Filsafat Pendidikan Islam: Resume Artikel Aksiologi Pendidikan Islam (Perspektif Islam dan Barat)

Aksiologi merupakan suatu bidang filsafat yang membahas tentang nilai atau biasa disebut juga dengan teori nilai yang berkaitan erat dengan empat faktor penting yaitu; apakah nilai berasal dari keinginan, jenis-jenis nilai, kriteria, dan hubungannya dengan realita atau fakta pada ilmu.

KULIAH

Yogi Triswandani

9/25/20246 min baca

AKSIOLOGIS PENDIDIKAN ISLAM (PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT)

Pendahuluan

Aksiologi merupakan suatu bidang filsafat yang membahas tentang nilai atau biasa disebut juga dengan teori nilai yang berkaitan erat dengan empat faktor penting yaitu; apakah nilai berasal dari keinginan, jenis-jenis nilai, kriteria, dan hubungannya dengan realita atau fakta pada ilmu. Seluruh proses kependidikan Islam bermuara pada untuk mendukung ketercapaian aksiologis dalam pendidikan Islam.

Adapun yang menjadi permasalahan, konstruksi aksiologis pendidikan Islam dalam perspektif filosofis, apakah corak atau madzhab pemikiran (school of thought) yang digunakan untuk mengonstruksi aksiologi pendidikan Islam masih belum mendapatkan jawaban memadai hingga saat ini? Demikian pula, aksiologi pendidikan Islam mestinya memiliki keterhubungan erat dengan aksiologi pendidikan Nasional. Apakah keterhubungan tersebut sudah mendapatkan kejelasan atau malah sebaliknya, keduanya justru memiliki bangunan yang terpisah dan berjalan mengikuti irama masing-masing?

Mempertegas Aksiologi Pendidikan

Selain representasi aksiologis pendidikan sebagai “tujuan”, bagaimana tujuan dirumuskan dan pendekatan apa yang digunakan untuk merumuskannya, juga masih menyisakan perdebatan. Al-Shaibani menegaskan, bahwa tujuan pendidikan Islam dipahami sebagai, Perubahan yang diingini, yang diusahakan oleh proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya, baik pada tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya atau pada kehidupan masyarakat serta pada alam sekitar tentang individu itu hidup.

Al-Shaibani memberikan uraian tentang “tujuan” dengan kosa kata lain yang mempunyai relasi atau menjadi bagian dari rumpun tujuan (aim family) yaitu meliputi “tanda-tanda” atau “alamat”, “ramalan”, “hasil”, “keinginan”, dan “nilai-nilai”. Pertama, relasi tujuan dengan tanda-tanda atau alamat-alamat digambarkan dalam posisi identik, serupa dan sama dalam konteks makna, capaian yang diharapkan, serta proses untuk mencapainya. Kedua, tujuan dan ramalan memiliki perbedaan dari aspek makna, namun keduanya tetap saja mempunyai korelasi yang erat. Ketiga, relasi tujuan dengan hasil pendidikan terletak pada makna, akan tetapi berbeda dalam proses. Keempat, relasi tujuan dengan keinginan terbentuk ketika tujuan dihubungkan dengan perencanaan dan seringkali bermula dari keinginan. Kelima, hubungan antara tujuan dan nilai-nilai, terlihat ketika tujuan pada dasarnya merupakan representasi dari nilai-nilai tersebut.

Tiga tingkatan dalam tujuan pendidikan menurut pandangan al-Shaibani, yaitu tujuan tertinggi atau tujuan akhir dalam pendidikan, tujuan umum, serta tujuan khusus. Pertama, tujuan tertinggi atau akhir menggambarkan tujuan yang tidak dibatasi oleh tujuan-tujuan lainnya. Kedua, tujuan umum yang dapat dipahami sebagai “maksud-maksud, metode atau perubahan yang dikehendaki, yang diusahakan oleh pendidikan untuk mencapainya”. Ketiga, tujuan khusus atau disebut juga dengan tujuan-tujuan khas pendidikan merupakan derivasi dari tujuan-tujuan umum pendidikan.

Brown mengatakan bahwa tujuan terkait dengan rumpun tujuan, yaitu “ideals” dan objectives”. Ideals menunjuk pada nilai-nilai yang hendak diperoleh atau diharapkan melalui proses pendidikan. Sedangkan objectives merupakan capaian proses pendidikan yang bersifat lebih kongkrit dibanding ideals. Goodlad dan Ritcher (1966) menunjukkan, jika tujuan-tujuan pendidikan merupakan derivasi dari nilai-nilai yang melekat dalam ideals, sebaliknya objectives dikembangkan dari tujuan tersebut.

Al-Hajjaji menggunakan istilah berbeda untuk menunjuk pada tujuan pendidikan, yaitu al-Ghayah, al-Hadaf , serta al-Ghard. Al-Ghayah menunjuk pada pengertian sasaran tertinggi, bersifat tunggal dan tidak terbagi-bagi. Sementara, al-Hadaf menunjuk pada capaian yang diinginkan yang tidak bersifat tunggal, bukan sebagai yang tertinggi. Sedangkan al-Ghard menunjuk pada capaian-capaian yang diharapkan dan bersifat lebih praksis oprasional.

Marimba mengkatagorisasi tujuan dari aspek fungsinya menjadi empat bagian. Pertama, tujuan yang berfungsi untuk mengakhiri usaha. Kedua, tujuan yang berfungsi mengarahkan keseluruhan aktifitas, supaya lebih terfokus, efektif serta efisien. Ketiga, tujuan yang mempunyai fungsi sebagai titik tolak atau awal pijakan bagi pencapaian tujuan-tujuan baru. Keempat, tujuan yang berfungsi memberi nilai atau sifat pada aktifitas/usaha tertentu.

Dalam konteks pendidikan Islam, untuk merumuskan tujuan, terdapat prinsip-prinsip dasar yang harus dipenuhi. Pertama, prinsip universalitas, Kedua, prinsip keseimbangan dan kesederhanaan. Ketiga, prinsip kejelasan. Keempat, prinsip tidak ada pertentangan. Kelima, prinsip realisme dan dapat dilaksanakan pada kehidupan. Keenam, prinsip perubahan yang diinginkan. Ketujuh, prinsip menjaga perbedaan-perbedaan individual. Kedelapan, prinsip dinamisme.

Sebagai tata nilai yang bersifat instrumental, perumusan tujuan pendidikan melibatkan aspek-aspek tertentu. Pertama, aspek pragmatis, karena melibatkan subyek (manusia) yang memberi nilai. Kedua, aspek semantis, yaitu tujuan pendidikan sebagai obyek yang diberi nilai. Ketiga, melibatkan suatu perbuatan penilaian dari manusia. Keempat, nilai dalam rumusan pendidikan ditambah perbuatan penilaian. Pertanyaannya sekarang, atas pertimbangan apakah manusia sebagai subyek memilih dan menentukan nilai-nilai dalam rumusan pendidikan? Salah satu pendekatan yang banyak digunakan adalah fungsi pendidikan (functional approach). Tujuan pendidikan dengan demikian dirumuskan dansekaligus merepresentasikan nilai-nilai yang fungsional bagi konteks sosialnya.

Bagi Peters, nilai dalam tujuan bukan bersifat instrumental, tetapi instrinsik. Dalam kajian aksilogi pengetahuan, nilai instrinsik ini berangkat dari proporsi bahwa, nilai bersifat obyektif sehingga tidak tergantung pada subyek atau kesadaran manusia untuk menilainya. Konsekuensinya, kebenaran tidak tergantung individu, melainkan pada obyektifitas fakta, dan kebenaran tidak diperkuat atau diperlemah oleh prosedur-prosedur.

Dalam konteks tujuan pendidikan, nilai intrinsik terletak pada konsep manusia terdidik (educated man). John White menggambarkan manusia terdidik ialah orang yang peduli dengan dirinya dan rekannya, seseorang yang mampu ataudapat bertindak dengan metode tertentu, manusia yang memiliki kelebihan khusus, dimana dia mempunyai pemikiran yang mandiri, baik bagi dirinya sendiri atau sebagai bentuk simpati terhadap orang lain.

Jadi nilai intrinsik tujuan pendidikan yang direpresentasikan oleh educated man bersifat pasti secara ontologis, oleh karena itu eksistensinya tidak membutuhkan penilaian. Sebaliknya, penilaian subyektif manusia lebih ke arah proses pencapaian nilai yang melekat dalam diri educated man. Tugas ilmu atau filsafat pendidikan lebih ke arah bagaimanamemberikan landasan proses dan operasionalisasi pendidikan, sehingga memungkinkan untuk membentuk serta menghasilkan educated man tersebut.

A. Tujuan Pendidikan Islam, Nilai Intrinsik dan Tumpang Tindih.

Pendekatan obyektifisme logis meneguhkan bahwa, nilai dalam tujuan pendidikan Islam dari perspektif ontologisnya adalah kenyataan-kenyataan yang tidak dibatasi dan sekaligus tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Implementasi pendekatan obyektifisme logis cukup nyata dalam merumuskan tujuan akhir, tujuan tertinggi, dan tujuan umum pendidikan Islam. Berbagai rumusan menunjukkan nilai tujuan tidak dihasilkan melalui interaksi mendalam dengan dunia pengalaman, dunia empiris atau realitas. Sebaliknya, nilai tujuan hanya sekedar mengadaptasi atau menulis kembali rumusan-rumusan yang telah dihasilkan oleh para pendahulunya atau mereplikasi dari pendapat-pendapat para pakar pendidikan Islam di timur tengah.

Pertanyaannya sekarang ialah kenapa penulis filsafat pendidikan Islam di tanah air menempuh jalan seperti itu? M. Arifinmemberikan alasan dengan menyatakan, karena “tujuan pendidikan Islam di seluruh dunia haruslah sama bagi semuaumat Islam”. Dengan bahasa berbeda, Abuddin Nata juga memiliki pandangan yang sama. Menurutnya, “pada tujuan pendidikan yang bersifat umum terkandung unsur konstan, tetap berlaku sepanjang zaman, tempat dan keadaan, tidak akan mengalami perubahan serta pergantian sepanjang zaman. Tujuan umum pendidikan Islam berlaku di seluruh dunia yang meyakini ajaran Islam sebagai pedoman hidupnya”.

Pendekatan obyektifisme akan menghasilkan satu proposisi bersama bahwa nilai yang melekat dalam tujuan pendidikan Islam adalah bersifat intrinsik. Nilai intrinsik menunjuk pada konsep-konsep substansial tentang kehidupan yang baik (good life). Dalam pendidikan Islam, kehidupan yang baik dimanifestasikan ke dalam rumusan “manusia ideal” yang memiliki kesiapan penuh untuk mengarungi kehidupan dunia dan akhirat kelak. Rumusan “manusia ideal” ini bersifat obyektif, dalam pengertian tidak membutuhkan pengalaman atau realitas empirik untuk merumuskannya. Demikian pula,merumuskan “manusia ideal” juga tidak perlu mempertimbangkan konteks sosial yang di dalamnya, proses pendidikan Islam dioperasionalisasikan.

Konsekuensi dari pendekatan ini, maka apapun nilai-nilai yang melekat dalam rumusan tujuan pendidikan tidak pernah dipersoalkan keabsahannya oleh para penulis filsafat pendidikan Islam di tanah air. Alasannya, klaim sifat intrinsik dalam nilai tujuan menyertakan implikasi bahwa, kontruksi tujuan pendidikan telah mempunyai kebenaran obyektif. Dalampendekatan obyektifisme, nilai tujuan telah memiliki kebenaran dalam dirinya sendiri, sehingga tidak perlu membutuhkan verifikasi.

Disamping itu, dengan pendekatan obyektifisme maka nilai tujuan pendidikan Islam dapat diakui sebagai teori yang baik sangat ditentukan dan tergantung pada “kemampuannya memberikan penjelasan”. Dalam konteks ini, para penulis filsafat tujuan pendidikan Islam di tanah air masih memiliki kelemahan mendasar dalam menghadirkan rumusan tujuan sebagai bagian dari teori pengetahuan. Kelemahan ini, pernah disinggung oleh Ahmad Tafsir. Menurutnya, di satu sisi, rumusan yang dihasilkan para pakar di atas dipahami terlalu umum, sehingga sukar dioperasionalkan dalam tindakan perencanaan dan pelaksanaan pendidikan secara nyata, kurang memuaskan, pengategorian yang kurang jelas, terdapat rumusan yang tumpang tindih, pembagian tujuan pendidikan yang menggunakan kategori ganda, membingungkan, dan seterusnya. Sampai di sini kita sebenarnya belum puas tentang perumusan tujuan pendidikan Islam itu. Bila tumpang tindih dan atau kategorinya ganda, maka perencanaan pendidikan akan amat sulit, kebingungan akan muncul dalam pelaksanaanya.

B. Penutup

Dalam konteks diskursus filsafat tujuan pendidikan Islam, para penulis filsafat pendidikan Islam telah mempunyai kesadaran akademis bahwa, teori tujuan mestinya harus dirumuskan terlebih dahulu sebelum merumuskan tujuan pendidikan Islam dari perspektif kajian filsafat. Sayangnya, kesadaran tersebut tidak direalisasikan oleh mereka, dan tidak digunakan sebagai panduan untuk merumuskan tujuan pendidikan Islam secara sistematis dan komperhensif.

Selain itu, dinamika bidang kajian filsafat tujuan pendidikan Islam di tanah air tidak menunjukkan perkembangan berarti. Belum ada temuan revolusioner tentang bagaimana seharusnya rumusan tujuan pendidikan Islam. Sebaliknya, bidang kajian filsafat tujuan pendidikan Islam hanya sekedar mengulang, mengadaptasi dan mereplikasi dari para pendahulunya atau paling tidak, pendapat-pendapat dari para ulama’ timur tengah.

Tak kalah pentingnya, pendekatan obyektifisme cukup dominan dalam proses perumusan tujuan pendidikan Islam. Pendekatan ini berimplikasi pada kecenderungan menegasikan aspek-aspek realitas, pengalaman-pengalaman manusia, dan konteks sosial yang di dalamnya pendidikan Islam dioperasionalisasikan. Pendekantan ini menghasilkan temuan bahwa, nilai dalam tujuan pendidikan bersifat intrinsik, dan bukan instrumental. Konsekuensi serius dari penggunaan pendekatan obyektifisme adalah rumusan yang dihasilkan tumpang tindih antara satu tingkatan tujuan dengan tujuan lainnya. Padahal, tujuan-tujuan memiliki karakter hirarkhis, yang di dalamnya antar satu rumusan dengan rumusan lainnya mempunyai keterhubungan lekat.

Sumber Referensi:

Diambil dari artikel Nur Iftitahul Husniyah, Universitas Islam Lamongan. AT-TUHFAH: Jurnal Keislaman. Vol. 8 No.1, 2019.

Saran kami apabila akan digunakan untuk kepentigan karya ilmiah Anda, jadikan artikel ini sebagai referensi saja. Jangan sepenuhnya menyalin tanpa dipelajari terlebih dahulu. Lakukan beberapa perubahan di dalamnya seperti; perbaikan kekeliruan pada huruf, periksa kembali konten dan perbaiki apabila ada yang tidak sesuai dengan kaidahnya, sempurnakan konten pada karya Anda dengan menggabung beberapa sumber lain yang terkait.

Semoga bermanfaat dan menjadi berkah.