Filsafat Islam: Makalah Filsafat Al-Ghazali
Membincangkan pemikiran Islam, lebih khususnya Filsafat Islam, tidak akan lengkap jika tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Namun, apabila seseorang ingin menempatkan al-Ghazali dalam sejarah Filsafat Islam, ia harus membuat beberapa catatan awal.
KULIAH
Yogi Triswandani
3/7/202423 min baca
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membincangkan pemikiran Islam, lebih khususnya Filsafat Islam, tidak akan lengkap jika tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Namun, apabila seseorang ingin menempatkan al-Ghazali dalam sejarah Filsafat Islam, ia harus membuat beberapa catatan awal. Titik tolak utamanya adalah bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai filsuf. Ini tidak hanya berarti bahwa al-Ghazali mempelajari dan mengasimilasi filsafat secara mendalam sebagaimana terlihat dari daya tarik teoretis dan kekuatan strukturnya, tetapi juga menyebabkan kita percaya bahwa filsafat pasti mempunyai setidak-tidaknya pengaruh tak langsung atas pemikiran tasawufnya. Lebih jauh lagi, meskipun al-Ghazali yang pada dasarnya seorang teolog, sufi, dan faqih menyerang keras filsafat dengan berusaha menunjukkan kontradiksi-kontradiksinya, amatlah keliru jika tasawuf dan teologinya hanya dianggap sebagai sekedar berupa doktrin praktis dan religius, mengingat keduanya mempunyai kedalamn teoritis yang mengesankan.
Al-Ghazali memang sosok yang sangat unik dalam dunia pemikiran, sehingga banyak yang terpukau oleh al-Ghazali dari pengembaraan, karya-karya peninggalan, dan perilaku sufistiknya. Banyak dari karya-karyanya menjadi obyek penelitian yang cukup menarik minat kalangan pencinta ilmu dan akademisi, mulai dari kalangan dalam umat Islam sendiri (insider), maupun dari kalangan non-muslim atau orientalis (outsider). Baik dari insider maupun dari outsider, dalam mengkaji pemikiran al-Ghazali sedikitnya terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang kagum dan fanatik sehingga pro terhadap pemikiran al-Ghazali dan menempatkannya sebagai sosok tokoh muslim yang begitu agung dan sempurna. Kedua, kelompok yang menganggap bahwa al-Ghazali banyak melakukan kesalahan dalam berkarya, kelompok ini kontra terhadap al-Ghazali. Bahkan kelompok ini menuduh al-Ghazali sebagai penyebab kemunduran keilmuan dan intelektualisme di dunia Islam, terutama di kalangan kaum sunni. Dan ketiga, kelompok yang obyektif menilai al-Ghazali dari karya-karya dan perjalan hidupnya. Apabila kelompok ini meneliti al-Ghazali, mereka mengemukakan fakta bukan sekedar opini tentangnya.
Penulis dalam makalah ini akan mencoba mengeksplorasikan pemikiran al-Ghazali melalui pendekatan kelompok ketiga. Mula-mula penulis akan membahas tentang perjalanan hidup al-Ghazali dan petualangan serta perkembangan intelektualnya, yang tertuang dalam kitanya “al-Munqidz min al-Dlalal”. Selanjutnya, penulis mengurai pemikiran al-Ghazali tentang filsafat dan filosof, di mana al-Ghazali terlihat geram dengan filosof muslim yang ikut dalam penyimpangan pemikiran filsafat Yunani tentang metafisikan dan ketuhanan. Kerancuan-kerancuan pemikiran filsafat Yunani dan Muslim ini kemudian dituangkan dalam karyanya berjudul “Tahafut al-Falasifah”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini diantaranya ialah:
1. Bagaimana riwayat hidup dan perkembangan intelektualnya?
2. Apa saja karya-karya monumental al-Ghazali?
3. Bagaimana pandangan al-Ghazali terhadap filsafat dan para filosof?
4. Bagaimana pemikiran-pemikiran filsafat al-Ghazali?
C. Tujuan Pembuatan Makalah
Makalah ini dibuat sebagai jawaban atas tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Filsafat Islam. Adapun pembahasan tentang Pemikiran Filsafat al-Ghazali yang penulis susun dalam makalah ini mempunyai tujuan mempersiapkan mahasiswa sebagai calon sarjana yang berkualitas, berdedikasi tinggi, dan bermartabat agar:
1. Mengetahui riwayat hidup dan perkembangan intelektual al-Ghazali.
2. Mengetahui karya-karya monumental al-Ghazali.
3. Memahami pandangan al-Ghazali terhadap filsafat dan para filosof.
4. Mengetahui pemikiran-pemikiran filsafat al-Ghazali.
BAB II. PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup al-Ghazali dan Perkembangan Intelektualnya
Al-Ghazali mempunyai nama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad ibnu Muhammad Al-Ghazali al-Thusi yang bergelar hujjatul Islam. Di dilahirkan di Thusi (sekarang dekat Meshed) salah satu daerah Khurasan (sekarang masuk wilayah Iran) tahun 450 H (1058 M). Di tempat ini pula dia wafat dan dikuburkan pada tahun 505 H./ 111 M, dalam usia yang relatif belum terlalu tua yaitu 55 tahun.
Ayah Imam Ghazali adalah seorang yang shalih dan wira’i, tidak makan sesuatu kecuali dari hasil pekerjaannya sendiri. Beliau bekerja sebagai memintal benang wol dan menjualnya di tokonya di Thus. Dengan kehidupan yang sederhana itu ayah menekuni sufi, dan menjadi ahli tasawuf yang hebat di tempatnya. Ketika sakit keras, sebelum ajalnya tiba, ia berwasiat kepada sahabat dekatnya seorang ahli sufi bernama Ahmad bin Muhammad Al-Rozakani agar dia bersedia mengasuh al-Ghazali dan saudaranya yang bernama Ahmad.
Al-Ghazali kecil mula-mula belajar berbagai keilmuan di Thusi pada Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Razakani (orang tua asuh al-Ghazali), kemudian ia berpinah ke Jurjan untuk menimba ilmu pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili. Setelah mempelajari berbagai ilmu di Jurnan, maka ia berpindah ke Naishabur untuk menimba ilmu pada Imam Dhiya al-Din al-Juwaini (yang terkenal dengan sebutan Imam Al-Haramain) direktur Madrasah al-Nizhamiyah ketika itu. Dalam tempaan Imam al-Juwaini inilah al-Ghazali mendalami fiqih madzhab, ushul fiqih, manthiq, ilmu kalam, filsafat hingga ajal memisahkan keduanya. Di Naisabur ini al-Ghazali tampak kecerdasannya, mendalam pengamatannya, kuat hafalannya, dapat menyelami makna secara mendalam, dan cakap dalam berdebat.
Setelah Imam Al-Haramain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naisabur menuju ke Mu’askar tahun 478 H., ia menetap di sini hingga didaulat menjadi salah seorang pengajar di madrasah al-Nizhamiyah tahun 484 H. Pada tahun 1091, al-Ghazali diundang oleh Perdana Menteri Nizham al-Muluk (pemerintahan Bani Saljuk). Ia disambut di sebuah majlis ahli ilmi. Di saat berpidato tampak ketinggian ilmumunya, lalu para ulama’ yang hadis di situ, mengakui akan kemuliaan dan ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizham al-Muluk akhirnya memberi anugerah kepada al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M, sebagai guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi Nizhamiyah, Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4 (empat) tahun. Di tempat ini al-Ghazali juga menuntaskan studinya tentang teologi, filsafat, ta’limiyah dan tasawuf, dan merupakan penulis yang paling produktif. Sebagai pengajar di Perguruan Tinggi Nizhamiyah, al-Ghazali mendapatkan perhatian yang serius dari para mahasiswanya, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian. Ia mengasingkan diri dan melakukan pengembaraan selama 10 tahun, di mulai ke Damaskus, Yerussalem, Makkah, kembali ke Damaskus dan terakhir ke Baghdad.
Pada tahun 488 H. al-Ghazali menuju Baitullah di Makkah, pada tahun yang sama ia menunaikan Ibadah Haji. Untuk menggantikannya mengajar di Baghdad ia meminta adiknya untuk menjadi penggatinya. Setelah pulang dari haji, al-Ghazali kembali ke Damaskus tahun 489 H., untuk menetap beberapa hari, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Baitul Maqdis dan menetap di sini untuk beberapa lama waktunya. Kemudian ia kembali ke Damaskus untuk menetap. Di sini ia beribadat di masjid al-Umawi, dan beri’tikaf seraya megasingkan diri di Menar sebelah barat Masjid. Di tempat ini sempat mengajar sebuah kitab yang sangat monumental yaitu Ihya’ Ulumuddin. Al-Ghazali merupakan seorang yang memberikan kontribusi besar dalam keilmuan Islam. Ia selalu hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari suasana baru, untuk mendalami pengetahuan dan mengajarkan pengetahuan. Dalam kehidupan berpolitik, ia sering menerima jabatan di pemerintahan.
Berikut ini hal-hal yang pernah dihasilkan oleh al-Ghazali, dalam perpindahan dan pengembaraannya dari satu tempat ke tempat yang lain. Pertama, ketika ia di Baghdad, ia pernah di daulat menjadi pengajar dan guru besar di perguruan tinggi Nizhamiyah selama kurang lebih (empat) tahun. Kedua, ketika ia meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke Damaskus, di Damaskus untuk menjalankan cara hidup yang sama sekali lain dari kehidupannya ketika di Baghdak. Ia menetap hampir 2 tahun di Damaskus untuk berkhalwat melatih dan berjuang keras membersihkan diri, akhlak, dan menyucikan hati dan beri’tikaf di mesjid Damaskus. Ketiga, kemudian ia berpindah ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem, tempat para nabi di utus, seperti Ibrahim dan Isa. Keempat, ia meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut di kuasai Tentara Salib, terutama ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492 H/1099 M, kemudian ia pun berangkat ke Kairo Mesir, yang merupakan pusat kedua peradaban Islam sesudah Baghdad. Kelima, dari Kairo, iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana ia hendak berangkat ke Maroko, namun Ia mengurungkan niatnya untuk pergi memenuhi undangan ke Maroko, ia tetap tinggal di Mekkah, untuk melaksanakan kewajiban yang ke lima dalam rukun Islam, yakni melaksanakan ibadah haji. Keenam, setelah lama dalam pengasingan spiritual, setelah meyakinkan dirinya bahwa ‘kaum sufilah orang yang menempuh jalan kepada Allah secara benar dan langsung, dan setelah merasa mencapai tingkat tinggi dalam realitas spiritual, al-Ghazali mulai merenungkan dekadensi moral dan religious pada komunitas kaum muslimin saat itu. Kebetulan bersamaan itu, Fakhr al-Muluk, penguasa Khurasan memintanya untuk mengajar di Naisabur, tahun 1105 M. Di di sini al-Ghazali tidak lama, hanya sekitar 5 tahun, karena pada tahun 1110 M, ia kembali ke Thus.
Di tempat kelahirannya ini al-Ghazali mendirikan Madrasah Fiqh, madrasah ini khusus untuk mempelajari ilmu hukum dan membangun asrama (khanaqah) untuk melatih para sufi belajar ilmu tasawuf. Di Thus ini al-Ghazali menghabiskan sisa hidupnya sebagai pengajar agama dan guru sufi disamping mencurahkan diri dalam peningkatan spiritual. Al-Ghazali meninggal pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H. bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1111 M, dalam usia 55.
B. Karya-Karya Monumental al-Ghazali
Al-Ghazali adalah salah seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam yang sangat produktif dalam menulis. Dalam masa hidupnya, baik ketika menjadi pembesar negara di Mu`askar maupun ketika sebagai profesor di Baghdad, baik sewaktu skeptis di Naisabur maupun setelah berada dalam perjalanannya mencari kebenaran dari apa yang dimilikinya, dan sampai akhir hayatnya, al-Ghazali terus berusaha menulis dan mengarang.
Menurut catatan Sulaiman Dunya, karangan al-Ghazali mencapai 300 buah. Ia mulai mengarang pada usia 25 tahun. Waktu yang ia gunakan untuk mengarang terhitung selama 30 tahun. Dengan perhitungan ini, setiap tahun ia menghasilkan karya tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan kecil, meliputi beberapa kajian ilmu pengetahuan, antara lain: filsafat dan ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, tafsir, tasawuf, dan akhlak.
Dalam sumber lain dijelaskan bahwa jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy, penelitian paling akhir tentang jumlah buku yang dikarang oleh al-Ghazali adalah yang dilaukan oleh Abdurrahman al – Badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalam satu buku yang berjudul Muallafat al-Ghazali.
Dalam kitab itu al-Badawi membuat klasifikasi kitab-kitab yang telah dikarang dan diduga sebagai karya al-Ghazali menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan keasliannya sebagai karya al-Ghazali terdiri dari 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karya asli al-Ghazali terdiri atas 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah kitab.
Karya-karya al-Ghazali meliputi bidang ilmu yang populer pada zamannya, yaitu ilmu kalam, tafsir al-Qur’an, ushul fiqh, tasawuf, mantiq, fiqih, falsafat, dan lainnya. Di antara karyanya yang paling monumental adalah:
1. Ihyal Ulum al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama); sebuah kitab yang ditulis untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan antra dimensi eksoterik dan esoterik Islam. Kitab ini dikarang al-Ghazali selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Damaskus, Baitul Maqdis, Makkah dan Thus. Kitab ini merupakan perpaduan dari beberapa disiplin ilmu, diantaranya fiqh, tasawuf dan filsafat.
2. Maqashid al-Falasifat (Tujuan-tujuan para filosof). Kitab ini berisi tentang ringkasan ilmu-ilmu filsafat, dijelaskan juga ilmu-ilmu mantiq, fisika dan ilmu alam. Menurut Dunya karya al-Ghazali ini memaparkan tentang tiga persoalan pokok dalam filsafat Yunani (logika, metafisika dan fisika) dengan bahasa yang sederhana, sehingga kitab ini dapat memudahkan para pemula yang mengkaji filsafat Yunani, dengan susunan yang sistematis dan bahasanya yang sederhana serta mudah dicerna.
3. Tahafut al-Falasifah (kerancuan pemikiran para filosof). Dalam kitabnya ini al-Ghazali mengemukakan tentang pertentangan (kontradiksi) yang ada dalam ajaran filsafat, baik pada masa klasik maupun filsafat yang dikembangkan oleh filosof muslim seperti Ibnu Sin dan Al-Farabi, serta dijelaskannya juga ketidaksesuaiannya dengan akal. Dalam kitab ini al-Ghazali menunjukkan beberapa kekeliruan dan kerancauan pemikiran para filosof Yunani terutama aristoteles dan para pengikut mereka, seperti filosof Muslim al-Farabi (m. 950) dan Ibnu Sina (m. 1037). Dalam karyanya ini Dunya menilai bahwa al-Ghazali berhak mendapat predikat sebagai filsuf Islam, meskipun isinya banyak menyerang para filosof dan menghancurkan para filosof di mata umat Islam, namun cara-cara yang dipakai dalam mengkritik ini menggunakan cara-cara filsafat.
4. Al-Munqidz min al-Dhalal (Sang Penyelamat dari Kesesatan). Karya al-Ghazali ini merupakan autobiografi (sejarah kehidupannya) yang memuat perkembangan intelektual dan spiritual pribadinya. Dalam karyanya ini al-Ghazali juga mendeskripsikan tentang penilaiannya terhadap metode para pencari kebenaran, jenis macam pengetahuan dan epistemologinya. Al-Ghazali dalam pendahuluan kitabnya menyatakan bahwa motivasi yang mendorongnya menulis buku ini adalah untuk memenuhi permintaan saudara seagama yang meminta agar ia menyampaikan pendapatnya tentang kebenaran dan kekeliruan ilmu-ilmu yang di dalaminya serta pengalaman-pengalaman pribadinya dalam mencari kebenaran.
5. Karya lain di bidang filsafat, logika dan ilmu kalam antara lain, Mi’yar al-ilmi (standar ilmu), al-Iqtashad fi al-‘Itiqad(moderasi dalam berkeyakian), Mahku A-Nadhar fi al-Mantiq (uji pemikiran dalam ilmu manthiq).
6. Karya al-Ghazali lain di bidang ilmu-ilmu agama; Jawahir Al-Qur’an (mutiara-mutiara yang terkandung dalam al-Qur’an), Mizan al-‘Amal (Kriteria amal perbuatan), Misykat Al-anwar (lentera cahaya-cahaya), Faishal al-Tafriq baina al-Islam wa Al-Zindaqah (perbedaan pemisah antara Islam dan Zindiq), AlQisthas al-Mustaqim (Neraca yang adil), Ayyuhal Walad (wahai anakku!), al-Adab fi al-Dien (sopan santun dalam keagamaan), dan lain-lain.
Berikut secara daftar nama-nama sebahagian buku/kitab karya al-Ghazali:
· Ihya` `ulum ad-Diin
· Tahafut al-Falasifah
· Al-Iqtishad al-I`tiqad
· Al-Munqidz min adh-Dhalal
· Faishal at-Tafriq Baina al-Islam wa al-Zindiqah
· Al-Mustadhhiry
· Hujjat al-Haq
· Mufahil al-Khilaf fi Ushul ad-Diin
· Kimiya as-Sa`adah
· Ad-Darar al-Fakhirah fi Kasyfi `Ulum al-Akhirah
· Al-Anis fi al-Wahdah
· Al-Qurbah ila Allah `Azza wa Jalla
· Akhlaq al-Abrar
· Bidayat al-Hidayah
· Al-Arba`in fi Ushul ad-Diin
· Adz-Dzari`ah ila Mahakim Asy-Syari`ah
· Al-Mabadi wa al-Ghayat
· Talbisu Iblis
· Al-`Amali
· Isbat an-Nadhar
· Al-Ma`akhidz
· Al-Qaul al-Jamil fi ar-Raddi `ala Man Ghayyara al-Injil
· Ar Risalah al-Qudsiyyah
· Jawahir al-Qur`an
· Mizan al-`Amal
· Al-Maqashid al-Asna fi Maani Asmaillah al-Husna
· Al-Qishash al-Mustaqim
· Al-Basith
· Al-Wasith
· Al-Wajiz
· Al-Khulashah al-Mukhtasharah
· Yaqut at-ta`wil fi Tafsir at-Tanzil
· Al-Mustasfa
· Al-Mankhul
· Al-Muntaha fi `Ilmi al-Jadal
· Mi`yar al-`Ilmi
· Al-Maqashid
· Al-Madnun bihi `ala Ghairi Ahlihi
· Misykat al Anwar
· Mahku an-Nadhar
· Asraru `Ilmi ad-Diin
· Minhaj al-`Abidiin
· Nashihat al-Muluk
· Syifa`u al-`Alil fi al-Qiyas wa at-Talil
· Iljam al-Awwam `an `ilmi al-Kalam
· Al-Intishar lima fi al-Ajnas min al-Asrar
· Al-`Ulum al-Laduniyyah
C. Pandangan al-Ghazali terhadap Filsafat dan Para Filosof
Dalam fase awal-awal perkembangan intelektualnya, al-Ghazali banyak berkarya di bidang ilmu-ilmu syariat ketika masih di Baghdad. Namun, setelah itu dalam kurun dua tahun al-Ghazali memahami filsafat dengan seksama, hampir setahun ia terus merenungkannya, mengulang-ulang kajiannya, dan membiasakan diri dengannya, di samping meneliti kebohongan dan penyelewengan yang terkandung di dalamnya. Pada saat itulah al-Ghazali menyingkap pemalsuan dan tipuan-tipuan, serta membedakan unsur yang benar dan yang cuma khayalan.
Dalam al-Munqidz min al-Dhalal, al-Ghazali memberikan klasifikasi filosof sekaligus memberikan penilaian (vonis kekafiran) kepada mereka;
Pertama, pengikut ateisme (al-Dahriyyun); kelompok ini merupkan golongan filosof yang mengingkari Tuhan yang mengatur alam ini dan menentang keberadaan-Nya. Mereka mempunyai dugaan kuat bahwa alam telah ada dengan sendirinya tanpa campur tangan Tuhan. Mereka berkeyakinan bahwa hewan berasal dari sperma dan sperma berasal dari hewan, dari zaman dahulu dan selamanya tetap seperti itu. Menurut al-Ghazali mereka itu orang-orang yang tidak mengenal Tuhan.
Kedua, Pengikut faham naturalisme (al-Thabi’iyyun); mereka merupakan golongan filosof yang setelah sekian lama meneliti keajaiban hewan dan tumbuh-tumbuhan (alam atau thabi’ah) dan menyaksikan tanta-tanda kekuasaan Tuhan, akhirnya mereka mengakui keberadaan-Nya. Namun karena terlalu banyak meneliti alam, mereka terkesan dengan watak biologis hewan yang memiliki pengaruh terhadap daya-daya inderawi mereka. Akibatnya, mereka pun berpendapat bahwa daya pikir manusia tergantung pada watak biologisnya, dan ketika watak biologisnya hilang, maka hilang pulalah daya pikirnya. Pada akhirnya, mereka berpandangan bahwa tidak mungkin mengembalikan sesuatu yang telah tiada. Mereka berkeyakinan orang yang telah tiada ruhnya tidak akan kembali. Selain itu mereka juga menentang eksistensi akhirat, surga, neraka, hari kiamat dan hisab.
Ketiga, penganut filsafat Ketuhanan (ilahiyyun); mereka adalah golongan filosof yang percaya kepada Tuhan, mereka para filosof Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles, serta orang-orang yang mengekor pada pemikiran mereka. Kelompok ilahiyyun ini pada garis besarnya membantah dua kelompok pertama yaitu dahriyyun dan thabi’iyyun. Al-Ghazali lebih lanjut menyatakan bahwa Aristoteles pada fase berikutnya menolak dan menyanggah dengan tegas pandangan Plato dan Socrates beserta pendahulunya yang mengikuti filsafat ketuhanan sehingga ia keluar dari ruang lingkup mereka. Hanya sayangnya, dalam filsafatnya, ia masih menyisakan beberapa hal kecil yang setidaknya masih mengandung indikasi kekufuran yang belum dapat ia lepaskan. Dari pandangan itu al-Ghazali menvonis kafir, termasuk para filosof Islam yang terinspirasi pandangan-pandangan Aristoteles seperti Ibnu Sina dan al-Farabi.
Dalam Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali memandang para filosof telah melakukan kerancuan, setidaknya ada 20 masalah yang menyebabkan para filosof ini menjadi ahli-ahli al-bid’at dan kafir. Dari 20 persoalan ini, al-Ghazali menegaskan bahwa para filosof menjadi kafir karena tiga masalah:
Pertama, para filosof yang berpendapat bahwa alam itu qadim (tidak mempunyai permulaan), ini merupakan pendapat Aristoteles dan pengikutnya. Para filosof muslim sebelum al- Ghazali mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Para filosof kala itu beralasan tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada. Menurut al-Ghazali yang qadim (tidak mempunyai permulaan) hanyalah Tuhan semata. Maka, selain Tuhan haruslah baru (hadits). Karena apabila terdapat sesuatu yang qadim selain Tuhan, maka dapat memunculkan paham; apabila yang qadim banyak, berarti Tuhan banyak; pemikiran ini tentu menimbulkan kemusyrikan yang pelakunya dosa besar yang tidak dapat diampuni Tuhan; atau masuk golongan Ateisme yang menyatakan bahwa alam yang qadim tidak perlu adanya pencipta.
Kedua, pendapat filosof yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mungkin mengetahui hal-hal yang bersifat partikular (pendapat yang dipegangi oleh Ibnu Sina). Mula-mula pendapat ini dipegangi oleh Aristoteles kemudian dianut oleh para filosof Muslim. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya sendiri (juz’iyat) dengan alasan alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan pada zat-Nya. Perubahan pada obyek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah. Al-Ghazali mengkritik seraya mengatakan bahwa para filosof itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurutnya, sebuah perubahan pada obyek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, sebagaimana halnya kalau ada orang berdiri di sebelah kanan kita, kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka yang berubah sebenarnya dia, bukan kita. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan.
Untuk memperkuat bangunan argumen dalam mengkritik para filosof Muslim, al-Ghazali mengemukakan dalil ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Allah mengetahui segala yang di bumi, baik itu kecil maupun besar, di antaranya:
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”(Q.S. Yunus: 61).
Dalam ayat lain, Allah berfirman, “Katakanlah: “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?” (Q.S. Al-Hujurat: 16).
Ketiga, penolakan filosof terhadap kebangkitan jasmani dan mortalitas jiwa individu. Para filosof Muslim sebelum al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan dari alam kubur menuju akhirat nanti adalah rohani semata, sedangkan jasmani akan hancur lebur. Menurut mereka, akan merasakan kebahagiaan atau siksaan adalah rohani semata. Al-Ghazali dalam mengkritik pendapat para filosof tersebut lebih banyak bersandar pada arti tekstual Al-Qur’an, yang menurutnya tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan (siksaan) fisik dan rohani secara bersamaan. Allah Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu dan untuk itu tidaklah ada keraguan sedikitpun Allah akan mengembalikan rohani pada jasmani di akhirat nanti.
Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan bahwa kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan terdapat beberapa hadis yang menyebutkan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atau siksa kubur dan lain-lain. Semua itu sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sementara itu kebangkitan jasmani secara eksplisi telah ditegaskan syara’ (agama), dengan arti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan.
D. Pemikiran Filsafat al-Ghazali
Sering orang memahami filsafat al-Ghazali dengan anggapan bahwa al-Ghazali tabu dengan filsafat, bahkan menentang filsafat. Para ilmuwan bahkan juga berpendapat bahwa ia bukanlah seorang filosof karena ia menentang dan memerangi filsafat serta membuangnya. Tudingan ini perlu dikaji secara mendetail apa yang sebenarnya yang dimaksud filsafat oleh al-Ghazali dan filsafat apa yang boleh dan yang tidak boleh. Kajian ini perlu diungkap supaya mudah memetakan al-Ghazali sebagai filsuf, sufi dan juga fuqaha.
Tentangan pada filsafat yang di lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut:
”...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya, mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi, mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...”
Filsafat menurut al-Ghazali terbagi atas enam bagian, yaitu: ilmu pasti, ilmu logika, ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu politik, dan ilmu akhlak. Di samping itu, pada dasarnya al-Ghazali tidak menyerang semua cabang filsafat tersebut, kecuali filsafat ketuhanan, dimana para filsuf amat mengagungkan peranan akal yang mengalahkan agama dan syariat sebagaimana yang dijelaskan dalam kutipan di atas.
Menurut al-Ghazali, secara teoretis, akal dan syara` tidak bertentangan secara hakiki, karena semuanya adalah cahaya petunjuk dari Allah SWT. Demikian juga ditinjau dari segi praktis, tidak ada hakikat agama yang bertentangan dengan hakikat ilmiah. Al-Ghazali melihat bahwa satu sama lainnya saling mendukung dan membenarkan.
Menurut al-Ghazali, “ Akal bagaikan penglihatan sehat, sedangkan al-Qur`an bagaikan matahari yang menebarkan sinarnya. Satu sama lainnya saling membutuhkan, kecuali orang-orang bodoh, yakni orang yang mengabaikan akal dan mencukupkan diri dengan al-Qur`an. Mereka bagaikan orang yang melihat matahari dengan menutup kelopak mata. Tidak ada bedanya antara orang seperti ini dengan orang buta. Dengan demikian, menurut al-Ghazali, akal tidak mungkin menetapkan suatu kebenaran yang dinafikan syara` dan syara` tidak akan membawa suatu keyakinan yang tidak dapat diterima oleh akal.
Dari berbagai uraian tersebut, tampak bahwa ilmu logika (akal), menurut al-Ghazali, merupakan instrumen untuk memahami dalil-dalil syari`at. Akan tetapi, akal atau berfilsafat yang tahu akan batasnya dan tidak menghalangi dirinya untuk mendapat nur yang lebih besar, yaitu nur wahyu ilahi. Dengan kata lain, akal atau berfilsafat membenarkan hukum secara pasti, atau paling tidak, berfilsafat adalah berfikir secara mendalam tentang sesuatu; mengetahui apa (mahiyah), bagaimana dan nilai-nilai dari sesuatu itu.
Berikut ini beberapa pemikiran/pandangan al-Ghazali dalam kelompok ilmu filsafat yang berhubungan dengan filsafat ketuhanan:
1. Filsafat Metafisika al-Ghazali
Dalam al-Munqidz, al-Ghazali telah mengklasifikan filosof menjadi tiga kelompok di atas. Setelah itu al-Ghazali mencoba mengalihkan perhatian pada pembagian ilmu-ilmu mereka dari segi tujuan yang ingin dicapai. Dalam pandangannya, al-Ghazali menggolongkan ilmu-ilmu tersebut menjadi 6 kelompok; yaitu matematika, logika, fisika, metafisika, politik, dan etika. Di antara menjadi fokus di sini adalah metafisikanya. Berbicara metafisika, tidak bisa lepas dengan masalah ketuhanan (ilahiyyat). Madkour menyebutkan bahwa dalam masalah ketuhanan, al-Ghazali banyak mengikuti dan membentengi aliran Asy’ariyah. Al-Ghazali sebagaimana penganut al-Asy’ariyah mencoba menselaraskan akal dengan naql. Ia berpendapat bahwa akal harus dipergunakan sebagai penopang, karena ia biasa mengetahui dirinya sendiri dan bisa mempersepsi benda lain. Namun al-Ghazali menghentikan akal pada batas-batas tertentu, dan hanya naql-lah yang bisa melewati batas-batas ini. Meskipun demikian, menurut , al-Ghazali, argumentasi-argumentasi yang telah dibangun al-Asy’ari mengenai konsep ketuhanan (ilahiyyat) lebih mendekati pada argumentasi yang bersifat filosofis daripada argumentasi agamis. Oleh karenanya, al-Ghazali kemudian mencoba kepada jalan lain yang dianggapnya lebih agamis, yaitu menempuh jalan tasawuf.
2. Wujud dan Sifat Allah
Dalam perdebatan terkait sifat-sifat Allah, al-Ghazali memegang pendapat yang dianut oleh al-Asy’ari, sehingga tidak menerima pendapat yang dikemukakan oleh kaum Hasywiyah maupun Mu’tazilah, karena kedua aliran ini dianggap sebagai aliran kaum ekstrimis. Aliran Hasywiyah berpedoman teguh pada arti dari suatu teks (ayat al-Quran dan al-Sunnah) agar mereka tidak menghindarkan Allah dari berbagai sifat, sehingga mereka terkesan antropomorfis (tajsim). Sebaliknya Mu’tazilah berlebih-lebihan dalam menyucikan Allah, sehingga mereka harus menafikan sifat-sifat Allah. Yang paling baik menurut al-Ghazali adalah jalan tengah. Lebih tegas al-Ghazali menjelaskan. Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam. Allah menciptakan alam dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, karena kehendak Allah adalah sebab bagi segala yang ada (al-maujudat), sedang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Lebih lanjut al-Ghazali menetapkan adanya sifat Zat yang diistilahkan dengan sifat Salbiyah, yakni sifat yang menafikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kesempurnaan Zat Allah. Sifat Salbiyah ini ada lima; Qidam, Baqa’, mukhalafat li alhawaditsi, qiyamuhu binafsihi, dan wahdaniyah. Dengan adanya sifat-sifat ini pada Zat Allah, maka menjadi tiada kesempurnaan makhluk dan hanya Allah-lah yang maha sempurna.
Sedangkan tentang wujud Allah, Al-Ghazali tidak jauh berbeda dengan pendapat para filosof paripatetik lainnya, semisal al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina. Bahwa Tuhan merupakan prima kausa (penyebab pertama). Menurut mereka Allah Esa tak terbilang, sama sekali tidak menyamai makhluk-makhluk-Nya, kekal dan tak akan Fana. Menurut al-Farabi, Allah adalah Pencipta Yang Maha Kuasa dan Maha Bijak, Allah adalah Dzat yang harus ada karena diri-Nya sendiri (wajib al-Wujud di Dzatihi) dan sebab pertama dalam segala entitas (kausa prima). Wujud-Nya merupakan wujud yang paling sempurna, Maha Suci dari segala kuasa seperti materi, bentuk, aksi dan efisiensi. Allah dengan subtansi-Nya merupakan akal aktual
(aql bi al-fi’l) karena Dia suci dari materi. Dengan subtansi-Nya, Allah juga ma’qul (kategori, obyek pengetahuan), karena Dia mengetahui Dzat-Nya. Terkait dengan penciptaan alam, menurut al-Farabi dan Ibnu Sina bahwa wujudnya alam bukanlah diciptakan, Allah memang prima kausa, penyebab pertama, penggerak pertama, wajib al-Wujud. Namun, Allah bukanlah pencipta alam, melainkan sebagai penggerak pertama. Allah menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran (emanasi). Dengan demikian, Allah menciptakan alam semenjak azali alam semenjak azali dengan materi alam berasal dari energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baru berasal dari pancaran pikiran Akal Pertama.
Menurut al-Ghazali teori ketuhanan (ilahiyyat) al-Farabi dan Ibnu Sina yang teperngaruhi oleh filsafat Aristoteles, lebih me-Mehasuci-kan dan me-Mahaabstrak-kan Tuhan dibandingkan dengan yang dikembangkan oleh kaum Mu’tazilah, menjauhkan Tuhan secara total dari segala yang memiliki cela inderawi dan materi. Tuhan digambarkan secara rasional murni, yang lebih mendekati teori transenden dan tak terhingga yang dikembangkan oleh filosof-filosof modern. Lebih jelas al-Ghazali mengemukakan, pemikiran al-Farabi dan Ibnu Sina tersebut jelas-jelas tidak bisa diterima dalam pandangan Islam. Sebab, dalam ajaran Islam (yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits) Allah merupakan Dzat yang Pencipta (al-Khaliq), yaitu yang menciptakan sesuatu dari tiada. Kalau alam dikatakan qadim, tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dan dengan demikian Tuhan bukanlah Pencipta.
3. Iradah (Kehendak) Allah dan Hubungannya dengan Hukum Kausalitas
Alam merupakan sesuatu yang diciptakan, al-Ghazali mengungkapkan bahwa alam (dunia) itu berasal dari iradah (kehendak) Allah semata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya, sebagaimana yang diyakini oleh filosof Islam sebelumya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini. Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Al-Ghazali sebenarnya tidak mengingkari adanya hukum kausalitas. Namun yang ia ingkari adalah pendapat para filosof Muslim yang mengatakan bahwa hubungan sebab akitab merupakan hubungan kepastian atau keniscayaan. Sikap al-Ghazali ini didasari oleh konsep bahwa Allah adalah pencipta segala yang ada termasuk peristiwa yang berada di luar kebiasaan. Al-Ghazali sangat menekankan pada kehendak Tuhan, suatu sifat yang mentransformasikan diri dalam potensi (dan aktualitas) tindakan. Dengan mempertimbangkan premis-premis ini, adakah tempat bagi sebab-sebab alamiah ataucausae secundae dalam sistem pemikiran al-Ghazali? Malah kausalitas mungkin merupakan masalah yang paling banyak dibahas dalam literatus historiografis tentang pemikir ini. Bahkan belakangan ini sejumlah sarjana menggarap masalah ini.
Menurut al-Ghazali, hubungan antara sebab dan akibat tidak bersifat dharuri (kepastian), dalam pengertian keduanya tidak merupakan hubungan yang mesti berlaku, tetapi keduanya masing-masing memiliki individualitasnya sendiri. Sebagai contoh, antara makan dan kenyak tidak terdapat hubungan yang bersifat keniscayaan. Artinya, orang makan tidak niscaya merasa kenyang karena makan tidak mesti menyebabkan orang kenyang, begitu pula kertas tidak mesti terbakar meski terkena api. Ini merupakan adat kebiasaan alam, bukan sesuatan keniscayaan. Terjadinya segala sesuatu itu hanya karena kekuasan dan kehendak Sang Maha Pencipta yaitu Allah Swt. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api itu atau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.
Namun, merupakan sebuah kesalahan jika ada yang menyatakan bahwa al-Ghazali menolak secara mutlah keberadaan kausalitas alamiah, menolak fakta bahwa api membakar kapas adalah sangat bodoh. Yang ditolak al-Ghazali adalah keberadaan hubungan yang niscaya antara sebab dan akibat yang terlepas dari kehendak Tuhan yang menciptakan hakikat membakar. Jika dunia yang mungkin adalah dunia tempat segala kemungkinan, al-Ghazali mengklaim bahwa kemungkinan in hanyalah karena tindakan bebas Tuhan. Kesulitannya bukan terletak pada keberadaan objektif hal-hal konkret hanya karena Tuhan menciptakan mereka.
Dalam pemikirannya tentang kausalitas, selain al-Ghazali, ada seorang filosof barat yang bernama David Hume yang menyuarakan pemikiran, namun al-Ghazali tentu lebih dahulu dalam teori kausalitas ini. Menurut al-Ghazali, hubungan kausalitas hanyalah penampakan dan merupakan efek dari kebiasaan manusia yang mengaitkan dua kejadian yang tejadi secaa konsisten dalam alam; “Kontinuitas kebiasaan (‘adah) berkenaan dengan mereka (yaitu, hal-hal yang kelihatannya niscaya, tetapi sebenarnya hanya munkin), dari waktu ke waktu, menanamkan dengan kuat dalam pikiran kita kesan aliran (jarayan) yang sesuai denga kebiasaan yang lalu sehingga kontinuitas tidak dapat dipisahkan dari hal-hal tersebut”.
Kebiasan yang menyimpang dari hukum kausalitasnya sejatinya terjadi pada nabi-nabi Allah. Terkait dengan hal ini, Zar menjelaskan dengan memberi pertanyaan, apakah hal ini terjadi karena kekuatan diri nabi sendiri atau disebabkan hal lain? Dalam hal ini baik para filosof Muslim maupun al-Ghazali mempunyai pendapat yang sama, sebagaimana para filosof bisa menerima terjadinya hujan petir, gempa bumi atas kekuatan diri nabi atau karena hal lainnya. Namun yang lebih penting kata al-Ghazali, harus mengakui bahwa semuanya melalui perantaraan malaikat sebagai mu’jizat untuk menguatkan bukti kenabian mereka.
4. Teori Ilmu Pengetahuan dan Keimanan
Ilmu merupakan sumber kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan bodoh dan tidak mengetahui arah hidup dalam prikehidupan. Sebagai seorang ilmuwan besar, al-Ghazali berupaya membuat sebuah karya-karya tulis yang bersifat memotivasi seseorang untuk selalu menggali ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Di dalam karyanya al-Ghazali yang berjudul Ihya` Ulum Ad Din yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini merupakan sebuah karya al-Ghazali yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama kalam sebagai bahan kajian untuk amalan-amalan baik manusia. Karena di dalam buku itu banyak menjelaskan tentang ilmu-ilmu keagamaan Islam, ke-Esa-an Allah, dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan syariat.
Pada karyanya yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al Munqidz min Ad Dhalal al-Ghazali berpendapat bahwa:
” Ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi tasawuf. Al-Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori Al Ittihad) karena bertentangan dengan ajaran agama.”
Di lain karyanya yang berjudul The Juwels of the Qur’an (mutiara al-Qur’an) dan Mizan Al-Amal ( timbangan amal ), al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi empat bagian:
a) Pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.
b) Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai (hushuli).
c) Pembagian atas ilmu-ilmu religius (syar’iyyah) dan intelektual (aqliyah).
d) Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhu’ain (wajib atas setiap individu) dan fardhu kifayah (wajib atas umat).
Di antara empat hal dari klasifikasi ilmu di atas yang telah diuraikannya, yang paling luas di bahas olehnya dalam melakukan pengajaran/diskusi adalah pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu intelektual dan religius. Namun menurutnya, yang jelas keempat sistem klasifikasi di atas sangat absah, dan mempunyai derajat yang sama. Kalau dilihat pemikiran dari al-Ghazali, maka akan terlihat pendapatnya yang banyak menentang aliran-aliran filsafat. Menurutnya banyak orang-orang yang menyimpang dari ajaran agama saat mempelajari filsafat, karena kebanyakan manusia di saat mempelajari filsafat tanpa sebuah pegangan yang kuat atau dasar yang kuat.
Filsafat menurutnya lebih banyak mengedepankan akal daripada dalil untuk mencari sebuah kebenaran. Oleh sebab itu, al-Ghazali banyak dikenal oleh para masyarakat seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak melibatkan dirinya kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan tasawuf pantheisme. Sedangkan pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam.
5. Filsafat Jiwa dan Akhlak
Manusia menurut al-Ghazali diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa, yang menjadi inti hakikat manusia adalah makhluk spiritual rabbani yang sangat halus ( Lathifah rabbaniyyah ). Istilah-istilah yang digunakan al-Ghazali untuk itu adalah qalb, ruh, nafs, dan `aql.
Jiwa bagi al-Ghazali adalah suatu zat (jauhar) dan bukan suatu keadaan atau aksiden (`ardh), sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa dan bukan sebalikna. Jiwa berada di alam spiritual, sedangkan jasad di alam materi. Jiwa, bagi al-Ghazali, berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya illahiyah. Ia tak pre-eksisten, tidak berawal dengan waktu, seperti menurut Plato dan filsuf lainnya. Tiap jiwa pribadi diciptakan Allah di alam atas (alam al-arwah) pada saat benih manusia memasuki rahim, dan jiwa lalu dihubungkan dengan jasad. Setelah kematian, jasad musnah, tetapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan kematian tersebut, kecuali kehilangan wadahnya.
Bagi al-Ghazali, jiwa yang berasal dari Ilahi mempunyai potensi kodrat, yaitu kecenderungannya pada kebaikan dan keengganan pada kekejian. Pada waktu lahir, jiwa merupakan zat yang bersih dan murni dengan esensi malaikat (alam al-malakut), sedangkan jasad berasal dari alam al-khalaq. Oleh karena itu, kecenderungan jiwa, pada kejahatan (yang timbul setelah lahirnya nafsu) bertentangan dengan tabiat aslinya. Oleh karena itu, jiwa rindu akan alam atas dan ingin mendampingi para malaikat, namun kerap diredam keinginan duniawi.
Mengenai perihal kekekalan jiwa yang problematik itu, al-Ghazali menegaskan bahwa Tuhan sesungguhnya dapat menghancurkan jiwa, tetapi Dia tidak melakukannya. Disini, al-Ghazali berada di persimpangan pandangan sebagai mutakallimi (kemungkinan munculnya jiwa apabila dikehendaki Tuhan), dan pandangan sebagai filsuf (jiwa mempunyai sifat substansi kekal). Dengan demikian, bantahan al-Ghazali terhadap filsuf dalam bukunya, tahafut al-falasifah, bukan ditekankan pada kekekalan jiwa; yang dibantahnya adalah dalil-dalil rasional yang digunakan para filsuf untuk membuktikan kekekalan jiwa itu. Menurutnya, hanya jiwa syara` yang bisa menjelaskan persoalan al ma`ad (kehidupan di akhirat).
Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah setiap jiwa diberi jasad, sehingga dengan bantuannya, jiwa bisa mendapatkan bekal. Jiwa merupakan inti hakiki manusia dan jasad hanyalah alat baginya untuk mencari bekal dan kesempurnaan; karena jasad sangat diperlukan oleh jiwa maka ia harus dirawat baik-baik.
Mengenai filsafat akhlak, al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat akhlak al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari akhlak al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “At-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
BAB III. PENUTUP
A. Simpulan
Al-Ghazali merupakan pemikir muslim yang memberikan kontribusi besar dalam keilmuan Islam. Ia selalu hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari suasana baru, untuk mendalami pengetahuan dan mengajarkan pengetahuan. Pengembaraan dan pengalaman intelektualnya itu dituangkan dalam karya otobiografinya dalam kitab al-Munqidz min alDlalal.
Al-Ghazali sosok yang sangat unik dalam dunia pemikiran, banyak dari karya-karyanya menjadi obyek penelitian menarik minat kalangan pencinta ilmu dan akademisi, mulai dari kalangan dalam umat Islam sendiri (insider), maupun dari kalangan nonmuslim atau orientalis (outsider). Dalam mengkaji pemikiran al-Ghazali sedikitnya terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang kagum dan fanatik sehingga pro terhadap pemikiran al-Ghazali. Kedua, kelompok yang menganggap bahwa al-Ghazali banyak melakukan kesalahan dalam berkarya, kelompok ini kontra terhadap al-Ghazali. Ketiga, kelompok yang obyektif menilai al-Ghazali dari karya-karya dan perjalan hidupnya.
Al-Ghazali banyak mengikuti dan membentengi aliran Asy’ariyah. Dia mencoba menselaraskan akal dengan naql. Ia berpendapat bahwa akal harus dipergunakan sebagai penopang, karena ia biasa mengetahui dirinya sendiri dan bisa mempersepsi benda lain. Argumentasi-argumentasi yang telah dibangun al-Asy’ari mengenai konsep ketuhanan (ilahiyyat) lebih mendekati pada argumentasi yang bersifat filosofis daripada argumentasi agamis. Oleh karenanya, al-Ghazali kemudian mencoba kepada jalan lain yang dianggapnya lebih agamis, yaitu menempuh jalan tasawuf.
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis maupun pembaca sekalian. Penulis menyadari jika dalam penyusunan makalah ini masih banyak kesalahan serta jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis terbuka hati menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun, guna perbaikan kedepannya.
Sedikit pengetahuan yang disampaikan ini semoga bisa menjadi besar manfaatnya, dan dapat berguna untuk pengembangan diri maupun pengamalan yang baik dalam kehidupan sehari-hari sehingga apa yang diharapkan bisa dengan mudah didapatkan dan juga membahagiakan.
DAFTAR PUSTAKA
Atabik, Ahmad. “Telah Pemikiran al-Ghazali tentang Filsafat”. Jurnal Fikrah, Vol.2: STAIN Kudus, 2014.
Keren, Makalah. “Makalah Filsafat Imam Al-Ghazali”. Diakses pada Rabu 6 Maret 2024. https://manorarjunes.blogspot.com/2016/11/makalah-filsafat-imam-al-ghozali_73.html
Saran kami apabila akan digunakan untuk kepentigan karya ilmiah Anda, jadikan artikel ini sebagai referensi saja. Jangan sepenuhnya menyalin tanpa dipelajari terlebih dahulu. Lakukan beberapa perubahan di dalamnya seperti; perbaikan kekeliruan pada huruf, periksa kembali konten dan perbaiki apabila ada yang tidak sesuai dengan kaidahnya, sempurnakan konten pada karya Anda dengan menggabung beberapa sumber lain yang terkait.
Semoga bermanfaat dan menjadi berkah.