Akhlak Tasawuf: Tanya Jawab Seputar Tasawuf, Maqomat, dan Ahwal

Beberapa pertanyaan berikut jawabannya yang berkenaan dengan ketasawufan. Simak dan tetaplah bersama situs web kami!

TANYA JAWAB

Yogi Triswandani

5/19/20245 min baca

  1. Tidak mudah mendefinisikan tasawuf karena tasawuf adalah konsep yang kompleks. Tasawuf tentu tidak identik dengan kemiskinan, tidak juga identik dengan kehidupan menyepi sendiri tanpa pergaulan sosial, tidak juga identik dengan permusuhan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan (sains). Bagaimana menjelaskan ketidaksamaan tasawuf dengan ketiga hal ini?

1. Tasawuf tidak identik dengan kemiskinan.

Bertasawuf tidak berarti miskin dan lusuh. Sangat keliru menyamakan kesalehan dengan kemiskinan. Tasawuf sejati bukan tidak memiliki dunia, tetapi tidak dimilikidunia. Maka ketika dilanda kemiskinan, tasawuf bisa menjadi penawar.

Referensi: https://lib.ui.ac.id/detail?id=20408017&lokasi=lokal

2. Tasawuf tidak identik dengan kehidupan menyepi sendiri tanpa pergaulan sosial.

Nabi selepas menjalankan pengalaman spiritualnya di Hiro’ tidak berhenti di situ saja, tetapi beliau tetap berkhalwat dan zuhud di dalam kesehariannya, dalam pengertian menjauhkan dari ketamakan dunia: hub al-dunya, hub al-jah. Jadi bukan sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan orang selama ini, bahwa bertasawuf adalah identik dengan nyepi, mengasingkan diri dari pergaulan manusia (‘uzlah) untuk selamanya. Berkhalwat bisa berarti berkonsentrasi, mengkhususkan perhatian akan Khaliq-nya. Dari hasil khalwat itu diimplementasikan dalam bentuk amal saleh untuk kepentingan dunia dan akhirat baik secara mahdlah maupun sosial.

Referensi: https://uin-malang.ac.id/blog/post/read/131101/tasawuf-kontekstual.html

3. Tasawuf tidak identik dengan permusuhan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan (sains).

Tasawuf merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Perkembangan tasawuf baik secara teoritis maupun keilmuan praktis ternyata memiliki dampak yang luar biasa dalam mempengeruhi perkembangan ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi yang saat ini semakin canggih. Kelahiran tasawuf sebagai perwujudan dari pemahaman al-Qur’an dan al-Hadits sesuai dengan konteks zamannya. Namun, selama ini sebagian besar masyarakat memahami tasawuf secara pasif sebatas suatu sikap atau kesalehan individual saja. Seiring berkembangnya kajian tentang tasawuf, semakin banyak pula para pakar tasawuf yang banyak membedah tasawuf menjadi lebih kontekstual. Tasawuf hadir dalam rangka menyeimbangkan antara moral dengan perkembangan sains dan teknologi. Selain itu, tasawuf juga berfungsi untuk mengontrol pemanfaatan sains dan teknologi tersebut. Manusia dibekali akal bisa membuat kreativitas yang tidak terbatas, dan dengan bekal hati manusia bisa mengendalikan hasil kerja otak yang sangat dasyat itu. Jadi, relevansi tasawuf dalam perkembangan sains dan teknologi adalah tetap menyesuaikan diri dengan perkembangan sains dan teknologi dengan titik tekannya pada aspek moral dan penggunaannya serta menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Tasawuf dengan segala aspek ajaran-ajarannya memberikan semangat spiritualitas yang bersifat global kepada umat manusia agar para pelaku dan pengguna teknologi mawas diri.

Referensi: https://journal.walisongo.ac.id/index.php/wahana/article/view/9536

  1. Dalam sejarah tasawuf, kita mengenal ucapan al-Hallaj yang terkenal, yakni Ana al-Haqq (Aku adalah Kebenaran/Tuhan). Ucapan ini, bagi sebagian besar orang, dinilai syirik karena menyekutukan dirinya dengan Tuhan. Bagaimana pendapat anda?

Abul Mugits al-Husain bin Mansur al-Hallaj atau Mansour Hallaj (858 – Maret 922 / 244 H – 309 H) adalah seorang mistikus Persia, penyair, dan guru sufisme. Ia terkenal karena perkataannya: "Akulah Kebenaran" (Ana'l-Ḥaqq), yang dianggap oleh banyak orang sebagai klaim keilahian, sementara yang lain menafsirkannya sebagai contoh penghancuran ego, membiarkan Tuhan berbicara melalui dia. Al-Hallaj memperoleh banyak pengikut sebagai seorang pengkhotbah sebelum ia terlibat dalam perebutan kekuasaan di istana Abbasiyah dan dieksekusi setelah lama dipenjara atas tuduhan agama dan politik. Meskipun sebagian besar guru sufi sezamannya tidak menyetujui tindakannya, al-Hallaj kemudian menjadi tokoh utama dalam tradisi sufi.

Referensi: https://id.wikipedia.org/wiki/Al-Hallaj

Saya berpendapat bahwa kasus ini sama halnya seperti yang pernah saya dengar tentang kasus Wihdatul Wujud-nya Syekh Siti Jenar salahsatu walisongo Indonesia. Perkara dinilai syirik atau tuduhan lain sebagainya yang negatif terhadapnya, saya kira ini bukan ranah bagi pendapat pribadi saya. Namun disini saya hanya menyikapi permasalahan dari sudut pandang luarnya saja. Hemat saya, seandainya jika ini dimungkinkan sebagai ahwal yang al-Hallaj rasakan buah dari maqamat-nya itu hanya ia genggam sendiri, dalam arti tidak sampai di-up/post dan selanjutnya dikonsumsi masyarakat awam, tentu mungkin tidak akan menjadi konflik perbincangan yang akhirnya muncul berbagai statement terhadapnya. Urusan benar atau salah dalam hal ini cukuplah hanya Allah yang Maha Mengetahui. Namun karena yang sudah terjadi adalah masyarakat awam pun ternyata ikut mengkonsumsi, sehingga pada akhirnya muncul pemikiran-pemikiran dari para pemikir lain yang ikut mengomentari kasus tersebut. Wallahu a’lam.

Kecenderungan interpretasi saya dalam hal pemikiran terhadap kasus al-Hallaj ini, saya membawakannya melalui kutipkan artikel berikut:

WIHDATUL WUJUD (Oleh: Ustadz Muhammad Ashim bin Musthafa)

Hakikat Keyakinan Wihdatul Wujud

Keyakinan wihdatul wujud, merupakan pemahaman ilhadiyah (kufriyah) yang muncul setelah dipenuhi dengan keyakinan hulul. Yaitu, dalam istilah Jawa disebut manunggaling kawula lan gusti. Artinya, bersatunya makhluk dengan Tuhan, pada sebagian makhluk. Tidak ada keterpisahan antara keduanya. Muaranya, segala yang ada merupakan penjelmaan Allah Azza wa Jalla. Tidak ada wujud selain wujud Allah. Hingga akhirnya berpandangan, tidak ada sesuatu pun di alam semesta ini, kecuali Allah. Pemikiran sesat seperti ini, tidak lain kecuali berasal dari keyakinan Budha dan kaum Majusi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, bahwa mereka (orang-orang yang berkeyakinan dengan aqidah wihdatul wujud) telah melakukan ilhad (penyimpangan) dalam tiga prinsip keimanan (iman kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari Akhirat). Menurut Syaikhul Islam, dalam masalah iman kepada Allah, mereka menjadikan wujud makhluk merupakan wujud Pencipta itu sendiri. Sebuah ta’thil (penghapusan sifat-sifat Allah) yang sangat keterlaluan.

Pemahaman seperti ini sungguh sangat nista dan kotor. Karena, konsekwensinya berarti seluruh keburukan, binatang-binatang najis, kejahatan, iblis, setan, dan perihal buruk lainnya merupakan jelmaan Allah.

Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang mujrimin (berbuat kejelekan).

Referensi: https://almanhaj.or.id/2769-wihdatul-wujud.html

Jelaskan perbedaan maqamat dan ahwal secara bahasa dan istilah, dan berikan contohnya?

  1. Maqamat adalah bentuk jamak dari maqam, yang berarti tahap-tahap perjalanan atau secara lebih popular diterjemahkan sebagai “stasiun”, tidak ubahnya seperti stasiun kereta api yang harus kita lalui sepanjang perjalanan, dari titik start kita sampai kepada finish sebagai tujuan akhir perjalanan. Adapun Ahwal adalah bentuk jamak dari hal, biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.

Perbedaan yang mendasar antara maqamat dan ahwal terdapat dari cara mendapatkannya dan kelangsungannya. Maqamat adalah tahap-tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia, yang dipandang berhala terbesar dan kendala menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan tahun hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Sedangkan Ahwal sering diperoleh secara spontan dan berlangsung sebentar serta diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada ma qamat, melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan ilahi (divine flashes), yang biasa disebut lama’at. Di antara Ahwal yang sering disebut adalah takut, syukur, rendah hati, takwa, ikhlas, gembira.

Pengalaman subjektif terhadap atau di dalam dunia spiritual yang objektif inilah kiranya yang telah menyebabkan deskripsi, nama, dan urutan-urutan maqamat dari seorang sufi berbeda dengan yang lainnya. Ada yang memulainya dengan maqam taubat dan mengakhirinya dengan makrifat, seperti al-Kalabadzi. Ada juga yang memulainya dengan taubat dan mengakhirinya dengan ridha seperti al-Ghazali. Demikian juga jumlah maqamat yang mereka lalui, ada yang menyebutnya 10, 7, atau bahkan 6 maqamat. Demikian juga seperti yang digambarkan Ali Nadwi, ada yang menempuhnya secepat kilat seperti burung Rajawali, ada yang lambat seperti semut. Demikian juga kalau kita baca naskah-naskah sufi, ada yang mengatakan bahwa ridha, misalnya, sebagai maqam (al-Kalabadzi, al-Ghazali dan Qusyairi), ada juga yang menganggap sebagai Ahwal, seperti yang diyakini misalnya oleh Abu Utsman al-Hiri.

Selain perbedaan tersebut para sufi juga berbeda dalam hal kelangsungan dalam ahwal. Ada yang mengatakan bahwa beberapa ahwal adalah seperti kilatan. Kalau ini dikatakan menetap, maka menurut seorang guru al-Qusyairi, itu sekadar omongan nafsu. Tetapi di pihak lain, Abu Utsman al-Hiri justru mengatakan, jika hal tidak abadi dan tidak terdelegasikan, maka itu hanyalah kilatan, dan pelakunya tidak sampai pada hal yang sebenarnya. Apabila sifat tersebut menetap, maka itulah yang dinamakn hal.

Perbedaan persepsi terhadap maqamat dan ahwal adalah akibat pengalaman subjektif masing-masing sufi dalam perjalanan spiritualnya. Tidak ubahnya seperti serombongan turis yang mengunjungi sebuah kota juga akan memiliki persepsi dan deskripsi yang berbeda tentang kota itu. Perbedaan-perbedaan itu sama sekali tidak berarti bahwa pengalaman mereka itu halusinasi atau palsu dan menunjukkan ketidak objektifan dunia yang mereka alami, dengan alasan yang sama bahwa kita tidak bisa begitu saja menolak realitas “kota” yang dikunjungi para turis hanya karena perbedaan yang terdapat dalam laporan masing-masing anggota rombongan tersebut tentang kota yang mereka kunjungi. Jadi, pengalaman spiritual para sufi bisa subjektif tetapi dunia sufi yang mereka alami tetaplah objektif dan real. (Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Erlangga, 2006, hlm. 179-183).

Referensi:

Materi Kuliah Pertemuan ke-9. MK Akhlak Tasawuf. Dr. Izzuddin, M.A. Dosen PJJ PAI FITK IAIN Syekh Nurjati Cirebon. 2024.

Jawaban di atas bukan hasil kecerdasan buatan, melainkan murni hasil pencarian manual dari berbagai sumber tertera atau di platform digital. Benar atau tidaknya, diluar tanggungjawab penulis. Saran kami, jadikan artikel ini sebagai referensi saja. Jangan sepenuhnya menyalin tanpa dipelajari terlebih dahulu. Lakukan beberapa perubahan di dalamnya seperti; perbaikan kekeliruan pada huruf, periksa kembali konten dan perbaiki apabila ada yang tidak sesuai dengan kaidahnya, sempurnakan konten pada karya Anda dengan menggabung beberapa sumber lain yang terkait.

Semoga bermanfaat dan menjadi berkah.