagai suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra' yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur'an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya, baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.
Dari pengertian al-Zarqani tersebut, terdapat beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui yaitu qira'at, riwayat dan tariqah, sebagai berikut:
1. Qira'at adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra' yang tujuh, sepuluh, atau empat belas; seperti qira'at Nafi', qira'at Ibn Kasir, qira'at Hamzah dan lain sebagainya.
2. Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra' yang tujuh, sepuluh, atau empat belas. Misalnya, Nafi' mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun 'an-Nafi' (riwayat Qalun dari Nafi') atau riwayat Warsya Nafi' (riwayat Warsy dari Nafi').
3. Tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang mengambil qira'at dari periwayat qurra' yang tujuh, sepuluh, atau empat belas. Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq 'an Warsy, atau riwayat Warsy in thariq al-Azraq (riwayat Warsy dari riwayat al-Azraq). Bisa juga disebut dengan qira'at Nafi' min riwayati Warsy min thariq al- Azraq.
B. Sejarah Perkembangan Qira'at
Ada dua pendapat tentang waktu mulai diturunkannya qira'at; Pertama, qira'at mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya al- Qur'an. Kedua, qira'at mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, di mana orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya.
Ketika mushaf disalin pada masa Usman bin Affan, tulisannya sengaja tidak diberi titik dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari satu qira'at yang berbeda. Jika tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis pada mushaf yang lain. Periwayatan dan Talaqqi (si guru membaca dan murid mengikuti bacaan tersebut) dari orang-orang yang tsiqab dan dipercaya merupakan kunci utama pengambilan qira'at al-Qur'an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya.
Para sahabat berbeda-beda ketika menerima qira'at dari Rasulullah. Dapat disebutkan di sini para Sahabat ahli qira'at, antara lain adalah: Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas'ud, Abu al-Darda', dan Abu Musa al-'Asy'ari. Para sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa qira'at masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga ketika Tabi'in mengambil qira'at dari paraSahabat. Demikian halnya dengan Tabiut-tabi'in yang berbeda-beda dalam mengambil qira'at dari para Tabi'in. Keadaan ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qiraat yang termasyhur, yang mengkhususkan diri dalam qira'at qira'at tertentu dan mengajarkan qira'at mereka masing-masing.
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira'at. Orang yang pertama kali menulis masalah qiraat dalam bentuk prosa adalah al-Qasim bin Salam, dan orang yang pertama kali menulis tentang qira'at sab'ah dalam bentuk puisi adalah Husain bin Usman al-Baghdadi.
Banyak sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab'ah ini. Yang paling terkenal di antaranya adalah: al-Taysir fi al-Qiraat al-Sab'i yang diisusun oleh Abu Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi Qira'at al-Sab'i karya Imam al-Syatibi, al-Nasyrji Qira'at al-Aryr karya Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala' al-Basyar fi al-Qira'at al-Arba'ah Asyara karya Imam al-Dimyati al-Banna.
C. Mengenal Imam-Imam Qiraat
Berikut ini adalah para imam qira'at yang terkenal dalam sebutan qira'at Sab'ah:
1. Nafi'al-Madani (Abu Ruwaim Nafi' bin Abdurrahman bin Abu Nu'aim al-Laitsi).
2. Ibn Kasir al-Makki (Abdullah ibn Kasir bin Umar bin Abdullah bin Zada bin Fairuz bin Hurmuz al-Makki).
3. Abu'Amr al-Basri (Zabban bin 'Alla' bin 'Ammar bin 'Aryan al-Mazani at Tamimi al-Bashr).
4. Abdullah bin 'Amir al-Syami (Abdullah bin 'Amir bin Yazid bin Tamim bin Rabi'ah al-Yahshabi).
5. 'Ashim al-Kufi (Ashim bin Abu al-Nujud).
6. Hamzah al-Kufi (Hamzah bin Habib bin 'Ammarah bin Ismail al-Kufi).
7. Al-Kisa'i al-Kufi (Ali bin Hamzah bin Abdullah bin Usman al- Nahwi).
D. Syarat-syarat Sahnya Qira’at
Para ulama menetapkan tiga syarat sah dan diterimanya qiraat. Yaitu: pertama, sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab; Kedua, sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani, walaupun hanya tersirat; Ketiga, shahih sanadnya.
Syaikh Makki bin Abu Talib al-Qaisi menyatakan bahwa qiraat shahih adalah qiraat yang shahih sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW, ungkapan kalimatnya sempurna menurut kaedah tata bahasa Arab dan sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani. Pendapat ini diikuti oleh Ibnl Jazari, sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Tayyibatun Nasyar fi al-Qira'at al-'Asyar.
Jadi yang dimaksud dengan shahih sanadnya oleh Ibnl Jazari di sini adalah Mutawatir. Menurut Imam al-Nuwairi: "Meniadakan syarat mutawatir adalah pendapat yang baru, bertentangan dengan ijma' para ahli fiqih, ahli hadis dan yang lain-lain. Sebab al-Qur'an menurut jumhur ulama empat mazhab yang terkemuka adalah kalamullah yang diriwayatkan secara mutawatir dan dituliskan pada mushaf. Semua orang yang memegang definisi ini pasti mensyaratkan mutawatir, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Hajib. Dengan demikian, menurut para imam dan pemuka mazhab yang empat, syarat mutawatir itu merupakan keharusan.
E. Pengaruh Qira’at Terhadap Istinbat Hukum
Perbedaan qiraat al-Qur'an yang berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz tersebut adakalanya tidak. Dengan demikian, maka perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh terhadap istimbat hukum dan adakalanya tidak.
1. Perbedaan Qira'at yang Berpengaruh Terhadap Istinbat Hukum
Qira'at shahihah (Mutawatir dan Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir dan penjelas serta dasar penetapan hukum, misalnya qira'at membantu penafsiran qira'at dalam menetapkan hal-hal yang membatalkan wudu seperti dalam Q.S Al-Nisa' (4): 43:
وَإِنْ كُنتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْمِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طيبًا
"..... Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanab yang baik (suci)…..”
Dari cara membacanya, para ulama berbeda pendapat tentang makna qira'at (لَامَسْتُمُ), ada tiga versi pendapat ulama mengenai makna (لَامَسْتُمُ), yaitu: bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta bersetubuh.
2. Perbedaan Qiraat yang Tidak Berpengaruh Terhadap Istinbat Hukum
Berikut ini adalah contoh dari adanya perbedaan qira'at tetapi tidak berpengaruh terhadap istimbath hukum, yaitu pada Q.S. al-Ahzab (33): 49, yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan lepaskanlah mereka itu dengan cara sebaik-baiknya."
Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang istri yang diceraiakn oleh suaminya dalam keadaan belum disetubuhi, maka tidak ada masa iddah baginya. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang wanita yang diceraikan suaminya, sebelum wanita tersebut dibolehkan kawin lagiBerkenaan dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa'i, membacanya dengan, sementara Ibn Kasir, Abu 'Amir, Ibn 'Ashim, dan Nafi' membaca: Perbedaan bacaan tersebut tidak menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya.
3. Pemakaian Qira'at Syaz dalam Istinbat Hukum
Qira'at Syaz itu sama kedudukannya dengan hadis Ahad (setingkat di bawah Mutawatir), dan mengamalkan hadis Ahad adalah boleh. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama. Ulama mazhab Syafi'i tidak menerima dan tidak menjadikan Qira’at Syaz sebagai dasar penetapan hukum dengan alasan bahwa Qira’at Syaz tidak termasuk al-Qur'an. Pendapat ini dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa dengan menolak Qira'at Syaz sebagai al-Qur'an tidak berarti sekaligus menolak Qira’at Syaz sebagai Khabar (Hadis). Jadi, paling tidak Qira’at Syaz tersebut merupakan Hadis Ahad.
Contoh penggunaan Qira'at Syaz sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut:
(1) Memotong tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas'ud dalam surat al-Maidah ayat 38, yang berbunyi:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya.....”
Dalam Qiraat yang shahihah ayat tersebut berbunyi: والشارق والشارقة فاقطعوا أيديهما
(2) Mazhab Hanafi mewajibkan puasa tiga hari berturut-turut sebagai kafarah sumpah, juga berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas'ud dalam surat al-Maidah ayat 89, yang berbunyi:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ متنا بعات “Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari berturut-turut....”. Dalam qira'at yang shahihah ayat tersebut berbunyi: فمن لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Sya'ban Muhammad Ismail, mengutip pernyataan Abu 'Ubaid, menyatakan bahwa tujuan sebenamya dari Qira’at Syaz adalah merupakan Tafsir dari qira’at shahih (maryl) dan penjelasan mengenai dirinya. Huruf-huruf tersebut harakatnya (lafaz Qira'at Syaz tersebut) menjadi tafsir bagi ayat al-Qur'an pada tempat tersebut. Hal yang demikian ini, yaitu tafsir mengenai ayat-ayat tersebut, pernah dikemukakan oleh para Tabi'in, dan ini merupakan hal yang sangat baik. Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan al-Suyuti, sebagai berikut:
"Jika penafsiran itu dikemukakan oleh sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang benar, yang kemudian menjadi bagian dari qira,at al-Qur'an itu sendiri, tentu tafsir ini lebih tinggi nilainya dan lebih kuat. Mengambil kesimpulan hukum dari penafsiran yang dikemukakan Qira'at Syaz ini adalah suatu pengejawantahan yang dapat dipertanggung jawabkan."
F. Manfaat Perbedaan Qiraat
Adanya bermacam-macam qiraat seperti telah disebutkan di atas, mempunyai berbagai manfaat, yaitu:
1. Meringankan umat Islam dan mudahkan mereka untuk membaca al- Qur'an.
2. Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya al-Qur'an dari perubahan dan penyimpangan, padahal kitab ini mempunyai banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
3. Dapat menjelaskan hal-hal mungkin yang masih global atau samar dalam qiraat yang lain, baik qira'at itu Mutawatir, Masyhur ataupun Syadz.
4. Bukti kemukjizatan al-Qur'an dari segi kepadatan maknanya, karena setiap qiraat menunjukkan suatu hukum syara' tertentu tanpa perlu adanya pengulangan lafaz.
5. Meluruskan aqidah sebagian orang yang salah.
6. Menunjukkan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad SAW atas umat-umat pendahulunya, karena kitab-kitab yang terdahulu hanya turun dengan satu segi dan satu qiraat saja, berbeda dengan al-Qur'an yang turun dengan beberapa qiraat.
Saran kami apabila akan digunakan untuk kepentigan karya ilmiah Anda, jadikan artikel ini sebagai referensi saja. Jangan sepenuhnya menyalin tanpa dipelajari terlebih dahulu. Lakukan beberapa perubahan di dalamnya seperti; perbaikan kekeliruan pada huruf, periksa kembali konten dan perbaiki apabila ada yang tidak sesuai dengan kaidahnya, sempurnakan konten pada karya Anda dengan menggabung beberapa sumber lain yang terkait.
Semoga bermanfaat dan menjadi berkah.