Akhlak Tasawuf: Tanya Jawab Seputar Pelaku Sufi dan Insan Kamil

Beberapa pertanyaan berikut jawabannya mengenai hal-hal yang terjadi dalam kehidupan para tokoh sufi. Simak dan tetaplah bersama situs web kami!

TANYA JAWAB

Yogi Triswandani

6/2/202411 min baca

  1. Ada seorang sufi yang cintanya kepada Allah sangat membara hingga tak dapat mengontrol kesadarannya dan mengucapkan kata-kata yang melampaui batas-batas syariat, seperti dialami abu Manshur al-Hallaj. Namun di sisi lain, menurut pendapat yang lain, cinta kepada Allah tidak harus menjadi “gila” dan tak mampu mengontrol “kewarasan”, seperti dialami para Sahabat Rasulullah Saw. dan generasi Tabi’in. Menurut anda, apakah kualitas cinta dari dua kelompok sufi di atas sama tingginya ataukah yang satu lebih tinggi dari yang lain?

Ada ungkapan yang mengindikasikan infomasi mengenai generasi Islam terbaik, sebagaimana tercermin dalam 3 hadis berikut:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ أُمَّتِي مَثَلُ الْمَطَرِ لَا يُدْرَى أَوَّلُهُ خَيْرٌ أَمْ آخِرُهُ

Riwayat dari Anas r.a., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Perumpamaan umatku seperti perumpamaan hujan, tidak diketahui apakah yang terbaik itu ada pada permulaan atau pada akhirnya.” (H.R. Tirmidzi dan Ahmad)

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ الْقَرْنُ الَّذِي بُعِثْتُ فِيهِمْ

Riwayat dari Imran Ibn Hushain bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik umat ini adalah generasi yang aku di utus pada mereka.” (H.R. Ahmad)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Riwayat dari ‘Abdullah r.a. dari Nabi saw. bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada zamanku (generasiku), kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka. (H.R. Bukhari Muslim)

Ibn Qutaibah dalam karyanya Ta’wil Mukhtalif Al-HAdits, memberikan tanggapan terkait persoalan ini. Menurutnya, ketika Nabi menetapkan bahwa yang terbaik adalah generasi pada masanya, itu mengindikasikan bahwa para sahabat merupakan produk pertama umat Islam yang dididik langsung oleh Nabi Muhammad saw., di samping mereka juga merasakan penderitaan bersama Nabi, berjihad, membantu memelihara Al-Qur’an dan lain sebagainya, di mana hal tersebut tidak didapati oleh generasi setelahnya. Namun, Nabi saw. juga tidak mengabaikan bahwa di akhir zaman nanti, ada generasi yang memiliki kontribusi yang sebanding dengan kontribusi yang dilakukan oleh para sahabat Nabi.

Pandangan Ibn Qutaibah di atas kemudian dikembangkan oleh para pemikir Islam, seperti Muhammad Abduh, Syahrur, Abu Rayyah, dan Harun Nasution. Menurut mereka, generasi terbaik tidak mesti dispesifikasikan hanya kepada generasi Nabi (para sahabat) dan umat Islam akhir zaman. Semua generasi dapat menjadi generasi terbaik, dengan catatan mereka patuh dan taat kepada aturan-aturan Islam. Allah swt. sudah mengisyaratkan dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 13, إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

Yang terbaik di sisi-Nya adalah dia yang paling bertakwa.

Dan orang-orang yang bertakwa, tidak hanya ada di masa Nabi dan akhir zaman. Namun juga ada di masa setelahnya, pun di masa kita.

Nadirsyah Hosen dalam website pribadinya (nadirhosen.net), mengatakan bahwa potongan hadis-hadis yang membicarakan generasi terbaik (hadis kedua dan ketiga) di atas, memiliki teks lengkap, yaitu “kemudian akan datang setelah masa kalian, suatu kaum yang mereka bersaksi padahal tidak diminta bersaksi, dan mereka berkhianat sehingga tidak bisa dipercaya, mereka memberi peringatan tanpa diminta memberikan fatwa dan ciri dari mereka itu berbadan gemuk”.

Menurut Nadir, keterangan ini memberikan kita pemahaman bahwa 3 generasi awal dikatakan terbaik itu bukan semata-mata soal keimanan mereka, tetapi juga soal penegakkan hukum dan moral. Generasi selanjutnya menjadi redup sinarnya karena mereka telah memainkan kesaksian, nazar, dan fatwa sehingga mereka bergelimang harta duniawi yang dicirikan dengan tubuh mereka yang gemuk sebagai simbol kemakmuran.

Namun, kita juga tidak menafikan bahwa ada segelintir orang di masa Nabi yang dinilai Munafiq dan banyak melakukan kesalahan, seperti saling membunuh, mabuk-mabukan dan berzina. Begitu pula di akhir zaman, digambarkan banyak umat manusia yang terkecoh kehidupan dunia yang megah sehingga mengabaikan nilai-nilai agama. Berdasarkan hal ini, selayaknya generasi terbaik itu harus ditinjau dari segi individunya. Oleh karena itu, maka setiap generasi bisa mendapatkan predikat generasi terbaik, termasuk kita hari ini.

Referensi:

Aenul Yaqin. 2020. “Siapa Generasi Islam Terbaik Itu?”. Diakses Minggu 2 Juni 2024.https://bincangsyariah.com/kolom/siapa-generasi-islam-terbaik-itu/

Menyikapi perihal kualitas cinta dari dua kelompok sufi dalam pernyataan soal nomor 1 ini, menurut saya jika mengkaji keterangan dari sabda-sabda Nabi SAW. diatas, maka saya berargumen berikut:

1) Allah SWT. yang Maha Mengetahui akan kualitas kecintaan seseorang terhadap-Nya. Ini merujuk kepada penggalan Hadits Riwayat Tirmidzi dan Ahmad: “tidak diketahui apakah yang terbaik itu ada pada permulaan atau pada akhirnya”.

2) Sebagaiman penggalan hadits ke-2 dan 3 di atas, saya lebih cenderung pada pendapat “cinta kepada Allah tidak harus menjadi gila dan tak mampu mengontrol kewarasan, seperti dialami para Sahabat Rasulullah Saw. dan generasi Tabi’in. Mereka (para Sahabat dan Tabi’in) tidak terceritakan sampai mengalami gila atau lepas kontrol, padahal kecintaan dan ke-iman-annya kepada Allah dan Rasul-Nya disebut oleh hadits, terbaik setelah Rasulullah SAW.

3) Saya coba mengomentari pernyataan “mengucapkan kata-kata yang melampaui batas-batas syariat”, ini justru bertentangan dengan firman Allah QS. Al-Baqarah [2]: 229 تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَعْتَدُوْهَاۚ وَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

“….. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah, janganlah kamu melanggarnya. Siapa yang melanggar batas-batas (ketentuan) Allah, mereka itulah orang-orang zalim”.

Wallahu A’lam.

  1. Konsep wahdat al-wujud dalam literatur tasawuf sering disalahpahami sebagai paham yang berpandangan bahwa zat kawulo (makhluk) dan Gusti (Khaliq) dapat bersatu. Kesalahpahaman ini lalu berujung pada sikap mengkafirkan para sufi yang mengusung paham ini. Setelah dikafirkan, para sufi ini akhirnya dieksekusi mati seperti yang dialami al-Hallaj atau Suhrawardi al-Maqtul. Menurut anda: Apa makna wahdat al-wujud ini? Setujukah anda dengan pengkafiran ini?

Wahdat al-wujud adalah paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Paham ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham bahwa antara makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan, dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanya bayang atau foto copy dari wujud Tuhan. Paham ini juga mengatakan bahwa yang ada di alam ini kelihatannya banyak tetapi sebenarnya satu. Hal ini tak ubahnya seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin ia lihat dirinya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya dirinya hanya satu. Dalam Fushush al-Hikam sebagai dijelaskan oleh alQashimi dan dikutip Harun Nasution, paham wahdat al-wujud ini antara lain terlihat dalam ungkapan:

Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak.

Paham Wahdatul Wujud tersebut di atas mengisyaratkan bahwa pada manusia ada unsur lahir dan batin, dan pada Tuhan pun ada unsur lahir dan batin. Unsur lahir manusia adalah wujud fisiknya yang tampak sedangkan unsur batinnya adalah roh atau jiwanya yang tidak tampak yang hal ini merupakan pancaran, bayangan, atau foto copy Tuhan. Selanjutnya unsur lahir pada Tuhan adalah sifat-sifat ketuhanannya yang tampak di alam ini, dan unsur batinnya adalah zat Tuhan. Dalam wahdatul wujud ini yang terjadi adalah bersatunya wujud batin manusia dengan wujud lahir Tuhan, atau bersatunya unsur lahut yang ada pada manusia dengan unsur nasut yang ada pada Tuhan sebagaimana dikemukakan dalam paham hulul. Dengan cara demikian maka paham wahdatul wujud ini tidak mengganggu zat Tuhan, dan dengan demikian tidak akan membawa keluar dari Islam.

Selanjutnya jika kita buka Al-Qur'an, di dalamnya akan dijumpai ayat-ayat yang memberikan petunjuk bahwa Tuhan memiliki unsur zahir dan batin sebagaimana dikemukakan dalam paham wahdatul wujud itu. Misalnya kita baca ayat yang berbunyi:

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Hadid [57]: 3).

Referensi:

Dr. Izzuddin, M.A. 2024. “Wahdat al-Wujud”. Materi Kuliah Akhlak Tasawuf: Pertemuan ke 11. Kegiatan Belajar 10. PJJ-PAI FITK IAIN Syekh Nurjati. Cirebon.

Jelas, bahwa Wahdat al-wujud yang dimaksud bukan bersatunya wujud Allah dengan makhluk, seperti halnya seseorang yang kerasukan Allah. Ini kekeliruan yang sangat fatal, efeknya seperti tersebut diatas, yaitu “takfiri”. Sikap mengkafirkan para sufi terjadi mungkin karena terbukti dari pernyataan para sufi tersebut telah keluar perkataan yang dianggap kufur, dan akhirnya dieksekusi mati demi menyelamatkan akidah orang awam dari pemahaman yang keliru dikemudian hari.

Namun saya tidak setuju dengan pemberian vonis kafir terhadap seseorang, apalagi kita mengetahui bahwa ia adalah seorang muslim, terlepas yang taat atau tidaknya. Jangankan memvonis kafir kepada sesama muslim, kepada orang non Islam sekalipun secara verbal tidak diperkenankan menyebunya kafir. Sebagaimana sabda Nabi SAW.

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أيما رجل قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw bersabda “Seandainya seseorang mengatakan “Wahai Kafir” kepada saudaranya, maka tuduhan kafir tersebut akan kembali kepada salah satu di antara keduanya”. (HR al-Bukhari)
Wallahu A’lam.

  1. Menurut Ibn Arabi, Insan Kamil adalah miniatur dan realitas ketuhanan dalam tajalliNya pada alam semesta. Insan Kamil adalah mikrokosmos yang pada dirinya tercermin bagian-bagian dari jagat raya (makrokosmos). Dengan kata lain, esensi Insan kamil merupakan cermin dari esensi Tuhan. Jelaskan lebih lanjut: apa makna Insan Kamil secara bahasa dan istilah? Apa makna kesempurnaan Insan kamil? Siapa sosok Insan kamil? Apa ciri Insan Kamil?

Apa makna Insan Kamil secara bahasa dan istilah?

Insan kamil berasal dari dua kata bahasa Arab, yaitu: Insan dan kamil. Secara harfiah, insan beararti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.

Selanjutnya Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab, kata insan mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia. Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan pada arti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani, dan fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata, dan lainnya.

Adapun kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.

Dengan demikian, insan kamil lebih ditujukan kepada manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari dimensi basyariahnya. Pembinaan kesempurnaan basyariah bukan menjadi bidang garapan tasawuf tetapi menjadi garapan fikih. Dengan perpaduan fiqih dan tasawuf inilah insan kamil akan lebih terbina lagi. Namun, insan kamil lebih ditekankan pada manusia yang sempurna dari segi insaniyahnya, atau segi potensi intelektual, rohaniah, dan lainnya itu. (Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, cet. 15, edisi revisi (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2017, hlm. 223-227).

Apa makna kesempurnaan Insan kamil?

Kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan ber-tajalli secara sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah al-muhammadiyah). Hakikat Muhammad (Nur Muhammad) merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna dan merupakan makhluk yang paling pertama diciptakan oleh Tuhan. Ia telah ada sebelum penciptaan Adam a.s. Oleh karena itu, Ibn Arabi juga menyebutnya dengan “akal pertama” (al-‘aql al-awwal) atau “pena yang tinggi” (al-qalam al-a’la). Dialah yang menjadi sebab penciptaan alam semesta dan sebab terpeliharanya. (Yunasril Ali, Manusia Ciitra Ailahi Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi oleh al-Jili, cet. 1, Jakarta: Paramadina, 1997, hlm. 49-56).

Siapa sosok Insan kamil?

Manusia yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat-sifat Tuhan secara sempurna. Sosoknya adalah Baginda Nabi Muhammad Rasulullah SAW.

Apa ciri Insan Kamil?

Manusia sebagai makhluk yang dapat melakukan berbagai kegiatan karena memiliki berbagai potensi, baik yang bersifat fisik, moral, mental, maupun intelektual; dapat melakukan semua kegiatan yang disadari dan berkaitan dengan kapasitas akalnya dan aktualitas dalam kehidupan konkret, yaitu perencanaan, tindakan, dan akibat-akibat atau perolehan-perolehan yang ditimbulkannya.

Referensi:

Dr. Izzuddin, M.A. 2024. “Insan Kamil”. Materi Kuliah Akhlak Tasawuf: Pertemuan ke 12. Kegiatan Belajar 11. PJJ-PAI FITK IAIN Syekh Nurjati. Cirebon.

Ilmu akhlak dan ilmu tasawuf sangat diperlukan oleh manusia-manusia modern yang mengalami anomali-anomali individu dan sosial seperti egoisme, individualisme, materialisme, hedonisme, pragmatisme.

Jelaskan bagaimana ilmu akhlak dan ilmu tasawuf dapat menjadi terapi bagi penyakit-penyakit modernitas tersebut?

Modernitas senyatanya tidak hanya menghadirkan dampak positif, tapi juga dampak negatif. Sementara modernitas dengan niscaya terus bergerak dengan tanpa memperdulikan apakah dibalik gerakannya terdapat bias negatif. Modernitas yang merupakan kristalisasi budidaya manusia adalah keharusan sejarah yang tak terbantahkan, dengan demikian satu-satunya yang dapat dilakukan adalah menjadi partisipan aktif dalam arus perubahan modernitas, sekaligus membuat proteksi dari akses negatif yang akan dimunculkan. John Naisbitt dan Patricia Aburdene mengatakan bahwa dalam kondisi seperti ini, maka agama merupakan satu tawaran dalam kegersangan dan kehampaan spiritualitas manusia modern. Kondisi kekinian telah membawa orang jauh dari Tuhannya. Untuk itu, jalan untuk membawanya kembali adalah dengan menginternalkan nilai-nilai spritual (dalam Islam disebut tasawuf) atau membumikannya dalam kehidupan masa kini.

Menurut Jalaluddin Rahmat, di seluruh dunia sekarang ini, timbul kesadaran betapa pentingnya memperhatikan etika dalam pengembangan sains. Jadi sains harus dilandasi dengan etika, tapi karena etika akarnya adalah pemikiran filsafat, maka diperlukan akhlak yang bersumber pada al Qur’an dan al Hadits. Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi pekerti yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi. Dengan cara demikian, ia akan terhindar dari melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela menurut agama.

Islam memiliki semua hal yang diperlukan bagi realisasi kerohanian dalam artian yang luhur. Tasawuf adalah kendaraan pilihan untuk tujuan ini. Oleh karena tasawuf merupakan dimensi esoterik dan dimensi dalam daripada Islam ia tidak dapat dipraktekkan terpisah dari Islam, hanya Islam yang dapat membimbing mereka dalam mencapai istana batin kesenangan dan kedamaian yang bernama tasawuf. Tasawuf tidak didasarkan atas penarikan diri secara lahir dari dunia melainkan didasarkan atas pembebasan batin. Pembebasan batin dalam kenyataan bisa berpadu dengan aktivitas lahir yang intens. Tasawuf sampai kepada perpaduan kehidupan aktif dan kontemplatif selaras dengan sifat penyatuan Islam sendiri terhadap kedua bentuk kehidupan ini. Kekuatan rohani Islam menciptakan suatu iklim di dalam kehidupan lahiriah melalui aktivitas yang intens.

Untuk betul-betul membumikan tasawuf (nilai-nilai spiritual Islam) di era kekinian atau dalam rangka mensosialisasikan tasawuf untuk mengatasi masalah moral yang ada pada saat ini diperlukan adanya pemahaman baru (interpretasi baru) terhadap term-term tasawuf yang selama ini dipandang sebagai penyebab melemahnya daya juang di kalangan umat Islam yang akhirnya menghantarkan umat Islam menjadi mandeg (statis). Tasawuf bukan berarti mengabaikan nilai-nilai syari’at (nilai-nilai formalistik dalam Islam). Tasawuf yang benar adalah adanya tawazun (keseimbangan) antara keduanya yaitu unsur lahir (formalistik) dan batin (substansialistik).

Intisari ajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga orang merasa dengan kesadarannya itu berada dihadirat-Nya. Kemampuan berhubungan dengan Tuhan ini dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan yang nampak berserakan. Karena melalui tasawuf ini seseorang disadarkan bahwa sumber segala yang ada ini berasal dari Tuhan, bahwa dalam faham wahdatul wujud, alam dan manusia yang menjadi objek ilmu pengetahuan ini sebenarnya adalah bayang-bayang atau foto copy Tuhan. Dengan cara demikian antara satu ilmu dengan ilmu lainnya akan saling mengarah pada Tuhan. Dengan adanya bantuan tasawuf, maka ilmu pengetahuan satu dan lainnya tidak akan bertabrakan, karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan.

Sikap materialistik dan hedonistik yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud (asketisisme). Dalam Islam asketisisme ini mempunyai pengertian khusus. Ia bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, tetapi merupakan hikmah yang membuat penganutnya mempunyai visi khusus terhadap kehidupan, di mana mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecendrungan hati mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.

Konsep zuhud, yang pada intinya sikap tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh pengaruh duniawi yang sementara itu, atau menghindarkan diri dari kecendrungan-kecendrungan hati yang terlalu mencintai dunia. Jika sikap ini telah mantap, maka ia tidak akan berani menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf adalah menuju Tuhan, maka caranya pun harus ditempuh dengan cara yang disukai oleh Tuhan. Selanjutnya sikap frustasi, putus asa dapat diatasi dengan sikap ridha yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu selalu menerima terhadap segala keputusan Tuhan setelah berusaha dengan semaksimal mungkin.

Ajaran Uzlah yang terdapat dalam tasawuf, yaitu usaha mengasingkan diri dari terperangkap oleh tipu daya keduniawiaan, dapat pula digunakan untuk membekali manusia modern agar tidak menjadi sekruft dari mesin kehidupannya, yang tidak tahu lagi arahnya mau dibawa ke mana. Tasawuf dengan konsep uzlahnya, berusaha membebaskan manusia dari perangkap-perangkap kehidupan yang memperbudaknya. Ini tidak berarti seseorang harus jadi pertapa, ia tetap terlibat dalam berbagai kehidupan, tetapi tetap mengendalikan aktifitasnya sesuai ddengan nilai-nilai ketuhanan, dan bukan sebaliknya larut dalam pengaruh keduniaan.

Gangguan-gangguan kejiwaan yang diderita oleh manusia modern, ternyata bisa diobati dengan terapi tasawuf, sebagaimana dikatakan Omar Alishah dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Terapi” menawarkan cara Islami dalam pengobatan gangguan kejiwaan yang dialami manusia, yaitu dengan cara melalui terapi sufi. Terapi tasawuf bukanlah bermaksud mengubah posisi maupun menggantikan tempat yang selama ini di dominasi oleh medis, justru cara terapi sufi ini memiliki karakter dan fungsi melengkapi. Karena terapi tasawuf merupakan terapi pengobatan yang bersifat alternatif. Tradisi terapi di dunia sufi sangatlah khas dan unik. Ia telah dipraktekkan selama berabad-abad lamanya, namun anehnya baru di zaman-zaman sekarang ini menarik perhatian luas baik di kalangan medis pada umumnya, maupun kalangan terapis umum pada khususnya. Karena menurut Omar Alisyah, terapi sufi adalah cara yang tidak bisa diremehkan begitu saja dalam dunia terapi dan penanganan penyakit (gangguan jiwa), ia adalah sebuah alternatif yang sangat penting. Tradisi sufi (tasawuf) sama sekali tidak bertujuan mengubah pola-pola terapi psikomodern dan terapi medis dengan terapi sufis yang penuh dengan spiritual, sebaliknya apa yang dilakukan Omar justru melengkapi dan membatu konsep-konsep terapi yang telah ada dengan cara mengoptimalkan peluang kekuatan individu seseorang untuk menyembuhkan dirinya, beberapa tehnik yang digunakan Omar Alishah dalam upaya terapeutik yang berasal dari tradisi-tradisi tasawuf antara lain yaitu tehnik “transmisi energi dan tehnik metafor”.

Referensi:

Nilyati. 2015. “Peranan Tasawuf dalam Kehidupan Modern”. Jurnal: Tajdid, Vol. XIV, No. 1. Fakultas Ushuluddin IAIN STS, Jambi.

Jawaban di atas bukan hasil kecerdasan buatan, melainkan murni hasil pencarian manual dari berbagai sumber tertera atau di platform digital. Benar atau tidaknya, diluar tanggungjawab penulis. Saran kami, jadikan artikel ini sebagai referensi saja. Jangan sepenuhnya menyalin tanpa dipelajari terlebih dahulu. Lakukan beberapa perubahan di dalamnya seperti; perbaikan kekeliruan pada huruf, periksa kembali konten dan perbaiki apabila ada yang tidak sesuai dengan kaidahnya, sempurnakan konten pada karya Anda dengan menggabung beberapa sumber lain yang terkait.

Semoga bermanfaat dan menjadi berkah.